Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web

Perlakuan Diskriminatif Ala Penjual Mi

Sungguh saya tak menyangka akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari seorang penjual mi. Rasanya jengkeeel… Tapi itulah yang terjadi, dan demi kebaikan diri sendiri, saya terpaksa menerimanya. Kalau saya berontak, justru itu akan membawa dampak buruk bagi saya pada khususnya, dan bagi kaum perempuan pada umumnya. Ah, kok sampai membawa-bawa urusan gender ya? Baik, beginilah kisahnya.

Untuk menyegarkan kembali pikiran dari padatnya aktivitas, saya, si kecil, dan suami, berjalan-jalan menyusuri kawasan pinggiran kota. Kami sengaja memilih jalur alternatif karena memang ingin melihat hijaunya pemandangan, asrinya kawasan desa, dan segarnya hawa pegunungan.

Lelah berkeliling, rasa lapar mendera. Kami bersepakat untuk membeli mia ayam, salah satu makanan favorit kami. Setelah melihat ada salah satu warung mi cukup ramai, motor dihentikan lajunya tepat di samping warung tersebut. Prinsip kami, belilah makanan di tempat yang ramai pengunjungnya. Biasanya, bila warung makan dipadati pengunjung, ada tiga kemungkinan positif yang bisa kita prediksi. Makanan di tempat itu umumnya enak plus penyajiannya cepat. Kemungkinan kedua harganya bersahabat. Pembaca boleh mencoba tips ini…insyaallah takkan salah. Warung makan yang menunya enak, cepat penyajiannya, dan harga bersahabat adalah tempat yang wajib diburu oleh para pencinta kuliner, he he he…

Singkat kata kami memesan tiga mangkok mi. Dua porsi normal untuk saya dan suami, setengah porsi untuk si kecil yang baru berusia 5 tahun. Saya amati penjual mi itu sangat cekatan dalam merespons pesanan kami. Satu poin plus dia dapatkan. “Saya pasti akan kembali ke sini,” kata saya dalam hati.

Tentang pelayanan makanan, saya pernah punya pengalaman buruk. Lha wong hanya pesan sayur asem dan gorengan kornet kok saya menunggu hingga satu jam, siapa yang tidak emosi coba? Usut punya usut ternyata pemilik warung berbelanja dulu ke pasar untuk membeli sayur yang akan dimasak. Haduuuuh, bisa pingsan di tempat nih gara-gara protes keras dari perut yang tidak mau lagi diajak kompromi. Karenanya setelah itu ketiga prinsip tadi saya pegang teguh bila hendak membeli makanan. Caranya dengan melihat kondisi warung dari jauh atau celingukan dulu di area warung, biasanya itu tugas saya.…ada yang curiga dengan tingkah saya? Pastinya…tapi saya cuek saja… hehehe…

Baik, kembali ke warung mi tadi. Kurang dari 10 menit, mi telah siap. Penjual mi kemudian mendekati kami.

“Ini untuk adik,” katanya sambil meletakkan semangkok mi dengan porsi kecil di depan anak saya.

“Ini untuk ibune,” katanya sambil meletakkan mangkok di depan saya.

“Ini untuk bapake,” katanya kemudian berlalu dari hadapan kami. Saya tertegun melihat mangkok-mangok mi di depan kami. Ada yang tidak beres, batin saya.

“Bentar, jangan dimakan dulu,” kata saya pada suami.

“Kenapa, Jeng?” suami saya bertanya dengan heran. Tangannya batal meraih mangkok mi di depannya.

“Kok, porsi mi kita berbeda?” tanya saya.

Saya amati kedua mangkok mi kami sementara si kecil telah mulai menyantapnya. Aroma sedap yang menggoda terpaksa saya abaikan demi mengamati perbedaan yang signifikan itu. Ada mangkok mi untuk ibune, ada mengkok mi untuk bapake. Itu tadi kalimat dari si penjual mi…

Setelah saya amati, jelaslah bahwa ada perlakukan diskriminatif di sini. Mangkok mi untuk ibu (perempuan) lebih kecil dibandingkan untuk bapak (laki-laki) dengan isi yang tentunya juga tidak sama. Mi di mangkok saya porsinya lebih sedikit daripada yang disajikan untuk suami saya.

“Wah, tidak bisa begini…ini namanya diskriminatif,” protes saya. Dalam hal makan mi, saya rasa tak ada perbedaan porsi. Kalau sudah lapar, baik laki-laki maupun perempuan ya sama saja, dong. Sama-sama butuh asupan yang standar. Tak perlu dibedakan begini, apalagi saya sedang sangat lapar..

“Udah, gak perlu ribut, ni makan saja mi porsi bapake untukmu, “ kata suami saya.

Karena mi ayam adalah favorit saya, saya jelas tak menolak tawaran itu.

“Kalau cuma segini, ya jelas kuranglah,” kata saya lagi sambil menukarkan mangkok saya dengan jatah bapake tadi.

Usai menyantap mi, suami saya bertanya pada saya.

“Wah, kayaknya kita gak bakal ke sini lagi, nih,” katanya sambil menyeruput minuman.

“Kenapa?” tanya saya penasaran.

“Lha tadi menurutmu penjual mi sudah berlaku diskriminatif,” katanya lagi sambil senyum-senyum.

“Gimana ya…lha mi ayam ini enak banget, gini saja, nanti kalau ke sini lagi, mi bapake untukku lagi, ya…kan ayah tidak begitu suka mi…oke?” tawar saya pada suami.

“Ssst, jangan keras-keras, malu ah ibu-ibu makan porsi bapak-bapak,” katanya sambil setengah berbisik.

Saya celingukan. Semoga pembeli yang lain tak memperhatikan kalau saya barusan menyantap mi porsi bapake, hehehe…

Untuk makanan lain, oke saya bisa mengalah, tapi kalau urusan mi ayam…jangan coba-coba…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aduhh mie juga bisa menginspirasi hingga mengalir cerita ringan tapi top dech

16 Sep
Balas

Based on true story, bund...hehehe

16 Sep

Wow ternyata bunda penggemar berat mie ya

16 Sep
Balas

Yap...benar...jadi ketahuan ya..

16 Sep

Sama dong bun, kesukaan kita hehe

16 Sep
Balas



search

New Post