MENGAPA SELALU “KITA”?
Sore itu saya sedang menonton acara investigasi tentang masalah keberanian seorang pedagang mencampur masakan yang dijualnya dengan bahan kimia berbahaya. Tema itu sebenarnya sudah basi, tapi karena ada wawancara langsung dengan pedagang curang, saya jadi tertarik meski wajah pedagang itu diburamkan. Kira-kira beginilah salinan percakapannya.
Reporter : Apa alasan bapak mencampur bahan kimia berbahaya dalam masakan bapak?
Penjual : Biar awet, biar tidak cepat rusak.
Reporter : Di mana Bapak membeli bahan kimia tersebut?
Penjual : KITA membelinya di salah satu apotik, mas.
Reporter : Lalu cara menggunakannya?
Penjual : ya, KITA campur saja dalam proses pembuatan makanan.
Reporter : takarannya bagaimana?
Penjual : ya, suka-suka.
Saya semula fokus pada bahan kimia yang dibeli oleh penjual itu. Tapi setelah menyimak percakapan itu dengan cermat, fokus topik jadi teralihkan pada penggunaan kata “KITA”.
Pembaca, cermatilah kata ganti “KITA” yang digunakan dalam penggalan wawancara tersebut. Pertanyaan saya, 1) apakah reporter ikut membeli bahan kimia itu? Jawabannya, “TIDAK.” Pertanyaan 2) apakah reporter ikut mencampur bahan kimia pada proses pembuatan makanan? Jawabannya juga, “TIDAK.” Nah, yang saya herankan, mengapa reporter “mau” dan membiarkan dirinya dilibatkan dalam kasus pembelian dan pencampuran bahan kimia itu padahal dia tidak tahu-menahu akan kecurangan itu?
Pembaca pasti bertanya-tanya, reporter mau dilibatkan dalam urusan kecurangan itu? Mana buktinya? Buktinya reporter tidak protes saat penjual menggunakan kata ganti “KITA” dalam pembicaraan tersebut. Mungkin reporter tidak menyadari hal itu. Coba cek kembali…
Kata ganti “KITA” digunakan bila pembicara melibatkan orang yang diajak berbicara (mitra tutur) dalam sebuah pembicaraan. Contoh mudah kita temukan dalam konteks pidato/ceramah:
“Bapak Ibu, marilah KITA sampaikan rasa syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kita limpahan nikmat…,” atau
“Hadirin, marilah KITA berdoa untuk menutup acara ini,”
Penggunaan kata ganti KITA pada dua contoh di atas sudah tepat karena orang yang diajak berbicara memang (seharusnya) dilibatkan, diajak atau diikutkan. Coba kalau kita ganti kalimat itu,
“Bapak Ibu, marilah KAMI sampaikan rasa syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kita limpahan nikmat…,”
“Hadirin, marilah KAMI berdoa untuk menutup acara ini,”
Jika Anda ada dalam acara tersebut, apakah Anda akan ikut bersyukur dan berdoa? Saya rasa tidak perlu, kan Anda tidak diajak?
Kasus salah kaprah dalam penerapan kata ganti “KITA” saat ini sering kita jumpai. Sebenarnya, selain KITA, ada kata ganti KAMI, untuk menggantikan orang pertama jamak. Namun pada kenyataannya, yang populer digunakan adalah KITA. Memang dengan menggunakan kata ganti KITA, kesan akrab dan sopan lebih terasa. Tapi jangan serta-merta demi keakraban kita gunakan kata ganti KITA tersebut. Kita harus melihat konteks pembicaraannya dan tepat tidaknya penggunaan kata tersebut.
Saya pernah menginvestigasi tiga murid yang membolos selama dua hari berturut-turut. Kebetulan mereka satu geng, jadi melakukan aksi membolos itu secara bersama-sama. Ini petikan wawancara saya dengan mereka.
Saya : “Ada laporan bahwa kalian bertiga selama dua hari tidak masuk sekolah, benar?”
Murid : “Benar, Bu,” (serempak)
Saya : “Kalian pergi ke mana dan melakukan aktivitas apa ketika membolos?”
Murid 1 : “Hmmm, KITA pergi ke rental PS”
Saya : “Eits, tunggu dulu, KAMI, bukan KITA, Bu Khoen tidak ikut kalian,”
Murid 1 : (bengong sebentar) Lho, Bu?
Saya : “Iya, kan…saya tidak ikut ke rental PS itu kok kamu bilang KITA? Ayo diulangi, ganti dengan KAMI, karena saya tidak ke rental PS dengan kalian, apa saya waktu ituikut kalian ke rental PS?”
Murid : “Tidak Bu,” (serempak)
Murid 1 : “Oh iya ya…Bu Khoen tidak ikut. Saya ulang Bu, KAMI pergi ke rental PS,”
Saya : “Nah, itu baru betul.” (tersenyum)
Saya : “Yang kalian lakukan di rental itu?”
Murid 2 : “KITA main PS, lalu setelah itu KITA keliling kota,”
Saya : “Eits, Apa Bu Khoen ikut main PS? saya tidak ikut main PS.Saya juga tidak ikut kalian keliling kota, kok KITA lagi?”
Murid 2 : (garuk-garuk kepala)
Saya : “Saya tanya, apa saya ikut kalian main PS waktu kalian membolos?”
Murid 2 : “Tidak, Bu…,”
Saya : “Ya sudah, kalau begitu jangan menggunakan kata ganti KITA dong,”
Murid 2 : “Maaf, Bu…,”
Saya : “Ayo diulang, kalau orang lain mendengar seolah-olah saya ikut terlibat dalam tindakan kalian, padahal tidakkan?”
Murid 2 : “Iya, Bu…KAMI main PS lalu keliling kota,”
….
Itulah penggalan investigasi saya dengan tiga murid yang membolos waktu itu. Bayangkan efek dari penggunaan kata KITA yang tidak pada tempatnya tersebut. Lha wong saya sehari-hari di sekolah, eh tiba-tiba tiga anak itu melibatkan saya dalam acara membolos, main PS, hingga keliling kota…bisa tercemar nama baik saya…hehehe…
“Ya, begitulah kalau guru bahasa Indonesia sekaligus menjadi guru BK, pusing kepala kita hanya gara-gara KITA” kata salah satu murid saya ketika keluar dari ruangan saya.
“He, yang pusing itu kamu, bukan KITA,” kata yang lain.
Saya hanya tersenyum simpul mendengarnya…
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
analisis keren dan super duper. Bikin KITA eits saya lebih paham hehe. Terima kasih ilmunya yang dahsyat memikat
Waw trimakasih bu guru bhs indonesia emang kerennnn
Sepakat bu...
Keren bu...