Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
PAKSA SAJA, TAK MENGAPA

PAKSA SAJA, TAK MENGAPA

Kata memaksa acapkali bermakna negatif. Tidak sepenuhnya salah bila makna negatif berdampingan erat dengan kata tersebut. Memang ada unsur keakuan yang ikut di dalamnya. Subjek sebelum kata memaksa seakan-akan menggunakan kekuatannya, memasukkan keinginannya atau idenya pada orang yang menjadi objek. Contohnya, Pak Eko memaksa saya menulis buku. Dari contoh tersebut, ada kesan bahwa Pak Eko memiliki kekuasaan/kewenangan tertentu sehingga dia membuat saya bersedia menulis buku untuk menuruti kemauannya. Jelas unsur negatif itu tampak.

Namun makna positif sebenarnya juga ada. Kita lihat konteks kalimatnya lagi. Saya dipaksa untuk berbuat apa? Jawabannya adalah menulis buku. Jadi, hal yang diinginkan Pak Eko adalah atas diri saya adalah menulis buku. Kata memaksa dapat saja diartikan negatif. Akan tetapi, menulis buku adalah hal yang positif. Dengan demikian kita tak dapat serta merta memaknai negatif kalimat tersebut. Singkat kata, kata memaksa tidak selalu bermakna negatif. Bergantung pada kata apa yang mengikutinya.

Jika kita renungkan, ada banyak hal yang memang harus kita paksakan. Terutama jika kita menginginkan suatu perubahan. Contoh sederhana, ada seorang anak yang sudah waktunya makan sayur, tapi dia tidak mau. Apa yang akan dilakukan oleh sang ibu? Jelas si anak akan dipaksa untuk makan sayur. Entah lewat variasi menu masakan atau lewat cara lain. Sebab, jika sejak kecil seorang anak tidak dipaksa mengenal sayuran, sampai dewasa pun dia takkan suka makan sayuran. Seorang anak yang sudah waktunya berjalan tapi dia tak mau berusaha, pasti orang tuanya memaksanya untuk belajar berjalan dengan berbagai cara. Apa yang terjadi bila ia tak dipaksa berlatih berjalan? Tentu mengerikan. Jika ada seorang anak sudah waktunya bersekolah tapi dia tidak mau, apakah orang tuanya akan tinggal diam? Saya yakin tidak. Berbagai upaya, bujukan, dan nasihat, termasuk paksaan, pasti akan dilakukan oleh mereka agar si anak mau bersekolah. Jika orang tua menuruti kemauan si anak, bagaimana dengan masa depan si anak?

“Apabila anak tidak dilatih. Jika besar bapaknya letih,” begitu nasihat Raja Ali Haji, pujangga lama melalui karyanya Gurindam Dua Belas yang sangat populer itu. Benar, jika sejak kecil anak dibiarkan melakukan apapun semaunya, tidak dididik dan dilatih dengan baik, yang akan kesulitan kelak juga orang tuanya. Oleh karena itu orang tua wajib melatih anak-anaknya terutama saat mereka masih kecil. Kebiasaan di masa kecil akan terbawa hingga ia dewasa. Apa yang dilakukan di waktu kecil menentukan masa depan si anak.

Dalam tataran berlatih itu tentu kadang anak tidak mau, merasa keberatan, atau merasa tidak mampu. Orang tua harus memotivasinya bahkan bila perlu memaksanya menjalani latihan itu demi kebaikannya di masa depan. Tentunya memaksa dengan cara yang baik. Tanpa tekanan, seringkali anak-anak enggan melakukan suatu pekerjaan. Apapun itu. Misalnya, belajar, berpuasa, melakukan shalat lima waktu, mengaji, bahkan untuk urusan makan pun, beberapa anak harus dipaksa. Justru dengan tekanan, adanya paksaan, target yang jelas, mereka akan termotivasi untuk melakukan yang semula dianggap berat. Mula-mula memang mereka akan bereaksi melawan. Mungkin juga akan marah dan tidak mau melakukan yang diinginkan oleh orang tuanya. Akan tetapi, jika orang tua mampu mengatasi itu, si anak pasti mau berusaha.

Memaksa dengan tujuan mendidik, melatih, dan membiasakan harus dilakukan. Mula-mula memang paksaan itu terasa sangat berat. Namun jika telah terbiasa, tidak akan menjadi hal yang memberatkan lagi. Mula-mula anak melakukan shalat lima waktu karena takut pada ayah ibunya. Biarkan saja dulu anak menjalankannya setengah hati, mungkin juga dengan raut bersungut-sungut. Asalkan dia mau melakukan, itu sudah pencapaian yang baik. Lama-kelamaan dia akan tahu bahwa shalat memang kewajiban manusia sebagai hamba Allah. Seiring berjalannya waktu, dia akan terbiasa untuk shalat. Dia akan sadar bahwa shalat adalah sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhannya.

Memaksakan untuk kebaikan tidak hanya berlaku bagi anak-anak. Kita pun harus melakukannya. Kita harus memaksakan diri untuk berbuat lebih baik. Jika tak mau memaksa diri untuk bekerja keras, selamanya kondisi kita takkan berubah. Tak ada keberhasilan tanpa usaha maksimal. Untuk mencapai usaha maksimal, kita harus menggerakkan hati dan memaksa diri berjuang dan terus berjuang. Tanpa itu semua, kesuksesan takkan menghampiri kita.

Banyak kisah orang-orang yang sukses karena dipaksa keadaan. Lingkungan, kondisi, dan tuntutan kehidupan memaksa mereka untuk melakukan revolusi besar dalam hidupnya. Pun banyak orang yang sebenarnya berpeluang sukses, namun tidak sukses. Itu karena tidak ada paksaan dari sekitarnya, terutama dari dalam dirinya untuk membuat suatu perubahan. Jadi, memaksakan demi kebaikan, mengapa tidak?

Justru itu harus dilakukan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post