POTRET BURAM
Selama ini aku tak pernah berpikir untuk berbuat kecurangan. Meskipun aku pernah berbuat dosa tapi aku tanggung sendiri aib dari dosa itu. Aku tak pernah berpikir untuk membaginya dengan orang lain. Karena itu dosaku sendiri. Tapi kini, aku tak sanggup bila aku harus membagi dosa itu dengan orang lain. Aku memang bukan orang baik. Tapi aku ingin menjadi orang yang lebih baik dalam kehidupanku sekarang dan di masa datang. Aku ingat betul, di kelas aku selalu mengingatkan anak-anak untuk menghargai kejujuran, menjauhkan diri dari kecurangan dalam bentuk apa pun. Termasuk ketika ulangan. Bagiku kecurangan kecil akan menjadi pupuk yang akan menumbuhkan bakat kecurangan yang lebih besar dalam diri kita. Mungkin itu juga alasan mengapa anak-anak selalu diam tak berkutik bila aku yang menjadi pengawas di ruangan mereka.
“Kalian tahu, jika di bangku sekolah ini saja kalian selalu berbuat curang, dengan mencontoh pekerjaan teman, bekerjasama ketika ujian, atau membawa contekan ke dalam kelas, maka bagaimana kalau kalian kelak menjadi pejabat? Kecurangan itu akan terus kalian lakukan karena kalian telah terbiasa tidak menghargai kejujuran.”
“Kalian tahu, yang duduk menjadi anggota dewan adalah orang-orang pinter. Tapi kenapa mereka banyak yang terlibat korupsi, makan uang rakyat tanpa sungkan? Karena mereka tidak punya sifat jujur. Mereka pandai tapi tak berakhlak, tak bermoral. Karena itu di sekolah ini kalian dididik jujur, berakhlak supaya kalau sudah menjadi orang pandai tidak menggunakan kepandaian kalian untuk membodohi orang lain.”
Kalimat-kalimat yang sering aku selipkan di antara materi pelajaran itu seakan berputar kembali dalam benakku. Sekali lagi, aku bukan orang baik, tapi aku ingin menjadi lebih baik. Aku tak perlu membeberkan pahitnya hidup yang kualami sebelum aku menjadi penddik. Aku tak perlu mengumbar serentet masa lalu kelabu itu pada mereka. Tapi ketika aku berdiri di sini sekarang, berusaha menjalani hidup dengan lebih baik, aku ingin mereka menjadi manusia yang jauh lebih bermartabat daripada aku. Mereka tak perlu tahu siapa aku, tapi mereka perlu tahu bahwa untuk menjadi manusia yang benar harus dibekali iman yang teguh. Mereka perlu tahu, agar tak merasakan pahitnya hidup, mereka harus penuh pertimbangan dan berpikir jauh tentang dampak dari sebuah keputusan yang mereka pilih. Mereka perlu tahu bawa penyesalan akibat sebuah kesalahan yang pernah dilakukan sangatlah menyakitkan. Mereka perlu tahu bahwa hidup itu keras, penuh tantangan, penuh permainan kotor, yang akan menyesatkan dan menghancurkan masa depan bila telanjur salah melangkah. Mereka juga perlu tahu bahwa kadang kesenangan sesaat harus ditebus dengan penyesalan dan air mata seumur hidup.
Mendung yang kelabu sore ini menyelimutkan warna kelamnya pada perasaanku. UNAS dilaksanakan besok. Aku lihat wajah-wajah tegang menjelang ujian penentuan itu.
“Bu, doakan kami lulus ya, setelah lulus saya mau cari kerja. Kalo nggak lulus…..,” kata Yudi sambil bersalaman denganku untuk minta doa restu.
“Ibu doakan kamu lulus. Ibu tahu kamu bisa. Pasti bisa,” Kusemangati salah satu siswaku yang pandai itu. Sayangnya, karena ekonomi keluarganya yang pas-pasan membuatnya harus menanggalkan impiannya untuk duduk di perguruan tinggi.
Pagi itu, aku sempatkan mampir ke sekolah sebelum mengawasi ujian di sekolah lain. Memasuki pintu gerbang, kulihat anak-anak ada yang belajar, tapi ada juga yang bergerombol. Kudekati mereka. Kulihat anak-anak sedikit terkejut melihat kedatanganku.
“Bu Tia nggak jadi mengawasi di SMA Harapan?” Tanya salah satu dari mereka.
“Jadi, tapi saya ingin melihat kalian dulu. Semoga nanti sukses ya?” kataku pada mereka.
“Bu, tadi kami……,” Fian berkata dengan ragu.
“Ada apa, Fian?”
“Nggak sudah Bu, nanti saja. Ohya ini sudah jam tujuh lho, Bu, apa Bu Tia nggak telat?” Kata Fian mengalihkan pembicaraan. Aku tahu ada yang disembuyikannya, ada yang ingin disampaikannya. Tapi apa?
Aku pun berangkat ke SMA Harapan. Ini adalah kali pertama aku mengawasi ujian nasional SMA di SMA Harapan. Sesampainya di sana, semua pengawas sudah datang. Tak lama kemudian bel berbunyi. Aku dan Bu Rina bergegas naik ke lantai dua setelah mengambil soal. Setelah itu anak-anak masuk. Bel tanda mengerjakan soal dimulai. Anak-anak mulai mengerjakan dengan serius. Kami pun mengamati mereka sambil mengisi daftar hadir. Karena begitu banyak berkas yang harus diisi tanpa sengaja tanganku menyenggol kotak pensil yang ada di sudut meja. Kotak pensil itu terjatuh di bawah meja. Aku merunduk di bawah meja. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu di bawah meja. Ada semacam serbuk di bawah meja kami. Kuamati dengan saksama. Ternyata garam dapur. Aku terkejut. Refleks kutarik kembali tanganku. Kotak pensil itu terjatuh kembali.
“Ada apa Bu, kok lama ngambil kotak pensilnya?” Tanya bu Rina pelan.
“Mari kita ke pintu itu sebentar Bu,” ajakku seraya berdiri. Dengan heran bu Rina menuruti aku. Anak-anak di ruangan itu tampak tidak memperhatikan kami karena mereka sibuk dengan soal mereka masing-masing.
“Ada apa, Bu?” Tanya bu Rina penasaran.
“Di bawah meja kita ada garam Bu,” kataku setengah berbisik.
“Masak, Bu?” kata bu Rina agak keras. Kuletakkan telunjukku di bibir agar bu Rina memelankan suaranya. Mata bu rina mengamati lantai. Bu Rina meraih kotak pensil yang tergeletak di bawah meja itu sementara matanya tertuju pada lantai keramik putih itu.
“Bu, di lantai yang kita injak ini juga ada…,” katanya sambil menunjuk ke bawah. Mataku mengikuti arah telunjuknya. Ternyata sepanjang jalan dari pintu hingga meja kami penuh serbuk garam. Karena lantainya putih maka tidak terlalu kelihatan, tapi bila diamati dengan cermat, akan terlihat jelas.
“Untuk apa ya, Bu?” tanyaku berlagak bodoh. Sudah pasti aku tahu maksudnya. Agar kami tidak ketat dalam mengawasi karena garam itu adalah garam khusus yang sudah diberi doa. Kurang lebih itulah tujuannya.
“Masak bu Tia ndak paham?”
Seketika aku membaca taawudz diikuti ayat kursi. Bukannya aku percaya dan takut pada hal-hal gaib yang berbau sirik, tapi aku ingin mendapat perlindungan dari Allah. Kami berdua diam. Dengan pikiran berkecamuk, antara percaya tidak percaya, masak orang berpendidikan masih percaya bahwa garam dapat meluluhkan hati orang? Kalau anak-anak siap, siapa pun dan seketat apa pun pengawasan ynag dilakukan pasti tidak menjadi masalah. Aku terus berkutat dengan pikiranku sementara sesekali mengamati garam yang perlahan-lahan mulai mencair di bawah mejaku.
