MANTAPKAN DULU DI SEKOLAH DASAR, SELANJUTNYA TERSERAH ANDA
Kasihan. Itulah satu kata yang mewakili perasaan saya. Kata itu tertuju untuk keponakan saya yang duduk di bangku kelas dua SD. Bagaimana tidak, tiap kali saya bertemu dengannya, dia selalu merengek pada saya.
“Bude, bantu Ica mengerjakan PR,” katanya sambil merajuk. Matanya membulat, wajahnya memelas. Hati saya pun luluh.
“Ya, baiklah,” jawab saya sambil mengambil tempat di sampingnya.
“Hore…,” jawabnya sumringah.
“Alhamdulillah hari ini aku bebas tugas, selamat menukmati bu Guru,” kata mama Ica pada saya. Saya tersenyum. Ah, PR anak kelas dua SD paling juga sepuluh menit selesai.
Saya buka lembaran buku tematik itu.
“Mana PR-mu?” Tanya saya pada Ica.
“ Itu Bude, yang Ica batasi pake penggaris, “ jawabnya ringan.
“Lho kok ada dua penggaris?” Saya bingung karna ada dua penggaris yang dijepitkan di dalam buku itu.
“Ya itu semua,” jawabnya.
Saya lihat penggaris pertama di letakkan di antara halaman 40 dan 41. Penggaris kedua dijapit di antara halaman 100 dan 101.
“Apa?” nada suara saya meninggi mendengar jawabannya.
“Iya Bude, kan mau ganti tema, jadi semua soal di buku itu harus dikerjakan.
“Semua ini PR-mu?” Ulang saya hampir tak percaya.
“Ampuun,” kata saya sambil menepuk jidat.
Ica tertawa melihat tingkah saya.
“Bude kan guru SMA masak mengeluh?” katanya.
Iya juga ya… masak guru SMA tidak bisa mengerjakan soal SD. Ter-la-lu.
Pelajaran bahasa Indonesia saya dahulukan, karena itu bidang saya.
“Kerjakan dulu, nanti yang tidak bisa tanya bude,” kata saya.
Ica mulai mengerjakan.
“Bude, paragraf narasi itu apa?” Tanyanya setelah sampai di soal nomor 4.
Saya tidak segera menjawab, saya cek soal itu. Paragraf narasi ditanyakan di pelajaran bahasa Indonesia kelas dua? Woooow.
“Ya yang sulit lewati dulu, nanti bude ajari,” jawab saya menutupi keterkejutan saya.
“Ni bude, sekarang ganti pelajaran. Sebutkan macam-macam lari, Ica sudah nemu dua, lari cepat dan lari maraton, apalagi ya?”
Wah pindah bidang nih,
“Lari dari kenyataan,” jawab mama Ica yang tiba-tiba ada di belakang saya. Kami tertawa bersama.
“Iya termasuk lari pontang-panting, ada lagi, lari tunggang-langgang,” jawab saya bergurau. Ups, kalau ketahuan guru Penjaskes saya tentu dimarahi habis-habisan. Maaf tidak bermaksud demikian. Tapi sungguh soal itu di luar dugaan saya.
Ternyata sulit juga ya…
“Bude, kalau ini, bahasa Inggris…merangkai kata menjadi kalimat. Ini bagaimana caranya? Termasuk menerjemahkan kalimat ya?”
Lho lho lho…anak SD kelas dua harus bisa merangkai kata menjadi kalimat dalam bahasa Inggris. Menerjemahkan kalimat? Wah...tidak bisa dianggap enteng ni…luar biasa…
“Ni prakteknya membuat gunung berapi lo, Ma…bahannya sudah ada belum?” Tanya Ica setengah berteriak setelah membuka halaman lain.
“Ohya kalau ini…soal matematika PR-nya tentang angka loncat-loncat Bude…sekalian ya…,”
Angka loncat-loncat? Saya cermati. Ternyata adalah aritmatika. Duh…
Ck ck ck…saya terheran-heran membaca buku tema itu. Tugasnya luar biasa. Menurut saya itu sangat sulit bila harus dibebankan untuk anak SD. Apalagi baru SD kelas dua.
“Kamu ndak ngaji Ca?” Tanya saya melihat angka telah menunjukkan pukul empat sore.
“Ngajinya jarang Bude, ntar kalo ngaji PR-nya ndak selesai,” katanya sambil terus mengerjakan.
Astaghfirullahalazim. Saya bergumam dalam hati. Bagaimana bisa carut-marut seperti ini? Karena pelajarannya tematik guru ditarget harus menyelesaikan satu tema dalam waktu tertentu. Imbasnya, siswa ditugasi menyelesaikan banyak tugas karena akan berganti ke tema berikutnya. Akibatnya, Ica jadi jarang mengaji karena harus menyelesaikan tugas itu. Padahal mengaji itu penting. Masalah penguatan agama sekaligus pembiasaan ibadah. Bagaimana dengan Ica-Ica yang lain? Wah…jika ada ribuan anak yang mengalami ini…dampaknya bisa panjang, menyangkut keselamatan iman dan karakter anak bangsa. Duh…
Sebagaimana kita ketahui, sekolah dasar adalah jenjang awal sekolah bagi seorang anak. Bagi saya dasar itu adalah pondasi. Namanya pondasi ya harus kuat. Pondasi itu harus mantap. Sebab tanpa pondasi yang kuat sebuah bangunan akan mudah goyah. Porsi besar harus diberikan pada mapel agama, pendidikan kewarganegaraan, matematika, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Di sekolah dasar, anak harusnya diberi ilmu-ilmu dasar yang benar-benar dibutuhkan. Jika dasar yang diberikan sudah kuat maka di sekolah menengah pertama nanti, anak tidak akan kesulitan dalam menghadapi materi lanjutan.
