Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGAPA TERGESA MENIKAH?

MENGAPA TERGESA MENIKAH?

Sebagai guru sekaligus orang tua, saya seringkali merasa geram sekaligus prihatin ketika menangani siswa yang tak lagi berminat bersekolah. Kegeraman itu muncul karena tahu dia tak berminat bersekolah karena alasan yang dikemukakan. Yaitu malas berpikir atau ingin cepat menikah. Yang akan saya bahas kali ini adalah alasan kedua, yaitu ingin cepat menikah. Bila sudah begini, biasanya siswa itu akan sulit dibujuk. Ia bersikukuh tak mau bersekolah demi keinginannya segera mengayuh bahtera rumah tangga bersama kekasih tercinta. Hmmm….

Saya geram. Sangat geram. Bagaimana tidak? Usianya baru menginjak 16 tahun. Remaja yang masih belia. Ibaratnya baru saja membuka mata mengenal untuk dunia. Baru merengkuh sejumput ilmu dari lautan pengetahuan. Baru saja melangkah menyongsong cakrawala wawasan di jenjang pendidikan menengah, belum pula menggali potensi diri yang masih terpendam, tiba-tiba saja memutuskan berhenti hanya karena ingin menikah? Ah, sesak dada saya seketika karenanya.

Betapa tidak? Perempuan yang berusia belasan, secara fisik memang sudah terlihat sempurna. Namun sesungguhnya tidak demikian. Sejumlah hormon perkembangan masih terus bekerja di dalam tubuhnya untuk mematangkan fisik dan psikisnya. Secara emosi, masih sangat labil. Bisa-bisa kalau punya anak di usia itu, anaknya menangis, ibunya juga ikut meraung-raung. Karena memang masih kekanak-kanakan.

“Anakku, dengarkan ibu,” kata saya pada siswa itu. Dia tertunduk ketika saya mengajaknya berbicara empat mata.

“Kamu ingin menikah? Benar ingin menikah?” tanya saya halus namun penuh penekanan.

Dia mengangguk. Mantap. Saya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sambil mencari kalimat yang tepat buatnya.

“Nak, usiamu baru 16 tahun. Baru ada di awal kelas sebelas. Kamu masih sangat muda,” kata saya mengawali pembicaraan.

“Kalau sudah dewasa nanti kamu ingin jadi apa?”

“Tidak tahu, Bu,” jawabnya singkat. Respons itu memang sudah saya duga sebelumnya.

“Baik, kapan rencana menikah?”

“Saya sudah dilamar,” katanya malu-malu. Kebahagiaan sekaligus kebanggaan terpancar dari wajah polosnya.

“Apa yang kamu bayangkan bila sudah menikah?” tanya saya.

“Ya seneng Bu, bahagia pokoknya,” jawabnya lugu.

“Kamu mau mendengarkan saya? Anggap saja ini untuk tambahan wawasanmu tentang pernikahan,” kata saya. Dia memandang saya dengan serius. Tampaknya dia benar-benar ingin mendengarkan saya.

“Menikah itu ibadah mulia. Itu sudah jelas. Akan tetapi, kehidupan dalam dunia pernikahan, tidak sama dengan masa pacaran. Itu sangat berbeda. Sebab di dalam penikahan, beban tanggung jawab tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya, sudah ditumpukan pada pasangan tersebut.”

Saya amati dia mencermati dan berusaha mencerna kata-kata saya.

“Nanti, kamu akan menjadi istri sekaligus ibu bagi anak-anakmu...”

“Tapi kan saya belum mau punya anak dulu Bu,” sanggahnya tiba-tiba. Saya tersenyum.

“Lho, setelah menikah ya harus mau punya anak. Itu pembuktian diri perempuan dan laki-laki bahwa mereka sanggup melanjutkan keturunan dari keluarga kalian. Kalau tidak mau punya anak, bisa-bisa ada tuduhan mandul..,” jelas saya. Dia terdiam.

“Oh, begitu ya Bu, “

“Iya. Usiamu kan baru 16 tahun. Nanti ketika kamu hamil, hormon perkembangan dalam tubuhmu akan terhenti dialihkan untuk hormon kehamilan dan persiapan menyusui. Artinya, ada sesuatu yang dipaksakan dalam dirimu. Maka jangan heran bila risiko kanker serviks mengancam perempuan yang melahirkan di bawah usia 20 tahun,”

“Kok serem Bu,”

“Ya, memang begitu… melahirkan di bawah usia 20 tahun memang berisiko, karena belum waktunya. Nah, kalau kamu menggunakan alat kontrasepsi, memang tidak akan hamil. Tapi dampak yang lain, kalian tidak tahu siapa yang subur dan tidak, karena proses bertemunya ovum dan sperma sengaja dihambat,”

Dia mengangguk-angguk.

“Kemudian, saya tanya, apa kamu sudah siap bangun berkali-kali malam hari untuk mengganti popok, menyusui, dan menggendong bayimu bila rewel?”

“Gitu ya Bu?”

“Iya, lha kamu kan ibunya…, apa kalau anakmu rewel, ngompol, atau minta susu mau kamu biarkan? Itu bagian dari tugas ibu…,”

“Aduh,”

“Ya begitu, setelah itu kamu harus siap tiap bangun tidur berpikir belanja apa, masak apa, setelah itu mencuci piring, baju, membersihkan rumah, melayani suami, sekaligus meladeni anak. Itu pekerjaan ibu. Pekerjaan mulia, untuk yang sudah dewasa, paham akan hak dan kewajiban tidak masalah. Tapi untuk remaja seusiamu saya kurang yakin…,”

“Waduh,” lagi-lagi itu yang diucapkannya.

