Khairul Ismi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

KOMPAK...

Apa yang kita pikirkan ketika ngomongin hal ini? Pastinya banyak, ada jejak-jejak yang tentunya berseliweran ketika fenomena kekompakan bersama rekan mengawang dalam ingatan. Ada guratan senyum di sana, tapi gak jarang juga berlilit cemberut di balut masamnya muka.

Bertahun-tahun silam, tepatnya sekitar tahun 1990. Di sebuah kelas, para siswa kelas 2 itu tertunduk lesu. Jarum jam sudah lewat dari angka 17.00, tapi mereka masih tertahan di kelas. Sulitnya mendapatkan angkutan umum pada jam-jam tersebut ditambah dengan sejuta jawaban yang harus disiapkan ketika bertemu ortu di rumah nanti saat ditanya kenapa pulang terlambat menggelayuti fikiran mereka. Sementara sang Walas dengan wajah memerah menahan geram dan marah menatap satu persatu penghuni kelas itu. Lalu diawali dengan sebuah bentakan, mulailah ia menceramahi seisi kelas, dan kelas pun hening. Tak satu pun dari para siswa yang berani untuk berkomentar bahkan mengangkat wajah sekalipun. Konon, cicak yang menempel di dinding pun tidak berani bersuara saat sang Walas itu bicara.

Apa sih yang menjadi penyebab, keramaian di sore itu?. Ya, tidak lain karena kekompakan para penghuni kelas itu. Namun sayang, kekompakan yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang menyenangkan sang Walas, namun sebaliknya. Sang Walas merasa, kekompakan siswa kelas 2C sebuah SMP di Jl. Kalitimbang, Cibeber, Kota Cilegon, Banten itu justru seperti menyiramkan kotoran yang sangat pekat ke wajahnya di hadapan para guru dan kepala sekolah.

Padahal, kekompakan yang dilakukan itu mungkin terkesan sepele. Setidaknya menurut saya saat itu. Namun bagi sang Walas dan setelah saya analisa lebih dalam di usia yang sekarang, barulah disadari, ternyata kekompakan yang dilakukan itu ternyata bukanlah termasuk sebuah fastabiqul khairot. Bagaimana mungkin dikatakan sebuah usaha kebaikan, jika kemudian mereka kompak tidak becus menjadi petugas upacara penurunan bendera sore itu. Mulai dari pengatur upacara, pemimpin upacara, bahkan hanya sekedar sebagai anggota paduan suara, mereka kompak tidak serius. Hanya sang Walas yang bertindak sebagai Pembina upacara berusaha seserius dan sekhidmat mungkin selama upacara berlangsung.

Ah.., jika ingat peristiwa itu, betapa malunya. Tidaklah mengherankan jika setiap penghuni kelas itu kemudian mendapat hadiah tendangan sabit dari sang Walas yang guru PJOK itu usai diceramahi panjang kali lebar. Sang Ketua Kelas pun menyadari kesalahannya dalam memimpin kelas, begitu pula dengan teman-temannya. Sehingga tidak ada dendam terhadap sang Walas yang telah mengajarkan satu hal berharga buat mereka tentang arti sebuah kekompakan.

Kompak memang perlu, tetapi harus terarah menuju perbaikan dan kebaikan. Lebih jauh lagi, kekompakan harusnya membawa kepada ridho Allah. Jika kekompakan kemudian mengarah kepada keburukan seperti kompak membuat kemurkaan guru, padahal kedudukan guru setara dengan orangtua di rumah, sementara ridho Allah bergantung pada ridho ortu, lalu apa gunanya kompak...?!

“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (QS. Al Maidah: 2)

Wallahu a’lam…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post