Membuka beranda hari ini, kaget tak percaya. Sekali lagi, tak percaya. Penulis paling populer di Gurusiana, Gurunda Edi Prasetyo, menyapa saya lewat komentar pada tulisan kolom yang saya unggah, Selasa lalu (1/1/2019). Tak hanya itu, tulisan dengan judul, “Hanya Sebutir Debu di Padang Gurusiana,” itu juga mendapatkan komentar dari Gurunda Eko Prasetyo, Pemred Media Guru. Dug, detak jantung ini merespon cepat. Degupnya kencang. Respon dari rasa kaget, senang, dan tak percaya, campur aduk tak keruan.

Terasa begitu istimewa. Tak hanya memberikan komentar, Gurunda Edi Prasetyo, mengulas khusus soal saya sebagai pendatang baru di etalase blog Gurusiana miliknya. Pak Edi, begitu para Gurusianer biasa menyebutnya, menuliskan judul yang aduhai banget, “Khalid Wahyudin: Pendatang Baru yang Layak Diperhitungkan”. Ya Rabb, apakah hamba memang layak diperhitungkan? Saya termasuk kaum fakir dalam bidang menulis ini.

Gurunda Edi Prasetyo sebagai penulis populer tak merasa risih menuliskan itu. Inilah wujud pengayoman beliau. Orang besar tak akan merasa rendah mengangkat orang di bawahnya. Sebuah sikap bijak yang begitu matang. Sematang perjalanan hidupnya. Kaya pengalaman dan kenyang dengan berbagai pengetahuan. Ah, Pak Edi, saya merasa sangat malu. Rasanya saya, guru sekolah gunung ini, jauh dari layak untuk diulas. Lebih dari segalanya, terima kasih banyak.

Terhitung sudah seminggu saya bergabung di Gurusiana, sebagai pendatang baru yang bahkan belum tahu Barat dan Timur, Utara atau Selatan dalam cakrawala Gurusiana, mengetuk hati para pendahulu sudi memberikan wejangan agar tak sesat arah dan tahu arah yang tepat dalam menulis. Asyiknya di Gurusiana, para guru penulis itu seperti berlomba untuk saling berbagi inspirasi menulis dan motivasi untuk terus berkarya. Tua muda, orang lama atau baru, tak ada jarak. Mereka seperti begitu dekat, bahkan sangat dekat.

Gayung bersambut. Sejak tulisan itu saya unggah dan saya bagikan tautannya di Grup Facebook Media Guru, banyak komentar yang masuk. Komentar mereka ramah dan begitu santun. Terlebih, saling menyemangati. Membuat saya, pendatang baru ini, berasa seperti di rumah sendiri. Sangat akrab dan merangkul erat. Tak berlebihan jika saya menyebut, inilah revolusi menulis yang sebenarnya. Maju bersama, sukses bersama. Mengangkat tidak merendahkan. Peduli tidak menyakiti. Inilah revolusi menulis sebenar-benarnya yang akan mendorong peradaban berkemajuan.

Jadi, untuk semua pendatang baru, Anda tak perlu ragu. Tak perlu berkecil hati dan jangan sungkan. Inilah rumah besar kita yang dikelilingi pepohonan rindang, dengan para penghuninya yang ramah, menyenangkan. Jika Anda tak merasakan nyaman dengan keadaan ini, entahlah saya tak tahu apa itu namanya? Yang jelas, saya betah. Perlahan saya akan menata gubuk kecil saya di Gurusiana menjadi istana. Anda bagaimana? (*)