“Selama ini, kamu bangun tidur, masakan sudah siap di atas meja, baju sekolah sudah rapi tinggal pakai, rumah sudah bersih, iyakan? Siapa yang mengerjakan semua itu?”

“Ibu saya,” jawabnya.

“Iya, nanti kalau kamu sudah menikah, semua itu juga akan kamu kerjakan. Kamu sanggup?”

“Kalau si suami pekerjaannya sudah mapan, penghasilan besar, itu tidak terlalu berat. Tapi bila sebaliknya, termasuk urusan mencari tambahan penghasilan akan dipikirkan oleh si istri,”

“Karenanya, perempuan itu harus berpendidikan tinggi. Ia harus cerdas agar bisa mendidik anak-anaknya dengan lebih baik. Ia juga harus bersiap dengan banyak kemungkinan. Termasuk alternatif bekerja. Itu harus dipikirkan.”

“Ternyata, berat ya Bu,”

“Iya, memang. Menikah kan tidak cuma urusan tidur bersama. Maka tujuan menikah juga harus dirumuskan, sehingga jelas apa niat awal menikah itu. Sebab banyak yang pernikahannya hanya bertahan seumur jagung. Salah satunya karena tidak jelasnya tujuan menikah. Menikah hanya dianggap legalitas untuk hubungan seks. Kalau sudah demikian, runyam urusannya.”

Dia mengangguk. Matanya sesekali menerwang. Mungkin dia tengah berpikir ulang.

“Mengapa kamu tergesa menikah? Usiamu baru 16 tahun. Seandainya umurmu kelak sampai 76 tahun, kamu akan hidup bersamanya selama 60 tahun. Kamu bersekolah hanya 3 tahun di SMA ini. Tapi bila lulus dan berijazah, ijazahmu itu bisa untuk mencari pekerjaan, juga untuk melanjutkan pendidikan.”

“Bila tidak lulus, berarti kamu hanya memegang ijazah SMP. Dengan ijazah SMP, bisakah kamu melamar pekerjaan ke perusahaan/instansi tertentu? Bisakah kamu berkuliah? Jelas tidak bisa. Kamu harus ikut pendidikan kejar paket agar mendapat penyetaraan ijazah dengan SMA.”

Dia terdiam. Namun matanya lekat memandangi saya.

“Ini serius, kamu bersekolah 12 tahun, itu tanpa kuliah. Kalau dengan kuliah, sekitar 16 tahun. Tapi menjalani masa pernikahan sekitar 50 tahun. Dua belas atau enam belas tahun itu untuk bekalmu mendapat pekerjaan yang layak guna menghidupimu 50 tahun yang akan datang. Apa tidak sayang bila kau tinggalkan masa sekolah ini? Masa yang singkat tapi penuh manfaat ini?”

“Bicara soal menikah, jangan khawatir. Semua orang bakal menikah. Tapi tentunya harus disiapkan dengan matang. Siap fisik, siap mental, siap ekonomi, dan siap bertanggung jawab,” lanjut saya.

Dia terdiam.

“Nak, masa muda itu hanya sebentar. Manfaatkanlah untuk meraih mimpi-mimpimu. Raih segala anganmu. Kau ingin jadi apa saja…semua bisa kau dapatkan di waktu muda. Jangan biarkan ia berlalu begitu saja…sebab bila masa itu telah pergi, ia takkan pernah kembali. Jangan sampai menumbuhkan sesal di kemudian hari…sebab…sesal itu takkan pernah bisa terobati,”

“Jika benar ia mencintaimu, setidaknya ia akan mau menunggumu hingga kamu lulus SMA. Ketahuilah, cinta itu membebaskan, bukan mengekang. Cinta itu menghargai, bukan mencederai. Cinta itu toleran, bukan egois,”

Saya lihat dia merenung. Semoga dia mau berpikir ulang tentang rencana pernikahannya itu. Ah, masa remaja yang harusnya dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan, menampung sebanyak-banyaknya ilmu, menjalin pertemanan seluas-luasnya, meraih prestasi setinggi-tingginya… Mengapa harus dipangkas begitu saja untuk memasuki dunia pernikahan yang rumit itu?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Oh, menkah saja, untuk menjaga kesucian, daripada pacarandi luar batas kewajaran, hahaha ....

03 Jul
Balas

Saya juga hari sedang menyaksikan pernikahan siswa yg masih di kelas XI kalau ini perjodohan dari kedua orang tuanya. Miris melihatnya

02 Jul
Balas

Kalau sudah urusan perjodohan, sepertinya si anak takkan bisa mengelak.

03 Jul

Semoga mbak Koen bs menyelamatkan siswanya dr pernikahan dini. Masa dpn mereka msh panjang. Semoga sukses mbak

03 Jul
Balas

Amin, terima kasih dukungannya bu...

03 Jul

Saya mah terserah calon saja. Kalau mereka siap, ok sajalah. Hehehe

02 Jul
Balas

Wih...kalau begitu memang ringan ya, Pak.. he he he

02 Jul

Subhanallah, keren bu Pendekatan dari hati ke hati, insya Allah tembus ke hati pula.

02 Jul
Balas

Amiin..

02 Jul

Bermanfaat untuk membentuk generasi yg siap mental dan fisik Sip, bu.

02 Jul
Balas

Terima kasih Pak.

02 Jul

Alhamdulillah bu Eka sudah mengambil tindakan yg benar...semoga menjadi amal baik bagi ibu.

02 Jul
Balas

Insya Allah, Amin... kadang di usia sekian mereka memang hanya menuruti kata hati dan belum berpikir panjang.

02 Jul



search

New Post