Sore itu kautanyakan sesuatu padaku. Pertanyaan sederhana yang kan tak mudah untuk kulupakan. Izinkan kuabadikan pertanyaan dan jawabanku padamu saat itu.

“Wah, sekarang setelah menjadi penyunting naskah, jadi jarang menulis? Mengapa?” Kurang lebih itulah pertanyaan yang kaulontarkan padaku. Apa kau masih ingat jawabanku? Kutulis di sini untuk mengabadikan catatan hatiku. Tapi ingat, ini adalah rahasia hanya antara kau dan aku. Inilah jawabanku sore itu:

Menulis adalah duniaku. Melahirkan karya adalah ceriaku. Namun, ketika amanah menyunting naskah dilekatkan di genggaman tanganku, maka, jika ada dua pilihan: menulis ataukah menyunting, yang kudulukan adalah pilihan kedua. Sebab, aku tahu rasanya menunggu kepastian nasib naskah yang kukirimkan. Aku taku tahu rasanya menanti jawaban akan tulisan yang telah kulayangkan. Aku tahu rasanya berharap cemas, bergulat dengan keresahan menanti kapankah saat kugenggam karyaku sebagai bukti kesungguhanku dalam mengekspresikan pikiranku…

Ya, jika aku mesti menunda menuangkan ide, bukan berarti karena tak bisa. Menyimpan gagasan bukan berarti sia-sia…

Saat ini yang kuinginkan adalah rekan-rekan sesama penulis, merasakan nyala bahagia ketika menerima kepastian akan terlahirnya maha karyanya. Aku ingin melihat untaian senyum pada pegiat literasi mengembang, saat menggenggam buku bukti eksistensinya…,

Selamat berkarya teman, aku di sini selalu siap membantumu mewujudkan mimpimu…

Kauingat akhir dari percakapan kita sore itu?

“Aku menulis, kau yang mengedit…janji ya…,” ungkapmu dengan semangat. Kusudahi dengan jawaban singkat dan senyuman termanis sebagai balasan.

“Ya, kutunggu…”