“Bu, maaf mengganggu….,” aku dan bu Rina menoleh ke arah suara itu. Karena selain pengawas tidak boleh masuk ruangan, maka aku melangkah mendekati pak Hasan, pantia ujian sekolah, yang berdiri di pintu.
“Ada apa Pak?” tanyaku pelan.
“Ada titipan untuk anak-anak,” katanya seraya menyodorkan kertas kecil. Dahiku mengernyit.
“Apa ini, Pak?”
“Untuk anak-anak. Terserah bagaimana ibu menyampaikannya. Ini kebijakan dari atas lho Bu, …mohon tidak ditolak….”
“Tapi….”
“Ada apa, bu Tia?” Tanya bu Rina yang tiba-tiba ada di belakangku.
“Ini lo Bu ada titipan untuk anak-anak. Kebijakan dari atas. Mohon tidak ditolak. Kasihan anak-anak. Di sekolah lain juga begini. Kalau ada yang tidak lulus berarti ini tidak tersampaikan. Kami dapat menghubungi kepala sekolah Ibu, lho….,” kata pak Hasan sambil menyerahkan kertas itu. Bu Rina menerima kertas itu. Pak Hasan tersenyum kemudian berlalu dari hadapan kami. Aku tertegun menatap kertas itu. Kebijakan dari atas? Dari siapa? Sekolah lain juga begini….apa termasuk sekolahku?.
“Bu, bagaimana ini?” Tanya bu Rina membuyarkan pikiranku.
“Bu, ini curang. Ini tidak boleh kita lakukan.”
“Tapi Bu, ini kebijakan dari atas lo Bu..” kata bu Rina.
“Kalau begitu saya coba ke ruangan lain. Apa juga mendapat kertas seperti kita.” Aku pun melangkah ke ruangan sebelah. Kulihat Pak Minto malah sudah mendikte anak-anak. Aku terhenyak di depan pintu.
“Ada apa, bu?” Tanya bu Ratih seraya mendekatiku.
“Masalah titipan itu….,” kataku pelan.
“Oh itu ya Bu…,” Bu Ratih keluar menghampiriku. Kami berbicara pelan di depan ruangan.
“Sebenarnya saya juga tidak setuju, tapi mau gimana lagi Bu,….ini perintah dari atas. Kita harus manut. Kalau tidak manut kita yang susah. Dilaporkan pada kepala sekolah, bisa-bisa kita ini dipecat. Kita hanya guru biasa.” Kulihat terbersit gurat kecewa di wajahnya.
“Tapi Bu… ini kan pembodohan. Kita mendidik anak-anak untuk jujur, masak kita sendiri memberi contoh tidak jujur?”
“Iya, bu. Ini memeng dilema buat kita. Di satu sisi kita harus mengajarkan kejujuran pada mereka. Tapi coba lihat hasilnya bila kita jujur? Berapa persen jumlah anak yang lulus? Anak-anak dari sekolah lain lulus seratus persen. Lha kalau di sekolah kita tidak ada lima puluh persen terus gimana? Kasihan anak-anak, tapi juga bagaimana nasib sekolah kita selanjutnya? Berapa orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah yang persentase kelulusannya sangat rendah?”
Kalimat-kalimat bu Ratih serasa menohokku. Semua perkataannya benar. Tapi hati kecilku tetap tidak bisa menerima kecurangan ini. Aku terdiam.
“Inilah Bu yang namanya zaman edan. Zamane zaman edan, yen ora melu ngedan ya ora keduman….”lanjut bu Ratih.
“Tapi, bu, sak beja-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling…” kataku pelan.
“Iya, Bu…..tapi hampir semua sekolah juga melakukan ini. Hampir semua…...,”
Aku menarik nafas panjang. Jantungku berdegup sangat keras. Otakku kurasakan menciut karena memikul beban yang berat. Keringat mulai mengalir di dahiku. Dunia pendidikan ini tampaknya sudah carut-marut. Untuk apa anak-anak diberi tambahan pelajaran, pembekalan, berkali-kali try out bila akhirnya mereka tidak berjuang sendiri? Bila akhirnya mereka mendapatkan jawaban dari gurunya? Yang ujian itu siswa apa guru? Ke mana arah dan tujuan pendidikan di negeri ini? Bila sebelumnya aku melihat kecurangan itu melalui laporan berita di televisi, atau dari surat kabar, maka sekarang aku melihat dan mengalami sendiri bahkan aku diminta untuk membagi kecurangn itu pada anak-anak bangsa yang kelak diharapkan dapat menjadi pemimpin yang bijak. Mengapa pula guru yang lain diam saja, seakan pasrah dengan kebijakan yang menyesatkan ini??.
“Makanya Bu, kita berdoa saja agar tahun depan tidak ada UN lagi, biar ndak nambah dosa kita. Setidaknya UN bukan satu-satunya penentu kelulusan, supaya kita bisa mengurangi dosa kita.“
Bu Ratih mengatakan itu sambil tersenyum. Senyum keprihatinan dan ketidakberdayaan.
“Tapi di bawah kan nada pemantau….”
“Bu, ini sudah dikondisikan. Di kon - di - si - kan.”
Aku tak lagi bisa berkata apa-apa. Aku hanya merasa seperti maling, seperti koruptor yang menjarah milik rakyat jelata yang tidak dapat mempertahankan hak-haknya.
“Ya sudah, bu… saya kembali ke ruangan saya…” kataku sambil melangkah dengan berat.
Di ruangan itu bu Rina tampak gelisah. Kulihat kertas itu masih ada di tangannya. Ujian kurang empat puluh menit lagi.
“Bu, bagaimana ini?” Tanya bu Rina.
“Saya juga tidak tahu mesti bagaimana. Kalau tidak kita sampaikan, kita akan kena. Anak-anak ruangan lain pasti saling bertukar informasi. Saling menanyakan apa mendapat bocoran ini apa tidak.” Lanjut bu Rina.
“Terus bagaimana?”
“Ya harus kita sampaikan,” kata bu Rina.
Keringat dingin tiba-tiba membanjiri punggungku lebih deras. Basah kuyup. Aku menggigil. Tapi kucoba untuk tetap tenang. Kurasakan telapak tanganku juga berkeringat. Dingin. Aku ingin menjerit, menangis, kalau aku berani membagi kecurangan ini artinya aku melucuti diriku sendiri. Berarti aku telah menimbuni diriku dengan kebobrokan moral. Berarti aku telah mencoreng mukaku sendiri dengan tinta hitam. Apa aku nanti masih berani menyuarakan kejujuran di depan kelas seperti yang aku lakukan selama ini sementara aku sendiri pelaku kecurangan itu? Apa nanti aku masih berani mengingatkan anak-anak yang ramai saat ujian sementara aku sendiri membuat kegaduhan dalam otak anak-anak ini? Apa aku masih sanggup berusaha memandaikan anak-anak lain sementara aku telah membodohi anak-anak ini dengan memberikan jawaban ilegal ini?.
“Bu, saya tidak sanggup…,” bisikku pelan.
“Bu…, tapi waktunya tinggal setengah jam lagi….,” kata bu Rina.
Aku masih tetap diam. Aku tak mampu berbuat apa pun. Seolah tubuhku tanpa tulang. Begitu ringan dan dingin.
“Kalau begitu saya yang bertindak. Bu Tia menunggu di depan pintu jangan sampai ada yang tau,,”
Aku melangkah gontai ke pintu. Tak lama kemudian kulihat bu Rina membaca huruf yang tertera kertas itu. Kurasakan lantai yang kupijak serasa bergetar hebat. Aku ingin tenggelam jauh di dasarnya agar telingaku tak dapat menangkap suara bu Rina.
