SKETSA DI BATAS SENJA
SKETSA DI BATAS SENJA (Sebuah romantika MMD menunggu jawaban) Senja kala itu mungkin akan jadi sebuah penantian yang sempurna. Di sudut rumah makan ia tertahan oleh sejuta penasaran yang telah dijanjikan. Waktu yang ditentukan oleh Bapak membuatnya gusar. Hatinya berdegup kencang dan bergetar-getar. Dinamisasi keramaian di luar, suara hingar-bingar yang dimainkan sedemikian deras oleh khalayak, tak ayal menciptakan simpulan awal yang sepertinya lebih ke-akuan dari pada kedia-an. Detik demi detik berlalu. Lingkar menit habis sedikit-demi sedikit. Tak kunjung jua ia dapati sinyal penegas tanda-penjawab tanya. Ia pandangi smartphone yang ada di genggamannya sebagai bentuk kepastian sebuah putusan. Jangan sampai terlewat ini kesempatan langka. Duduknya mulai bergeser ke sana kemari. Terlihat kedua sikunya mulai menahan lelah di atas sebuah meja. Hatinya menjurus resah. Hatinya tergulung resah dan gelisah. Gundah gulana membahana. Namun Ia sabar menunggu hingga lunas waktu. Ia datang sesuai anjuran. Seperti kemarin hari, amar Bapak agar mempersiapkan segala kertas sebagai tanda legalitas. Kemarin hari, amar Bapak agar mempersiapkan seragam kebesaran yang pas dan cocok untuk sebuah panggung pementasan. Ia siap jadi artis politis. Ia sudah siap dengan segala aksesori. Ia siap meneken naskah panjang kesepakatan yang membawa nama besar negeri tercinta, Negara Indonesia. Hari ini adalah hari akhir penentuan. Detik-detik ini adalah detik 'injury time'. Tak ada waktu tambahan. Yang ia butuhkan sebuah jawaban. Sinar terang telah datang. Sebaris warta menghampirinya. Berita benar, Bapak jadi datang tapi tak di sana. Ia benar-benar tlah mendapatinya. Bapak berseragam tapi tak bersamanya. Bapak merapat di seberang tempat menemui kyai sejuta umat. Ternyata Bapak bergerak bersama koalisi para panglima, mengumumkan pada dunia, bahwa atas pertimbangan semalam Bapak tlah sepakat-bulat pilihan jatuh pada kyai sejuta umat. Titik. Secara politis, tak ada ksatria yang menangis. Semua ada hitungan. Ia yakin Bapak sudah menimang. Ia haqqul yakin Bapak tak sembarang meminang orang. Ia terima sebab negara bukan untuk diperdebatkan. Ia terima karena negara bukan milik perorangan. Ia pun pulang ke peraduan. Hatinya patah tapi tak kecewa. Hatinya legawa meski sketsa urung jadi pigura. Dalam benaknya menyelamatkan kedaulatan bangsa, masih banyak jalan menuju Roma. Seorang Mahfud atau Ma'ruf sama saja.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar