ALUN-ALUN
“Tunggu di sini. Paling setengah jam, kan bisa relaks sebentar sambil melihat-lihat keindahan alun-alun ini. Sebulan lalu diresmikan. Belum sempat lihat-lihat kan, nikmati ya,” kata suamiku di telepon. Jadilah aku duduk sendiri di salah satu kursi di tengah alun-alun kota ini. Kurapatkan jaket dan kerudungku karena hawa dingin yang kian menggigit kulit. Dulu, alun-alun kota ini sangat hijau. Pohon beringin, dengan batang sebesar tubuhku, berdiri tegap di berbagai penjuru. Teduh, rindang. Tapi sekarang, sewaktu aku duduk di sini,kulihat semuanya berbeda. Pohonan besar tempat berteduh telah diganti dengan aneka lampion warna-warni. Indah memang saat malam tiba, namun begitu menyengat di hari siang. Tanah lapang berumput tebal tampat anak-anak bermain telah diganti dengan kolam air mancur di sana-sini. Pohon ceri yang berbuah lebat biasanya menjadi rebutan anak-anak kecil telah digantikan dengan bianglala raksasa yang terus berputar. Terus berputar. Memutar mimpi bocah-bocah yang belum tahu permainan modern menjadi nyata. Di bawah bianglala itu kuamati berbagai hal. Kulihat hanya beberapa pohon yang sanggup menyedot asap kendaraan bermotor dan polusi yang kian menjadi. Kulihat juga mereka, para pengunjung alun-alun ini dengan segala tingkah polah dan beragam penampilan..
Seorang ibu paruh baya duduk di bangku sebelahku, Anaknya yang masih berusia kurang lebih berusia 10 tahunan, berkali-kali bertanya pada ibunya.
“Bu, kok banyak anak remajanya ya, apa tempat ini hanya untuk mereka?”
“Tidak, alun-alun ini untuk semua warga,” jelas ibu itu pada anaknya. Si anak tampak mengangguk-angguk sambil mengunyah jagung serut. Si ibu sesekali menjumput jagung itu dari wadah yang dibawa anaknya.
“Tapi Bu, lihat itu, di pojok sana,” katanya sambil menunjuk salah satu bangku di sudut alun-alun. Aku ikut menoleh ke arah anak itu menunjuk. Tampak sepasang remaja sedang berciuman.
“Apa di alun-alun ini kita boleh mencium orang lain? Kata ibu mencium orang lain itu tidak boleh…,” kata anak itu dengan mata tetap tertuju pada sepasang remaja itu.
Kulihat reaksi ibu itu, tersentak. Tidak dapat berkata-kata. Berpikir.
“Begini, mungkin saja temannya itu sedang ulang tahun,” kata si ibu kemudian.
“Oh, begitu ya,”
Si anak kembali mengunyah makanan kecil yang dibawanya.
Kuamati muda-mudi yang sedang pacaran itu. Dalam hati kubaca istighfar. Mereka sebenarnya adalah sejoli yang sedang dimabuk cinta. Hingga tanpa malu mereka berciuman di depan umum. Sudah trend, gaya hidup remaja, entah apa lagi. Kupalingkan wajah karena malu melihat pemandangan itu.
“Ayah kok lama ya Bu,”
“Sebentar lagi,” kata si ibu
“Bu, lihat baju kakak-kakak itu. Bagus ya, tapi kok gak kedinginan ya..inikan sudah malam.” Tiba-tiba si anak bertanya lagi. Kali ini ia menunjuk pada dua gadis semampai yang mengenakan tank top dan hot pen tanpa rikuh berjalan di keramaian. Si ibu lagi-lagi menghela napas panjang.
“Bajunya memang bagus, tapi nanti kalau besar jangan ditiru. Tidak sopan,” lanjut si ibu.
“Kata Ibu tidak sopan, kok masih dipakai sama kakak tadi. Berarti kakak-kakak tadi tidak sopan ya Bu,”
“Cerdas juga anak ini,” pikirku dalam hati. Aku jadi tidak tertarik membaca koran yang kubawa tadi. Aku menunggu jawaban si ibu seperti si anak menunggu juga.
“Ah sudah, cepetan habiskan kuemu itu.” Si ibu mengalihkan jawaban.
“Kok gak dijawab Bu pertanyaan yang tadi,” tuntut anak itu.
“Nanti kalau kamu sudah besar,” jawab si ibu.
“Kok tidak sekarang saja?” tuntut si anak lagi.