“Apa Bu, B ?” Tanya seorang siswa yang duduk di bangku paling belakang.
“Bukan B tapi D,” kata bu Rina lebih keras.
“Makanya dengarkan dengan cermat. Waktunya sudah mepet,”
Aku merasa diriku seakan dilucuti. Aku sangat malu. Malu pada diriku, malu pada anak-anak itu, malu pada keilmuanku, malu pada tuhanku. Keringat terus membanjiri dahiku. Aku terpaku di depan pintu hingga bu Rina menyelesaikan “tugas”nya.
Tak lama kemudian bel berbunyi. Anak-anak itu keluar dengan wajah sumringah.
“Terima kasih Bu…” kata mereka sambil menyalami kami dengan takzim.
Terima kasih untuk pelajaran curang yang diberikan? Terima kasih untuk tindakan pembodohan yang mereka terima? Terima kasih untuk apa?. Mungkin setelah ini mereka lega karena bisa lulus. Lulus berarti tidak belajar lagi, lulus berarti tidak dimarahi orang tua,lulus berarti meningkatkan persentase kelulusan sekolah, kota, provinsi…….lulus berarti menyelamatkan orang-orang atas untuk tetap bertahan di kursi empuknya. Lalu, apa tujuan pendidikan? Mencetak angka kelulusan 100%? Tak peduli dengan cara apa meraihnya? Aku seperti melihat ribuan tikus menggerogoti negeri ini. Termasuk aku? Tinggal menunggu waktu untuk sebuah kata ‘hancur.’Aku ngeri membayangkan tempatku bernapas selama tiga puluh tahun ini rapuh digerogoti penghuninya sendiri. Aku miris membayangkan aku akan ikut tertimbun dalam reruntuhannya.
“Sudahlah Bu…, ini mungkin pengalaman pertama buat bu Tia. Tapi besok atau lusa bu Tia akan lebih tenang. Nggak usah dipikirkan terlalu berlebihan. Anggap saja ibadah sudah membantu anak-anak..” kata bu Rina sambil memberesi soal yang berserakan di meja anak-anak.
Memberi jawaban ilegal disamakan dengan ibadah? Ibadah macam apa? Tiba-tiba aku merasa tak layak menjadi guru. Guru, digugu lan ditiru. Kalau aku saja sudah curang bagaimana dengan anak didikku? Anak-anak hasil pendidikan curang hanya akan melahirkan generasi curang. Tak heran bila kasus korupsi menjangkiti berbagai instansi. Dari maling ayam sampai koruptor trilyunan tak pernah bisa diberantas bila dunia pendidikan hanya bertugas untuk meluluskan, mencetak angka fantastis dengan jalan curang. Jujur hancur. Itulah yang terjadi sekarang. Tapi hati kecilku masih ingin menyuarakan bahwa jujur pangkal mujur.
“Terima kasih atas kerja sama Bapak dan Ibu pengawas. Suasana ujian sangat kondusif. Anak-anak tidak ada yang mengeluh masalah pengawas. Sekali lagi terima kasih.” Pak Salim, selaku kepala sekolah memberikan sambutannya setelah kami kembali berkumpul di ruangan. Aku merasa muak dengan kalimat itu. Tapi aku masih mencoba untuk tersenyum.
Setelah itu aku kembali ke sekolah. Kulihat anak-anak masih bergerombol di halaman.
“Bagaimana Fian, bisa tidak?”
“Anu, Bu, sukses.” Sahut Fian.
“Tentu saja sukses, wong ada……” kata Yuli
“Ada apa?” tanyaku penasaran.
“Tapi jangan bilang-bilang ya Bu, ada bantuan jawaban, tapi saya nggak mau, takut dosa ….” lanjut Yuli pelan.
Meski aku sudah tahu jawabannya tapi aku tetap saja terkejut. Kalau begitu benar kata pak Hasan. Semua sekolah menerapkan kebijakan itu. “Ya sudah, saya ke kantor dulu,” kataku pelan setelah mengangguk.
Aku duduk termangu di kursiku. Kupandangi anak-anak yang sedang berdiskusi di luar itu. Betapa berdosanya aku yang telah meracuni kebeningan hati dan pikrannya dengan kecurangan itu. Meski aku tidak ikut mendikte, tapi aku ada di ruangan itu. Dan aku diam saja. Tak mampu berbuat apa-apa, terjepit kekuasaan yang mencengkeramku. Aku mencintai mereka, tunas-tunas muda yang haus akan pengetahuan, yang haus akan bimbingan, haus akan pengalman. Aku tak ingin meninggalkan dunia yang membuatku berarti ini. Aku mencintai dunia pendidikan, aku mencintai anak-anak didikku. Tapi kini aku merasa seperti seorang pecundang. Orang yang munafik. Ya Allah, betapa beratnya semua ini.
Pak Lutfi duduk di depanku. Beliau adalah kepala sekolah kami. Beliau sangat bijaksana.
“Pak, saya ingin mengundurkan diri,” kataku tiba-tiba. Pak Lutfi tampak terkejut.
“Memangnya kenapa Bu? Ada apa?”
Aku mulai terisak. Pak Lutfi menutup pintu kantor agar tidak terlihat oleh anak-anak.
“Saya tidak sanggup bila harus diminta berbuat kecurangan itu…..” kataku menjelaskan
“Bu, saya tahu ini berat. Kebijakan ini menyentak nurani pendidik yang kita miliki. Tapi bila kita mundur dari sini, kita justru tidak akan dapat berbuat apa-apa….”
“Maksud Bapak?”
“Kebijakan selalu mengalami perubahan bu, Siapa tahu tahun depan kebijakan UN sebagai penentu kelulusan sudah dihapus, kalau kita semua mundur, lalu siapa yang akan mendampingi anak-anak itu?. Dan lagi tidak semua anak mau menerima bocoran jawaban itu. Banyak anak-anak kita yang jujur, m engerjakan sendiri dan berani menolak secara terang-terangan. Setidaknya, masih ada yang ingin mempertahankan kejujuran.”
“Kita memang berdosa. Kita dijebak oleh sistem yang menyesatkan. Tapi kita harus tetap bertahan dengan harapan sistem ini akan berubah…Saya mengerti perasaan Bu Tia. Tapi apa Bu Tia mengerti pada perasaan saya? Saya harus manut dan bertanggung jawab pada atasan dan anak buah saya. Beban saya lebih berat….”
Kulihat gurat lelah, kecewa, dan marah berbaur di wajahnya yang mulai berkeriput. Betapa besar beban tanggung jawab yang dipikulnya.
“Dosa mereka lebih besar dari dosa kita. Semoga mereka yang menanggung dosa kita….” Katanya getir. Aku seperti tengah menatap potret buram yang kian memudar warnanya. Kulihat anak-anak bergurau dengan temannya. Tanpa rasa canggung. Tanpa beban. Bisakah aku menatap esok tanpa beban seperti mereka? Bisakah esok hari aku menutupi kebobrokanku di hadapan mereka? Tapi aku tak boleh berhenti di sini. Bila aku tak dapat mengubah sistem ini, aku bisa mengubah diriku sendiri untuk lebih kuat. Setidaknya aku bisa mengubah anak-anak yang menghargai kejujuran agar tetap berbuat jujur sepanjang hidupnya, demi negeri tercinta ini.
Keterangan:
Zamane zaman edan, yen ora melu ngedan ya ora keduman artinya di zaman yang penuh kegilaan ini, bila tidak ikut gila tidak akan mendapat apa-apa.
Sak beja-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling artinya meskipun orang yang lupa itu beruntung tapi masih tetap lebih beruntung orang yang ingat.
Guru, digugu lan ditiru artinya diikuti dan dijadikan contoh/ditiru.
2014
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar