Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
PAPA-MAMA, COKELAT, DAN MAKSIAT

PAPA-MAMA, COKELAT, DAN MAKSIAT

Pulang dari Malang, seperti biasa, saya naik angkot. Di dalam angkot itu hanya ada beberapa penumpang, termasuk saya. Di depan saya, ada seorang ibu setengah baya. Melihat bawaannya, mungkin dia dari atau hendak bepergian jauh. Di samping si ibu, ada dua anak SD. Laki-laki dan perempuan, tengah akrab berbincang tentang materi pelajaran yang mereka dapat pagi tadi. Taksiran saya mereka duduk di kelas 5-6 SD. Di samping saya, seorang bapak tampak sibuk dengan gawainya. Sampai di pertigaan, si ibu turun. Tinggallah kami berempat. Semula saya abaikan dua anak SD itu. Namun, ada sesuatu yang mencuri perhatian saya hingga saya memutuskan untuk mengamati mereka. Saya buka ponsel, pura-pura sibuk melihat WA padahal telinga saya fokus menyimak percakapan mereka.

“Pa, sudah hampir valentine loo,” kata anak perempuan itu.

“Oh, iya ya Ma,” jawab anak laki-laki.

Saya hampir tersedak mendengar panggilan itu. “papa” dan “mama”. Bukannya itu panggilan untuk emak-emak dan bapak-bapak yang sudah beranak-pinak? Lha mereka kan masih anak-anak? Baru juga kemarin bisa buang ingus sendiri…hmmm, rasa prihatin, lucu, dan geram jadi satu. Mungkin karena mereka lihat hanya tinggal saya dan satu penumpang lain yang sama-sama sibuk dengan ponsel, mereka memutuskan untuk “alih kode” dalam hal panggilan ataupun pembicaraan. Dugaan saya pembicaraan mereka akan “memanas” setelah alih kode. Simak terus ya…

“Tutup mata,” kata anak laki-laki.

“Apaan sih, Pa?” tanya si “mama” dengan penasaran.

Tampak anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong tasnya. Sebatang cokelat yang dibungkus plastik bunga-bunga dan dihias dengan pita warna pink diletakkan di depan hidung si “mama”.

Saya pura-pura menelepon seseorang agar mereka tidak curiga.

“Yuk, buka mata, Ma,”

“Woow,“ teriak kecil si “mama” begitu mendapati sebatang cokelat di depan hidungnya. Saya lihat si “mama” mencium pipi si “papa” dengan cepat. Mungkin karena mereka sadar sedang berada di angkot.

Saya tercekat. Seusia mereka sudah bertukar tangan? Bertukar pipi???? Ini di dalam angkot, lha bagaimana di luar sana? Ah, saya ngeri membayangkannya. Mereka anak SD yang usianya belum belasan tahun namun sudah mendekat pada maksiat. Duh…

“Kok gak pas valentine aja ngasihnya?” tanya si “mama”.

“Kan ada suprise lain, nanti Ma…tunggu aja,”

Si “papa” menggenggam tangan si “mama”.

Saya berdehem cukup keras. Mereka terkejut.

“Kelas berapa, Dek?” tanya saya pada mereka.

“Ehm…kami kelas 4,” jawab si “papa”.

Saya mengangguk beberapa saat. Pikiran saya menerawang jauh, membayangkan anak-anak lain yang seusia mereka…

Mereka turun di sebuah gang. Tampak dari jauh mereka bergandengan tangan sambil memasuki gang itu….Tinggallah saya yang termangu dan beristigfar melihat mereka. Saya jadi ingat puisi yang saya tulis beberapa waktu lalu…

PERAYAAN VALENTINE 14 FEBRUARI

Kulihat mata muda-mudi berkunang-kunang

Berkerubut di bawah lampu-lampu taman

Di bawah lampu-lampu kafe

Di bawah temaram rembulan

Di bawah invasi globalisasi

Tertawa-tawa mereka

Berpasang-pasangan mereka

Bercumbu-cumbuan mereka

Mengamini hedonisme, liberalisasi

Atas nama kasih sayang

Di pelupuk mataku lalu tampak jelas

Muda-mudi usia belasan, hari ini

Bertukar kartu, bertukar cokelat

Bertukar kado, bertukar senyum

Bertukar lidah, bertukar kelamin

Bertukar botol, bertukar madat

Bertukar penyakit

Bertukar matahari dengan gerhana

Lalu…

Di pelupuk mataku tampak jelas

Muda-mudi usia belasan

Telah berusia puluhan

Belasan tahun sejak hari ini

Muda-mudi itu mungkin telah mati karena AIDS atau sifilis

Mungkin hidup tapi tinggal rangka hampir tak bernyawa

Mungkin hidup tapi tinggal jasad tak berotak

Mungkin hidup dengan depresi karena frustrasi

Saatnya mereka berkobar

Saatnya mereka terkapar

Saatnya mereka sehat

Saatnya mereka sekarat

Saatnya mereka dewasa

Saatnya mereka putus asa

Saatnya mereka hidup

Saatnya mereka redup

Saatnya mereka menjadi

Saatnya kematian terjadi

Mungkinkah menjadi pemimpin negeri ini?

(Puisi tersebut terdapat dalam Kumpulan Puisi “Mozaik Pelangi”-Khoen Eka Anthy, hlm. 26)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Anak SD? Masyaalloh...beratnys tgs ortu dan guru jaman Now

11 Feb
Balas

Miris sekali ya bunda... Apa yang harus kita lakukan sebagai guru apalagi guru SD

12 Feb
Balas

Astaghfirullah. Na'uzubillahi min zaalik

12 Feb
Balas

Cerita yang menakutkan bagi kita sebagai orang tua. untuk apa sih valentine?

11 Feb
Balas

Mba, tolong komentari juga dong tulisan saya di [email protected] terutama tentang kesalahan dan kekurangmenaikannya.Terima kasih. Salam literasi!

11 Feb
Balas

Astaghfirullah....,,sangat memperihatinkan. Salam Literasi Bunda....Baarokallah.

11 Feb
Balas



search

New Post