“Sudah ayo pulang. Itu ayah datang. Lain kali tidak ibu ajak ke alun-alun lagi kalau banyak tanya.” Jawab si ibu sambil menarik tangan anaknya dari bangku itu.
Aku terdiam. Kupandangi sekelilingku. Betapa zaman telah banyak berubah. Lihatlah anak-anak muda itu, yang tanpa malu berciuman dengan pacarnya di tengah keramaian. Lihatlah, gadis-gadis belia yang memakai celana sangat pendek dan kaos ketat tanpa lengan. Tak ada rasa risih berjalan di depan umum. Justru tampak bangga mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Pantas bila akhir-akhir ini berita tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan tiap hari mengisi harian kota dan media elektronik. Mereka tidak malu lagi berperilaku, berpenampilan di luar batas kewajaran dengan dalih mengikuti trend dan mode, ingin disebut keren, sehingga menjadi bagian dari gaya hidup yang lama-kelamaan juga dianggap biasa. Lagi-lagi aku mengucap istighfar. Kuamati alun-alun kota ini, kuamati muda-mudi yang berpasang-pasangan, kuamati dua gadis itu. Betapa alun-alun kota ini telah berubah drastis. Begitu juga dengan pengunjungnya, entah yang sekadar berjalan-jalan atau berekreasi bersama keluarganya. Mungkin tidak hanya anak tadi yang bertanya pada ibu atau ayahnya. Kuamati kembali dua gadis itu. Entah mengapa ujung mataku terus mengekor dua gadis berpenampilan luar biasa itu. Aku jadi khawatir.Terlebih lagi ketika kulihat segerombolan pemuda cekikikan melihat dua gadis tadi. Ada yang mendekatinya, lalu jangan-jangan mereka diseret pemuda-pemuda berangasan itu, lalu… Ah, aku bergidik membayangkannya. Kenapa pikiranku jadi kriminal begini? Atau aku yang terlalu kuno melihat gaya berpakaian mereka yang mereka anggap wajar tapi bagiku tak wajar?
“Mau ke mana Cantik?” tanya seorang pemuda sambil mendekati gadis itu.
“Wah sayang, cantik-cantik kok bisu,” kata yang lain sengaja memancing emosi gadis-gadis itu.
“He dengar, kami tidak bisu. Males njawab kalian,” kata si hot pen merah ketus.
Salah satu pemuda yang jongkok tampak jengkel mendengar jawaban gadis itu. Dengan berani dia langsung mengelus paha belakang si gadis.
“Hei..” teriak gadis itu.
Orang-orang yang berlalu-lalang di situ tampak tak peduli. Bahkan ada yang senyum-senyum melihat si pemuda mengelus paha mulus gadis itu.
“Lumayan, muluuuus,” kata si pemuda yang jongkok. Yang lain tertawa riuh.
Kedua gadis itu kemudian cepat-cepat berjalan menjauhi gerombolan pemuda tadi. Terdengar riuh panjang tawa pemuda-pemuda itu melihat sikap si gadis.
Aku hanya bisa mengurut dada. Jika saja ini bukan alun-alun, mungkin dua gadis itu sudah mereka tangkap dan diperkosa beramai-ramai. Astaghfirullahalazim. Lagi-lagi aku bergidik ketakutan membayangkan semua itu.
Kulirik jam tanganku.20:10.
“Ayo pulang,” tiba-tiba suara suamiku terdengar dekat di telingaku. Aku tersentak.
“Kok bengong,” katanya sambil duduk di sampingku.
“Gimana, bagus ya alun-alun ini. Penuh fasilitas, cocok untuk segala usia.”
Aku masih diam.
“Ohya, besok Ayu minta diajak jalan-jalan ke sini sehabis magrib. Kita bisa…,”
“Tidak perlu. Minggu pagi saja kita ajak Ayu ke pasar. Belanja-belanja, tak perlu datang ke sini,” kataku memotong pembicaraannya. Suamiku diam tak mengerti.
Aku berdiri, kugamit tangan suamiku erat-erat mengajaknya segera meninggalkan alun-alun ini. Tak perlu kujelaskan lebih rinci lagi. Aku tidak mau anakku menatap bianglala raksasa itu karena khawatir otaknya jadi ikut berputar-putar tak dapat mengenali mana yang salah dan mana yang benar. Apalagi jika menatap pemandangan di bawah bianglala itu. Biarlah yang telanjur edan jadi edan di zaman edan ini. Tapi satu yang pasti. Aku dan keluargaku harus tetap waras.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar