ANTARA HARTA DAN KELUARGA
Jika Anda diminta memilih antara harta atau keluarga, mana yang akan Anda pilih? Saya yakin sebagian besar akan memilih keluarga. Namun tahukah Anda, bahwa pada kenyataannya banyak juga yang memilih harta ketimbang keluarga? Dalam banyak kasus, sebuah keluarga dapat tercerai berai hanya karena masalah harta. Banyak orang yang tega memotong tali ikatan darah dengan saudaranya karena masalah kebendaan tersebut. Tak sedikit orang yang memilih tak lagi mengenal kerabatnya karena mementingkan urusan kekayaan dunia tersebut.
Ada seorang nenek yang bercerita kepada saya tentang harta dan keluarganya. Kepada saya dia menuturkan bahwa dari delapan bersaudara, dia adalah anak bungsu. Semasa mudanya, orang tuanya telah membagi tanah keluarga kepada semua anaknya, termasuk si bungsu. Namun karena si bungsu dianggap belum mengerti, maka tanah yang seharusnya menjadi miliknya diambil alih oleh keluarga kakak kelima yang mengasuhnya. Si bungsu kemudian diungsikan ke rumah ibunya dengan dalih diminta merawat ibu tersebut karena usianya sudah tua. Jadilah si bungsu menempati rumah sederhana bersama ibunya hingga si ibu meninggal. Setelah si ibu meninggal, si bungsu diminta menempati rumah itu sementara tanah yang seharusnya menjadi miliknya, dibagi-bagikan oleh kakaknya kepada anak-anaknya.
“Jika ingat bahwa tanah itu adalah bagianku, hati ini rasanya sangat sakit. Aku juga punya anak-anak yang seharusnya menjadi pemilik tanah itu,” tuturnya dengan sedih kepada saya.
“Tapi, itulah manusia. Seringkali dengan berani ia mengambil hak orang lain tanpa kompromi. Secara lisan aku membolehkan karena tak ada bukti untuk menggugat, tapi dalam hati itu takkan pernah kuikhlaskan,”
“Anak-anak dari kakakku banyak yang tak pernah menemuiku karena mereka takut aku bertanya soal tanah warisan itu. Ada dua orang yang masih mau mengunjungiku. Aku berusaha baik kepadanya. Tapi bila ingat rumah yang ia tempati berdiri di atas tanahku, rasanya aku ingin murka. Tapi aku bisa apa?”
Saya ikut geram mendengar cerita itu. Tapi saya hanya bisa mengangguk pelan sambil menyimak dengan saksama curhatnya ketika saya berkunjung lebaran kemarin.
Lain waktu saya bersilaturahmi pada kerabat yang lain. Kali ini seorang kakek yang saya kunjungi juga menuturkan permasalahan harta. Setelah beralih dari satu topik perbincangan ke perbincangan lain, sampailah juga pada pembicaraan tentang kekayaan keluarganya.
Beliau menuturkan bahwa dulu orang tuanya memiliki tanah yang cukup luas. Akan tetapi, ayahnya meninggal ketika masih muda. Sebagai anak sulung dengan lima adik, ialah yang merawat adik-adiknya termasuk berjuang menyekolahkan mereka. Mengenai harta keluarga, seharusnya kewenangan pembagian harta keluarga tertumpu kepadanya. Namun adik ketiganya berlaku curang. Ia memberitahu bahwa tanah bagian kakak tertuanya itu disewakan untuk 15 tahun. Si kakak kemudian pindah dari tempat tinggalnya menetap di rumah istrinya. Belasan tahun berlalu, kakek itu menemui adiknya. Si adik memberitahu bahwa tanah yang telah habis masa sewanya kemudian digarap oleh anak-anaknya, akhirnya tanah itu tak kunjung diberikan pada si kakak.
“Kakek pernah menanyakan lagi mengenai tanah itu pada adik Kakek?” Tanya saya hati-hati.
“Ya, jelas. Karena itu bagianku. Tapi aku justru diusir oleh adikku dari tempat tinggalku sendiri. Padahal dulu aku yang merawatnya…,”
Ia menatap jauh melampaui awan mendung yang sedang bergelayut sore itu. Dalam sorot matanya saya temui kekecewaan sekaligus kemarahan.
“Sekarang, adik Kakek yang mengusir Kakek apa masih tinggal di rumah itu?”
“Ah, dia sudah mati beberapa tahun lalu. Tapi toh keponakanku juga bergeming. Tak mau tahu bahwa tanah yang diinjaknya bukan miliknya. Biarkan nanti kuurus di akhirat saja,”
Saya terdiam. Ada banyak hal yang saya peroleh dalam silaturahmi itu. Tentang ketamakan manusia, tentang pengingkaran dari balas jasa karena memperturutkan nafsu dunia. Ternyata, manusia yang telah ditimbuni hawa nafsu takkan lagi peduli apapun. Termasuk hubungan darah. Manusia bila telah rakus, ia akan menjelma serupa raksasa Rahwana yang memburu mangsanya hingga masuk dalam genggamannya. Selama-lamanya ia akan mencengkeram mangsanya seakan ia hidup abadi di dunia ini. Padahal, di alam kubur nanti ia akan ditanya oleh malaikat tentang beberapa perkara. Salah satunya tentang hartanya semasa di dunia. Tentang darimana harta itu diperoleh dan untuk apa harta itu digunakan. Namun, bila hati telah mati, saya yakin ia takkan peduli, toh mati urusan nanti. Astaghfirullahazim…
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita terhindar dari keserakahan. Bagaimanapun lebih mulia kekeluargaan dan persaudaraan dibandingkan harta.
Bapak ibu...terima kasih telah mampir di tempat saya dan memberikan komentar yang luar biasa..
Betul bu, harusnya merujuk pada quran. Ada aturan waris ada cara menetapkannya. Ada catatan perjanjian. Sehingga ahli waris tidak merasa terzolimi. Al Quran adalah petunjuk maka mengaculah padanya.
Semoga diri kita terhindar dari sifat buruk tersebut. Cerita ini membuat saya larut dalam dua hal, gaya tutur yg renyah dan makna yg dalam. Sy pun terngiang penuturan ibu sy yang mengalami hal serupa, Bu.
Astaghfirullahazim ...apapun yang kita dengar, baca, lihat bisa dijadikan ilmu ya bu, terimakasih sudah mau berbagi Bu Khoen ...
Iya bu, sama-sama. Semoga bermanfaat.
Inspirasi yang sip. Harta perlu. untuk mendukung agar keluarga tegak. Harta dan fasilitas hidup kita optimalkan untuk membangun keluarga yang mantab.
betul sekali. setuju, Pak Wiyono.