Karena Guru juga Manusia
Karena Guru juga Manusia
Guru juga manusia, bukan malaikat. Oleh karena itu wajar bila dalam menghadapi polah tingkah siswanya yang beragam dengan berbagai karakter, kadang menjadikannya kurang bersabar. Kita sebagai orang tua saja kadang juga kurang sabar dalam menghadapi anak-anak kita di rumah, apalagi guru. Guru harus mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan 20-32 anak pada waktu dan tempat yang bersamaan. Padahal puluhan siswa itu berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, kemampuan, dan karakter yang berbeda pula. Maka, sekali lagi wajar bila dalam proses pembelajaran, kadang guru memberikan penghargaan/hukuman tertentu pada siswa yang dianggapnya menjadi trouble maker. Sebab itu, miris rasanya saat mendengar beberapa kasus tentang “kekerasan” yang dilakukan guru dan bahkan menyeretnya ke jeruji besi. Sengaja kata “kekerasan” ini diberi tanda petik sebab ada yang harus diuraikan dari kata tersebut. Misalnya kekerasan yang bagaimana yang dimaksud? Apa batasan dari kata kekerasan itu?.Kekerasan dalam konteks kalimat di atas mengandung beberapa makna: 1) membahayakan nyawa; 2) tidak mengenal belas kasihan; 3) bersifat mengharuskan (memaksa, tegas). Di balik beberapa makna itu benarkah salah satu maknanya sesuai benar dengan apa yang dilakukan guru? Coba kita cermati empat kasus “kekerasan” yang dilakukan guru dalam pembelajaran di beberapa sekolah beberapa waktu lalu.
Pertama, guru Biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, Nurmayani, dibui di Rumah Tahanan Klas II Bantaeng, Sulawesi Selatan karena mencubit siswanya. Nurmayani menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng di rutan tersebut sejak Kamis (12/5/2016), sambil menunggu kasusnya disidangkan di pengadilan. Kedua, seorang guru di Sulawesi Selatan juga dipenjara usai mendapat laporan dari orangtua siswa. Guru bernama Mubazir ini dilaporkan ke polisi setelah memotong rambut seorang siswa laki-laki. Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia 2016-2021, Muhammad Ramli Rahim, kejadian bermula saat sekolah mengumumkan agar seluruh siswa SMAN 2 Sinjai Selatan merapikan rambut menjelang ujian semester. Siswa berinisial S ternyata tidak segera memotong rambutnya dan membuatnya mengambil tindakan tegas. Saat dipotong rambutnya, S menolak dan mencoba menangkis dengan tangan. Hal itu membuat tangannya tergores. S kemudian diobati di UKS meski lukanya tidak seberapa. Orangtua S rupanya tak terima dengan kejadian tersebut. melaporkan Mubazir ke Polsek Sinjai Selatan. Ketiga, Juli 2010, Rahman, seorang guru di sebuah SD di Banyuwangi, harus berurusan dengan pengadilan setelah memukul anak didiknya menggunakan penggaris. Keempat, Aop Saopudin, guru honorer SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat, pada Maret 2012 harus berurusan dengan hukum hanya gara-gara mencukur rambut siswa-siswanya yang berambut gondrong. Jadi tindakan Aop adalah untuk merapikan rambut mereka.
Dari keempat contoh kasus di atas, diketahui bahwa tindakan yang dilakukan guru adalah mencubit, memotong rambut, dan memukul dengan penggaris. Tindakan tersebut juga didorong oleh perilaku siswa yang sulit ditertibkan. Namun akibat tindakannya itu guru malah harus berurusan dengan hukum. Lalu apakah ketiga contoh tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk dari kekerasan? Dalam paparan Mendikbud 25 Januari 2016 mengenai Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang termasuk jenis-jenis tindakan kekerasan adalah pelecahan, bullying, penganiayaan, perkelahian/tawuran, perpeloncoan, pemerasan, pencabulan, pemerkosaan, kekerasan berbasis SARA/kekerasan lain yang diatur dalam UU. Dengan begitu apa yang dilakukan guru sebenarnya tidak dapat diketegorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap siswa. Namun demikian guru yang bersangkutan memang dapat diperkarakan dengan tuduhan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Lantas, bolehkah tindakan fisik seperti di atas dilakukan pada siswa? Ketua MUI Kota Pekanbaru Ilyas Husti, dalam Posmetro menyampaikan bahwa guru memberikan hukuman kepada murid didik dengan batas-batas tertentu bersifat tarbiah (mendidik) dengan maksud membentuk karakter dam moral anak, diperbolehkan. Hukuman sesuai batas-batasnya (termasuk cubitan) dimaksudkan untuk mendidik. Yang menjadi masalah adalah cara mendidik yang salah sehingga merusak karakter anak walaupun dengan berlemah-lembut. Kadang ucapan justru lebih menyakitkan daripada cubitan atau pukulan.
Tidak akan ada reaksi tanpa aksi, tidak ada akibat tanpa sebab. Demikian juga dengan guru. Tidak mungkin seorang guru tiba-tiba mencubit siswanya bila siswa tersebut tidak bersalah. Pasti ada yang menjadi penyebab mengapa guru melakukan tindakan tertentu kepada siswanya. Seorang guru tentu tahu benar dengan apa yang dilakukannya dan apa tujuannya. Kadang hukuman fisik seperti mencubit, perlu dilakukan pada siswa yang telah berulang-ulang diingatkan karena mengganggu proses pembelajaran. Penulis yakin, guru pun tahu bagian tubuh mana yang boleh dicubit dan seberapa keras cubitannya. Dalam PP No. 74 tahun 2008 pasal 39 ayat 1, disebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, dst., dan pada ayat 2 disebutkan bahwa sanksi tersebut dapat berupa teguran/peringatan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, hukuman fisik merupakan alternatif terakhir bagi guru dalam menindak siswanya. Selama siswa masih dapat diingatkan secara lisan, misalnya dengan dinasihati atau diberi pengarahan, maka hukuman fisik tidak perlu dilakukan. Seyogyanya orang tua dan masyarakat luas tahu lebih bijak dalam menyikapi tindakan yang diambil guru pada siswanya. Selama tindakan itu dinilai wajar seharusnya kita dapat memaklumi tindakan guru dan tidak perlu sampai membawanya ke jalur hukum.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar