“Jangan Paksa Aku…,” (Catatan Buram Dunia Pendidikan)
Sebagai orang tua sekaligus guru, saya selalu merasa prihatin bila ada siswa yang kemudian memutuskan untuk berhenti dari bangku sekolah. Apalagi bila itu terjadi pada siswa kelas VIII atau kelas XI. Mengapa demikian? Siswa kelas VIII SMP dan XI SMA sesungguhnya telah cukup mantap berada di suatu sekolah. Masa adaptasi telah terlewati. Lingkungan dan warga sekolah telah dikenal dengan baik. Pembiasaan yang ada di sekolah telah dijalani dengan baik selama satu tahun. Persahabatan dengan teman pun pasti telah terjalin dengan akrab. Lalu, bila tinggal setahun saja bersekolah di jenjang itu mengapa harus memutuskan untuk hengkang? Padahal ijazah SMP atau SMA tak lama lagi akan diterima. Sungguh sangat disayangkan.
Kasus siswa putus sekolah terjadi hampir di semua sekolah. Tentunya dengan berbagai latar belakang masalah. Ada yang memutuskan berhenti bersekolah karena tidak punya biaya. Ada juga yang disebabkan oleh pergaulan bebas, misalnya terjerat narkoba atau hamil. Selain itu ada juga yang putus sekolah karena sering membolos. Biasanya siswa membolos karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah bangun kesiangan karena begadang dengan kawan-kawannya atau kecanduan gagdet/gawai sehingga tidur larut malam. Kedua, membolos karena lebih tertarik melakukan hal lain daripada bersekolah, misalnya pergi bermain game/PS di rental langganannya atau keluyuran dengan teman. Satu lagi, dan saya rasa ini perlu digarisbawahi. Alasan lain siswa tidak mau menyelesaikan pendidikannya adalah karena malas berpikir. Malas berpikir. Sungguh hal yang sepertinya tidak masuk akal namun ternyata ada.
Gejala “malas berpikir” pada siswa ini ternyata sangat berdampak luar biasa. Tidak hanya menyebabkan malas mengerjakan tugas-tugas/PR yang diberikan, hal itu juga membuatnya enggan bersekolah, membolos berhari-hari, bahkan membuat siswa memutuskan untuk tidak lagi bersekolah. Akibatnya pihak sekolah akan mengambil suatu kebijakan terhadap siswa yang enggan bersekolah. Hal itu juga yang kami lakukan. Saya yakin, sekolah yang lain juga kan melakukan hal yang sama. Siang itu kami memutuskan untuk menemui Fandi, salah satu siswa yang sering tidak masuk sekolah.
“Fan, ayo kembali ke sekolah,” bujuk saya ketika mengadakan kunjungan ke rumah salah satu siswa yang cukup lama tidak masuk sekolah.
“Ya, Bu,” jawabnya manis.
Setelah mendengar jawaban itu, kami kembali ke sekolah dengan segudang harapan bahwa esok Fandi akan kembali masuk. Ternyata harapan itu sia-sia. Esok dan esoknya ia tak jua datang. Hingga pada suatu hari, ibunya datang ke sekolah.
“Maaf Bu, Fandi sudah tidak mau bersekolah,” katanya pelan.
“Mengapa Bu? Ada masalah dengan temannya atau hal lain?” tanya saya.
“Sehari-hari dia main hape. Kalau sudah begitu dia tidak mau ngapa-ngapain. Terakhir saya tanya, dia bilang tidak mau sekolah karena sudah malas berpikir. Saya dan ayahnya sudah tidak bisa memaksanya lagi,” kata sang ibu.
Saya terdiam.
“Ya sudah Bu, saya mohon maaf,”
“Apa saya boleh menemuinya sekali lagi, Bu?” tanya saya mengabaikan permohonan maafnya. Si ibu mengangguk.
“Silakan Bu, tapi sepertinya sulit..,”
Ah..bila ibunya saja tidak yakin anaknya yang duduk di bangku kelas XI itu akan kembali bersekolah, apalagi saya? Bukankah doa orang tua mengalahkan segalanya? Tapi tak ada salahnya mencoba.
Esoknya saya ditemani staf Humas menemui Fandi. Beruntung dia ada di rumah. Dari luar tampak dia sedang asyik dengan ponselnya. Matanya seakan tak mau lepas dari ponsel itu.
“Sayang lo Fan, tinggal setahun lagi. Kalau tidak punya ijazah, nanti tidak bsa berkuliah. Mencari pekerjaan dengan ijazah SMP juga tambah susah,” kata Pak Zaenal, staf Humas.
“Pikirkan lagi, ini demi masa depanmu,” tambah saya.
Fandi diam.
“Pak, Bu, jangan paksa saya kembali bersekolah,” katanya memecah kebisuan.
“Alasannya apa?” tanya Pak Zaenal.
“Ya pokoknya nggak mau. Sudah males mikir, Pak,”
“Fandi, kok begitu sama Pak Guru dan Bu Guru,” sahut ibunya dengan nada agak tinggi.
“Pokoknya Fandi sudah males mikir, Fandi gak mau sekolah,” katanya sambil masuk ke dalam kamarnya.
“Maaf Pak, Bu, sekali lagi, biarkan Fandi berhenti sekolah, percuma memberitahunya,”
Kami terdiam. Saya sudah kehilangan kata-kata. Ini menyangkut motivasi dari diri sendiri. Jika dirinya sendiri sudah memasang benteng tinggi-tinggi, bagaimana kami bisa memasukinya? Ah, si ibu itu lupa kalau ucapan adalah doa. Seakan ia telah pasrah, tak mau berusaha lagi membujuk anaknya untuk bersekolah. Dalam catatan saya, telah ada beberapa anak yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bersekolah hanya karena alasan malas berpikir. Untuk alasan itu saya jadi merasa aneh. Bagaimana mungkin seorang manusia yang telah dibekali kecerdasan berkata seperti itu? Bukankah kita diberi otak memang untuk berpikir? Setelah bangun tidur kita pasti berpikir seharian ini akan berbuat apa, setelah mandi memakai baju apa, jika di rumah saja akan melakukan kegiatan apa. Hal-hal remeh itu pasti kita pikirkan. Semua orang pasti memikirkannya juga. Nah, bila hal remeh saja perlu pemikiran, apalagi untuk hal besar? Masa kini mungkin dianggap sebagai hal kecil karena berjalan sesuai rutinitas dan keinginan kita. Tapi masa depan? Bukankah perlu dipersiapkan? Untuk itu tentunya juga perlu pemikiran? Lantas, jika alasannya hanya “malas berpikir”, kelak mereka akan menjadi apa?
Saya jadi ingat sebuah anekdot. Katanya, otak orang Amerika itu jika dijual harganya sangat murah. Sementara otak orang Indonesia sangat mahal. Mengapa demikian? Otak orang Amerika sangat murah karena sudah rusak akibat terlalu sering digunakan untuk berpikir sedangkan otak orang Indonesia sangat mahal karena masih baru akibat jarang digunakan untuk berpikir. Bagi saya, anekdot itu adalah pukulan telak. Guyonan itu seharusnya membuat kita merasa malu. Itu menggambarkan betapa sifat malas berpikir akan menjadikan jatuhnya harga diri kita sebagai manusia.
Kembali pada kasus anak-anak yang putus sekolah karena malas berpikir tadi. Saya jadi curiga kalau kemajuan teknologi adalah salah satu pemicu munculnya sifat tadi. Harus kita akui, jika dituruti, seharian kita penuh memegang ponsel kita tidak akan merasa jenuh. Apalagi jika kita sudah tertarik akan sesuatu di dalam ponsel itu. Jika dibiarkan, anak-anak dan siswa kita yang suka bermain game, jangankan sehatrian, berhari-haripun akan mereka lakukan. Otak yang sudah dijejali kesenangan, jarang digunakan untuk berpikir, memang pasti akan tumpul. Akibatnya jelas, malas berpikir, enggan mengerjakan sesuatu yang membutuhkan pemikiran. Dampak yang nyata, anak-anak yang sudah kecanduan gawai itu bahkan dengan mantap mengatakan, “Jangan paksa aku bersekolah,”. Ironis dan tragis. Keputusan itu teramat sangat disayangkan. Saya yakin banyak kasus serupa di tempat lain.
Untuk anak-anakku yang telah berhenti bersekolah, kalian belum tahu… Andai engkau tahu bahwa ada jutaan anak lain yang merindukan bangku sekolah. Andai engkau tahu bahwa hidup itu tak akan bertambah mudah. Andai engkau tahu betapa berharganya selembar ijazah…bahwa di luar sana jutaan pencari kerja sibuk menyodorkan ke sana-ke mari ijazahnya demi mendapat pekerjaan yang layak. Andai engkau tahu bahwa pendidikan itu sangat penting untuk kehidupannya di masa mendatang. Andai engkau tahu bahwa keputusanmu hari ini menentukan masa depanmu puluhan tahun ke depan. Mengapa semudah itu kau menyerah? Ketahuilah, bahwa hidup tidak hanya untuk hari ini…
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Nggak mau sengsara ya. Mungkin krn badannya krg aktif bergerak jd otaknya ikut mandeg. Repot jg ya bu memotivasi nya. Smg tetap semangat bu Koen.
inspiratif
Saya malah mendukung si anak. Dia berfokus pada hal yang ia suka. Jangan berprasangka buruk dulu. Mungkin Kita sudah didoktrin sejak kecil bahwa pekerjaan membutuhkan ijasah, padahal pekerjaan adalah pilihan hidup. Bisa saja dia ingin berwirausaha. Atau menciptakan sesuatu dari ponselnya. Tidak semua pekerjaan mewah itu harus duduk di kursi kantor, berpakaian rapi, dan tunduk pada atasan. Banyak juga kok orang yang berpakaian rapi malah jadi koruptor. So jangan pernah menilai dari covernya