CATATAN YANG TERSISA
Seminggu sudah bapak meninggalkan kami, untuk selamanya. Seminggu sudah langit kelam memayungi kami. Ternyata, Allah hanya butuh waktu sepersekian detik untuk mengubah keadaan. Dari ada menjadi tiada. Dari kefanaan beralih pada keabadian. Ini adalah hari ketujuh pergulatan kami dengan tangis. Bagiku ini adalah hal berat. Ketika aku tidak di rumah, ketika aku jauh dari bapak, Allah tiba-tiba menjemputnya. Belum sempat kupijit kakinya yang ringkih, belum sempat kucium keriput pipinya yang tirus, belum sempat kubisikkan kata maaf karena hingga akhir masa hidupnya, aku tidak dapat membahagiakannya. Belum sempat kutanyakan banyak hal, termasuk rasa kecewa yang kadang bergelayut di hatiku karena kekerasan dan sikap diamnya itu. Tiba-tiba bapak pergi, tanpa sepatah kata apa pun untukku.
Selama bapak masih ada, hubungan kami sebagai anak dan orang tua memang tidak terlalu harmonis. Bapak adalah sosok yang keras, tegas, tidak banyak bicara. Termasuk pada anak-anaknya, terutama padaku, yang memang tidak lagi serumah dengan bapak dan ibu. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Aku ingat, sampai dengan awal SMA, kami masih tinggal di rumah sewa karena rumah kami yang belum jadi. Saat itu, saat teman sebayaku gonta-ganti sepatu, kendaraan, memakai perhiasan. Aku? Jangankan itu semua, bisa membeli jajanan di kantin sudah bagus karena uang saku yang pas-pasan. Padahal aku tahu, bapak punya gaji yang cukup jika untuk memenuhi kebutuhan jajan dan keperluan sekolahku. Belum lagi masa-masa kuliah yang berat karena uang bapak masih digunakan untuk renovasi rumah.
Aku ingat, setelah wisuda, aku pontang-panting ke sana kemari mencari pekerjaan. Bapak waktu itu juga diam saja. Mengiyakan ketika aku pamit ke luar kota memenuhi panggilan dari suatu perusahaan. Aku ingin marah saat itu. Padahal bapak punya jabatan bagus di kantornya. Aku yakin, bapak bisa dengan mudah memasukkanku ke jawatan lain kalau tidak mau sekantor denganku nantinya. Tapi itu tidak dilakukan oleh bapak. Aku kecewa. Entah apa yang ada di benak bapak membiarkan anak perempuannya bekerj dengan gaji kecil dan posisi rendah di luar kota sementara bapak bisa membuat keadaanku lebih baik. Kalau saja aku tidak bekerja di luar kota, kalau saja aku sempat menanyakan alasan bapak berbuat seperti ini padaku, tapi biarlah toh bapak telah pergi. Sekali lagi bapak mengecewakanku, pergi tanpa sepatah kata. Kalau saja kami sempat mengurai kebekuan di antara kami…
Ini adalah hari ketujuh pergulatan kami dengan tangis dan keadaan yang tidak siap kami terima. Kulihat mata ibu masih sembab. “Ya Allah, kuatkan kami. Jika aku berprasangka buruk pada bapak, sampaikan kata maafku untuk bapak, sampaikan betapa sesungguhnya aku sangat menyayanginya,” ucapku berulang-ulang dalam hati tanpa henti.
“Bu, sprei di kamar bapak saya ganti ya,” kataku pada ibu. Beberapa hari lalu ibu belum membolehkan aku membersihkan kamar bapak. Alasannya, ibu seperti masih melihat bapak berbaring di sana sambil membaca-baca, atau duduk di kursi kerjanya menulis seperti yang dilakukannya selama ini karena telah pensiun akibat sakit kencing manis tahap kronis yang dideritanya.
“Ya, kamu ganti, biar bersih,” jawab ibu sambil termenung menatap langit di luar yang kian pekat meski hari masih pagi.
Kusibakkan sprei tempat bapak berbaring hingga malam ketika napas terakhirnya berembus. Masih kucium aroma keringatnya pada sprei itu. Aku tersedu di pinggir ranjang. Sambil terisak, kuambil bantal tempat bapak meletakkan kepalanya, tercium aroma rambutnya yang membuatku merasa bapak masih ada. Kudekap bantal itu, seperti mendekap tubuh kurus dan ringkihnya. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada buku bersampul biru di bawah bantal itu. Ternyata buku itu semacam buku harian. Aku tahu bapak memang senang menulis, baik puisi, cerpen, sampai kegiatan sehari-hari di kantornya, semua dituliskannya dengan rapi. Dua buku lain tentang kehidupannya semasa remaja sudah pernah kubaca. Waktu itu ibu yang memintaku membaca agar aku dapat memahami jalan pikiran bapak.Buku ini tampaknya buku ketiga, kubaca halaman depan mengisahkan pekerjaannya.
