Entahlah saya harus mengatakan apa. Saya hanya sebutir debu di Padang Gurusiana. Saya pendatang baru yang bergabung beberapa minggu lalu. Jujur, saya tak mengenal banyak sosok Ahmad Syaihu. Namun begitu, tak sulit menemukan rekam jejaknya. Ratusan tulisan telah ia unggah di Gurusiana. Tak hanya itu, bahkan puluhan buku karyanya telah banyak diterbitkan. Pantas saja jika kemudian gelar penulis terfavorit dan terproduktif dianugerahkan padanya.

Pak guru, begitu sapaan akrab Ahmad Syaihu, kerap mengunggah tulisan yang memantik semangat penulis lain untuk terus berkarya. Hampir setiap hari, dua, tiga, bahkan lebih, tulisannya selalu tampil di beranda Gurusiana. Seakan menulis baginya bukan lagi menjadi kebiasaan, melainkan budaya. Bahkan hampir-hampir setiap tulisan yang ia unggah menempati barisan artikel populer harian. Luar biasa!

Saya kadang bertanya-tanya sendiri, manusia macam apa dia? Di usianya yang tak bisa lagi dianggap muda, semangatnya tetap menggelora. Meminjam istilah Bung Karno, menyala-nyala dan berkobar-kobar. Tiap hari menulis, menulis, dan menulis. Apa pun bisa ditulis. Lelaki ini kaya ide dan sarat pengalaman. Guratan alami dan kerutan yang terpahat di wajahnya menceritakan itu. Ia sosok yang tak pernah diam. Ia teladan.

Ahmad Syaihu, nama itu menyiratkan makna terpuji, dituakan, diikuti, serta menjadi anutan. Dalam bahasa Arab, Ahmad berarti terpuji. Syaihu, orang yang dituakan, diikuti, dan diteladani. Bahkan Syaihu juga dimaknai orang yang sarat ilmu. Sungguh! Nama yang membawa berkah, hasil dari mujahadah dan doa orang tuanya.

Alam takambang jadi guru. Pepatah ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bisa memberikan pelajaran. Ada hikmah di balik segala sesuatu. Alam semesta adalah ruang pembelajaran terbentang yang mengajarkan makna kehidupan. Ruang bagi manusia untuk berpikir dan berkarya. Ahmad Syaihu tampaknya mengerti makna pepatah ini, sehingga apa pun bisa menjadi sumber belajar dan bahan tulisan. Mudah-mudahan ini tak berlebihan. Pak Ahmad Syaihu, jangan kau taburkan pasir di wajahku!

Entah energi apa yang menggerakkan lelaki ini. Seperti tak mengenal lelah dan bosan, ia terus membagikan tulisan, siang dan malam. Gurusiana tak ubahnya rumah kediaman. Bertandang dan mengetuk pintunya, dia selalu ada di sana. Dia terus bergerak dan tak pernah diam. Keranjingan menulis yang diidapnya sudah mencapai stadium akhir. Sulit disembuhkan, bahkan semakin menggila.

Ngapunten, Pak Ahmad Syaihu, kalau kegilaan itu bisa dibagi, tolong bagikan kegilaan itu. Saya dengan senang hati mau menerimanya. Dan, marilah setelah itu, kita gila bersama-sama. Gila! (*)