MENJADI DIRI SENDIRI, ITU HARGA MATI
Bagi saya, menjadi diri sendiri itu sesuatu yang mutlak, tak dapat ditawar-tawar lagi. Karenanya ketika putri sulung saya mencoba menawar hal itu, saya hanya tersenyum. Seringkali dia “protes” dengan penampilan saya yang menurutnya begitu-begitu saja menurutnya. Seperti sore itu, si sulung itu mendekati saya. Pasti ada hal penting yang mau disampaikannya.
“Bu, tahu Bu Meta?”
“Ya, kenapa?” tanya saya sambil menata baju.
“Tadi ke sekolah penampilannya matching banget deh, Bu,” katanya sambil duduk di dekat saya.
“Ohya?”
“Iya, bajunya krem, tas krem, lipstik krem, hijab krem, sepatu krem, pokoknya asyik melihatnya,” jelasnya mengagumi penampilan salah satu guru di sekolahnya.
“Terus?” tanya saya singkat.
“Kok terus?”
“Lha iya, tujuan Ayu bercerita apa dong?” pancing saya.
“Ya, mau Ayu, ibu kayak Bu Meta itu. Yang match dong Bu kalau berpenampilan,”
Saya tersenyum.
“Baju setelan dengan warna senada itu anggun, Bu.”
Saya amati baju-baju saya. Sebagian besar memang batik sekolah.
“Gaya berhijab ibu juga gitu-gitu terus. Saat modenya pakai pasmina, ibu tetap dengan hijab segi empat, saat modenya hijab syar’i, ibu juga tetap dengan kerudung itu. Saat yang lain pakai motif bunga-bunga, ibu juga pakai itu-itu saja,” katanya mulai melancarkan jurus protesnya. Saya biarkan dia berpendapat.
“Terus?”
“Saatnya yang lain ganti-ganti foto profil di WA, Ayu lihat foto ibu ituuuu saja.” Saya tersenyum lagi. Saya jadi ingat sejak menggunakan Whats App hingga sekarang saya belum pernah mengganti foto DP. Pun sudah beberapa tahun saya tidak mengganti foto profil di FB. Baru kemarin saya menggantinya. Itupun karena ada suatu misi yang sedang saya emban.
“Trus, waktu modenya high heels, atau wadges, ibu juga pakai sepatu yang malah kadang gak mode sama sekali,” katanya merambah ke dunia persepatuan. Saya jadi melirik ke arah rak sepatu. Sepatu saya paling tinggi berukuran 3 cm. Yang lainnya sepatu datar. Pernah saya coba bersepatu berhak lebih dari 3 cm, sampai di rumah, kaki saya terasa cenut-cenut karena harus naik turun tangga berkali-kali . Walhasil saya terpaksa memanggil Mak Ni, tukang pijat panggilan di kampung untuk mengurut betis yang crekot-crekot itu.
“Bu,” kata Ayu membuyarkan lamunan saya.
“Lalu?”
“Ya, yang modis kayak yang lain dong Bu, yang lain pakai tas tenteng, ibu pakai tas besar biru itu juga. Malah sekarang sedang mode tas transparan lo Bu,” katanya. Saya terdiam. Tas transparan? Jujur saya baru mendengarnya sekarang.
“Yuk bali bakso di gang depan,” kata saya mengalihkan pembicaraan. Bisa sampai malam si sulung itu mengiming-imingi dan menyuruh saya mengekor mode yang kekinian. Ah anak muda memang begitu. Saya maklum bahwa di usianya yang masih belia itu ingin selalu up to date untuk urusan mode. Tapi kalau saya diminta ikut-ikutan juga? Saya takkan sanggup.
“Tuh kan kalau tidak bakso pasti pangsit atau mi ayam,” katanya lagi. Kali ini yang dia protes adalah selera makan saya.
“Mau ndak?” tanya saya.
“Ya, tapi nanti sambil makan bakso Ayu mau bicara lagi lo ya,” katanya sambil mengenakan hijab.
Bakso di gang depan rumah itu memang lezat. Saya sudah menjadi langganan tetap si abang tukang bakso.
“Nah, kan, ibu kalau ndak beli bakso pasti….,”
“Ssttt, sudah berdoa dulu lalu makan,” kata saya mengingatkan. Saat sedang asyik menikmati bakso, ada seorang wanita memesan bakso. Ayu menyenggol tangan saya. Wanita itu berdandan cukup “wah”. Bercelana jeans model pensil dipadu dengan kaus ketat warna putih, bersandal putih dengan hak sekitar 7 cm. Tas yang menggelayut di pundaknya berbentuk kotak dan bening seperti kaca. Oh itu rupanya tas transparan yang baru saja diceritakan oleh Ayu.
Betapa jernih tas itu sehingga semua isi tas tampak nyata terlihat. Di situ ada dompet putih, tab, dan ada jam tangan berwarna kuning emas yang berkilauan. Wah, tidak ada yang tersembunyi. Tas model begini bisa mengundang bahaya, pikir saya.
Tiba-tiba ada sepeda berhenti. Pemuda usia belasan berdiri di dekat si wanita itu. Saya pikir dia sedang mengantre untuk dilayani. Namun kurang dari tiga menit, terdengar teriakan dari si wanita.
“Tolong, copet…copett, “ katanya. Pemuda itu berlari ke arah sepedanya. Dia berusaha mengejar si copet. Namun malang, sandal setinggi 7cm itu tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya ketika berlari. Dia terjatuh di trotoar karena keseleo. Yang terjadi berikutnya saya lihat si pencopet melemparkan tas transparan itu tanpa isi ke arah si wanita.
Kami tercengang. Tubuh saya gemetaran. Bibir ini rasanya terkunci rapat. Saya tak kuasa berkata-kata. Kejadian itu berlangsung sangat cepat hingga beberapa orang yang ada di warung bergeming di tempatnya. Bukan tak ingin membantu, tapi tubuh ini serasa membatu. Setelah pencopet itu pergi diiringi raungan sepeda motornya yang memekakkan telinga, barulah kami tersadar. Si abang bakso kemudian mendekati si wanita. Beberapa ibu yang berdiri di sekitar TKP memapah si wanita yang berjalan terseok-seok karena tumitnya bengkak. Ia menangis.
Saya dan Ayu masih tertegun. Saya tadi baru saja membatin perihal berbahayanya tas transparan itu karena mengundang semua mata untuk mencermati isinya…
“Nah, sekarang Ayu tahukan? Menjadi diri sendiri itu harga mati,” kata saya setengah berbisik. Putri sulung saya itu kali ini terdiam lama. Saya yakin sekarang ia paham apa maksud dari kalimat saya dan tidak akan memprotes ini itu lagi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Betul itu bu
Betul itu bu
BETUL. SEJAK DINI ANAK HARUS DIDIDIK MENGENAL DIRINYA SENDIRI, BU