Misal, untuk matematika, selama di sekolah dasar, anak harus benar-benar menguasai penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Itu saja. Asalkan dasar hitungan itu kuat, soal apapun tentang matematika pasti bisa dikerjakan. Dalam contoh kasus di atas, anak harus belajar aritmatika sedangkan penjumlahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian saja belum dikuasai sepenuhnya. Bagaimana bisa mengerjakan?
Untuk bahasa Indonesia, dasar yang harus diberikan adalah membaca dan menulis. Misal di kelas dua anak fokus membaca dan menulis. Membaca apapun. Pembiasaan membaca perlu dilatih sejak dini. Saya yakin tulisan anak SD kelas dua juga masih kaku. Karena itu anak perlu intens berlatih menulis. Setelah itu barulah dikenalkan macam-macam kata, awalan/imbuhan, tanda baca, dan cara merangkai kata menjadi kalimat. Kemudian barulah berlatih menyusun kalimat. Pokoknya berikan saja dasar yang memang diperlukan. Jika membuat kalimat saja belum bisa, membaca saja masih kesulitan, sudah diminta membuat paragraf narasi, bagaimana ini?
Untuk mapel pendidikan Jasmani…anak ditanya tentang macam-macam lari. Apa memang perlu? Saya rasa itu juga perlu mendapat perhatian. Yang diperlukan adalah praktik berlari. Kebermanfaatan teori penjas bagi anak SD kelas dua, tampaknya juga harus dipikirkan lagi
Untuk penguasaan IPA, perlukah juga anak diminta praktik membuat gunung berapi? Apa relevansinya dengan kehidupan sehari-hari anak? Jika tujuannya untuk melatih kreativitas itu memang baik, tapi yang terjadi kadang yang kreatif justru orang tuanya, bukan si anak. Saya jadi sering mengamati, jika diminta membuat percobaan/prakarya, yang ribet adalah mamanya. Praktik ini praktik itu…Ica memang ikut terlibat, tapi pelaku utama dalam kegiatan itu adalah mamanya. Yang praktik kok jadi mamanya ya?
Satu lagi, menurut saya perlu juga dicermati pentingkah pelajaran Bahasa Inggris diajarkan mulai kelas satu SD? Bahasa daerah dan bahasa Indonesia saja belum bisa, anak sudah diminta belajar bahasa asing. Jadilah anak-anak itu malah menguasai bahasa “tanggung”. Bukan bahasa daerah, bahasa Indonesia, atau bahasa Inggris. Mengapa begitu? Ya karena ketiga bahasa itu hanya dikuasai setengah-setengah. Bahkan mungkin kurang dari setengah. Dalam bahasa daerah (Jawa) antara tulisan dan cara pengucapan seringkali berbeda. Dalam bahasa Inggris, tulisan dan cara pengucapan jauh berbeda. Sementara itu praktik berbahasa Indonesia juga belum baik, pun masih jauh dari benar secara kaidah. Mengapa tidak memantapkan bahasa ibu dan bahasa nasional lebih dulu? Dalam kesehariannya, anak-anak hanya menggunakan dua bahasa itu. Saya yakin, sangat sedikit yang aktif berbahasa Inggris di luar sekolah. Anak sekecil itu dipaksa menguasai tiga bahasa. Kasihan sekali…
Sekolah dasar adalah jenjang sekolah terpenting bagi anak. Penanaman budi pekerti, pembiasaan ibadah, penguatan karakter haruslah dinomorsatukan di jenjang ini. Nasionalisme, termasuk kecintaan terhadap budaya daerah dan nasional harus ditanamkan kuat di tingkat dasar. Saya bayangkan, jika anak-anak SD kuat karakternya, kuat penguasaan bahasa ibu dan bahasa nasionalnya, kuat imannya, tentu kita akan punya generasi hebat. Generasi militan. Tapi jika ilmu yang dikuasainya tanggung, bahasa tanggung, iman yang tanggung, nanti di bangku SMP, saatnya mereka mengalami masa transisi baik secara fisik maupun psikis, tentu sulit bagi mereka menghadapi ancaman dari luar yang demikian gencar.
Tampaknya perlu ada revolusi pendidikan. Perlu kajian mendalam tentang kebutuhan anak di tiap jenjangnya. Perlu pemikiran yang jernih untuk mencermati kesesuaian ilmu yang diberikan dengan usia dan kemampuan berpikir seorang anak. Untuk itu dibutuhkan pakar dan tokoh-tokoh penting di bidang pendidikan yang benar-benar ingin menjadikan generasi emas kita berkilau di masanya kelak. Kapankah terwujud?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
betul. terkadang kesannya materi di SD terlalu luas tapi tak mendalam.. Kasihan anak2
Bunda...itu bisa jadi kurikulum sdh k13 tp gurunya msh blm k13. Jadi kasian anak2 nya. Penanaman akhlak dan agama lebih penting bun...
anakku saat ini baru kelas 1 SD. Aduhhhh, tiap hari mumet dibuatnya
iya bu...semoga artikel di atas bisa menggugah hati para pengambil kebijakan. Amin.
Penulisan buku berpedoman pd KD dr Permendikbud. Akhir 2016 ada revisi KD pd Permendikbud 24/2016. Ada bnyk perubahan, terutama pd KD Bahasa dan Matematika. Saat ini buku tematik yg sdh direvisi adlh kelas 1 & 4. Yg lain menyusul. Semoga kelas berikutnya segera dituntaskan. Dan anak SD tidak lg terbebani bnyk materi lg.
Kenyataan ini yang membuat pemikiran anak, kalau sekolah itu tidak menyenangkan! AYAHAB..