2 November 2003
Akhirnya dinas Sosial dan Tenaga Kerja dimerger juga karena ada penggembungan anggaran sekaligus karyawan. Tapi aku tetap dibutuhkan. Tak kusangka, Burhan tertangkap juga. Burhan, sahabatku yang cekatan dan pintar. Tak kusangka kau pintar tapi tidak cerdas karena mau menerima amplop tebal itu. Kasihan anak dan istrimu kalau kau sampai masuk hotel prodeo.
16 Januari 2004
Rumah ini akhirnya bisa ditempati, meski belum selesai sepenuhnya. Alhamdulillah, aku menempati rumahku sendiri sementara Burhan menempati rumah masyarakat yang berbuat kriminal. Ironis. Rumah mewah, mobil mewah, simpanan di bank, lenyap disita aparat. Alhamdulillah, aku masih punya iman, aku tetap berharga dan dihargai meski beberapa tahun lagi pensiun. Tapi Burhan? Burhan. Seandainya kau dengarkan nasihatku saat itu. Orang jujur takkan pernah hancur.
Aku menghela napas. Ya, aku ingat betul peristiwa penangkapan pak Burhan, sahabat bapak. Bapak terpukul waktu itu ketika tahu sahabatnya dimasukkan dalam jeruji akibat kasus suap di kantor tempat bapak bekerja. Saat itu aku masih kuliah.
20 Februari 2004
Eka, kau anak pertama, sekaligus anak tunggal. Anak yang kuharapkan lahir laki-laki ternyata perempuan. Aku tahu kau kecewa karena sampai kuliah, kebutuhan sekolahmu belum dapat bapak penuhi dengan sewajarnyaa. Bapak tahu kamu kecewa, kemarahanmu sangat wajar. Tapi bagaimana lagi, gaji bapak tiap bulan telah dipotong bank untuk mencicil utang pembuatan rumah ini. Belasan tahun aku menabung, ternyata tidak cukup untuk membangun sebuah rumah. Tapi Alhamdulillah, kau masih bisa berkuliah. Uang untuk biaya kuliahmu, membangun rumah ini, adalah uang halal. Aku tidak akan menyusahkanmu seperti Burhan menelantarkan keluarganya setelah dijejali dengan kemewahan dengan meninggalkan mereka di balik jeruji besi. Itu tidak akan terjadi pada keluargaku.
Aku tertegun. Aku telah salah menilai bapak. Aku telah salah.
20 September 2006
Eka, hari ini kau wisuda. Bapak minta maaf tidak bisa mendampingimu karena penyakit ini telah menggerogoti tulang-tulang Bapak sehingga tak dapat bepergian jauh. Selamat Sayangku, kau kebanggaan bapak. Meski perempuan, kau bisa membuktikan bahwa kau kuat menghadapi badai kehidupan. Terima kasih ya Allah. Anakku, bapak tak dapat mewariskan harta untukmu. Bapak hanya bisa mewariskan ilmu. Dengan ilmu, kau bisa meraih kehidupan yang lebih baik, di dunia dan di akhirat.
Airmataku tak henti mengalir. Bapak, mengapa semua ini tak kaukatakan sejak dulu?
3 Desember 2006
Anakku, kau harus tahu bahwa hakikat hidup ini adalah kerja keras. Bapak tahu kau ingin mendapat pekerjaan dengan cepat, mudah, dekat dengan keluarga. Bapak bisa menitipkanmu di kantor bapak atau di jawatan lain. Tapi bapak tidak akan mengajarimu nepotisme. Kau harus tahu bahwa hidup adalah proses, termasuk dalam hal pekerjaan, tidak tiba-tiba menjadi ‘orang penting’. Semua perlu proses, perlu usaha maksimal. Doa bapak menyertai langkahmu, semoga Allah meridhoi.
Dadaku seperti mau meledak. Bapak, betapa picik aku memaknai jalan pikiranmu selama ini, mangartikan sikap diammu selama ini. Bapak, kau mengajariku memaknai hakikat hidup yang sesungguhnya Aku bangga pada bapak. Meski aku seororang perempuan, aku akan setegar bapak menghadapi badai kehidupan ini. Kubaca lembar terakhir buku itu.
3 Oktober 2010
Kutinggalkan ilmu untuk anak-anakku tercinta,
Kutitipkan pada Allah, keluargaku tercinta.
Terima kasih bapak.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar