Rumah Pilihan
Terkadang kita tidak menyadari bahwa setiap hari merupakan sebuah keajaiban. Bayangkan saja, tiap pagi bangun tidur, kita buka kedua mata. Dan kedua mata itu langsung bisa melihat segala benda yang ada di sekitar kita. Bayangkan saja bila ketika bangun di pagi hari kedua kornea kita tak dapat menangkap setitik pun sinar. Atau tubuh kita tiba-tiba tak mampu bergerak, atau kita kesulitan menghirup napas. Bila sampai menggunakan bantuan tabung oksigen, bayangkan saja, berapa juta rupiah yang harus kita keluarkan hanya untuk mencukupi satu kata: oksigen. Tetangga kami yang napasnya dibantu oksigen, per hari harus rela merogoh 1.5 juta untuk memasukkan oksigen itu ke dalam hidungnya untuk diteruskan ke paru-paru, dipompa ke jantung lalu diedarkan ke seluruh tubuh. Itu untuk satu hari. Lagi-lagi coba bayangkan saja kalau tiap hari kita mesti membeli oksigen, rasanya kita takkan sempat memikirkan hal lain, apalagi kebutuhan hidup yang kian mencekik saraf otak, kita hanya akan disibukkan bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhan kita untuk bernapas. Cerita tentang oksigen tadi baru sebagian kecil dari keajaiban pada setiap hari yang kita lalui. Subhanallah. Kadang kita baru menyadari semua hal dalam hidup kita adalah keajaiban setelah kita telusuri lagi, kilas balik, merenung atau mengamati perjalanan hidup kita. Tapi tidak semua orang menganggap keseharian kita adalah sebuah keajaiban. Perlu kearifan, kejernihan hati, dan kedalaman pemikiran untuk memaknai bahwa setiap hari yang kita lalui, bahkan mungkin setiap detik dalam hidup ini adalah ke-a-ja-i-ban. Lihatlah si kaya yang akan berkomentar, ”Ah, hidup ini ya memang begini harusnya, bersenang-senang dengan harta yang kita punya. Tidak ada keajaiban sebab keajaiban bisa kita beli dengan uang. Sakit parah sampai perlu osigen? Ya tinggal bayar saja, lalu dipasang selang, bisa bernafas lagi kan?, Selama ada uang apa yang tidak bisa dilakukan? Intinya, keajaiban adalah uang, uang adalah keajaiban.”
Atau coba kalau kita bicara pada si otak licik, “Alah, gitu saja kok dipikir, gak punya uang, maling-maling dikit ngapa, yang penting bisa dapat uang, kan semua beres. Keajaiban itu adalah bila kita bisa mencari celah untuk berbuat yang semula tidak bisa kita lakukan.” Lain lagi bila kita bicarakan masalah keajaiban ini pada si miskin, ia akan berpendapat, ”Keajaiban? Mana ada keajaiban untuk orang miskin macam saya? Bisa makan, menyekolahkan anak, ndak punya utang itulah keajaiban buat saya. Bagi saya keajaiban adalah mimpi.”
Seperti kami juga. Aku masih ingat benar, ketika istriku hamil, kami mengalami konflik di keluarga kami. Maklumlah setelah menikah, kami tinggal dengan keluarga istriku. Pertengkaran karena hal remeh sering terjadi antara aku dan bapak mertuaku, atau ibu mertuaku. Ujung-ujungnya suatu pagi mertuaku menuding-nuding dan mengataiku macam-macam. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga bagi keluarga kecilku, harga diriku terlukai. Lalu aku dan istri bersepakat keluar dari rumah untuk mencari rumah sewa untuk kebaikan kami, untuk kebaikan semua. Sejak peristiwa pagi itu hubungan kami dengan bapak ibu memang sangat kaku. Hampir selalu bertemu tapi tak ada kalimat sedikit pun yang terucap. Saling diam. Suasana membeku. Istriku yang emosinya sedang labil karena kehamilannya jelas tidak nyaman dengan keadaan di rumah. Meski dalam keadaan tidak kondusif, kami beranikan diri berpamitan akan mencari kontrakan demi kebaikan semua. Mertuaku mengizinkan. Mungkin dengan hidup terpisah, hubungan keluarga ini bisa membaik.
“Pokoknya aku tidak tahan lagi,” kata istriku. Kuusap perutnya yang kian besar.
“Kita kan sudah berusaha.” Kataku menenangkan.
“Sebelum anak ini lahir kita harus pindah, kalau tidak aku bisa gila,” sambungnya sambil mulai menangis. Kupikir kata-katanya cukup realistis. Sejak konflik di rumah mencuat, keadaan rumah memang benar-benar tidak kondusif. Istriku seperti terasing di rumah yang sudah puluhan tahun ditempatinya itu. Aku terasing di rumah yang hampir sepuluh tahun kutempati sejak pernikahan kami. Hubungan kami dengan keluarga istriku juga sangat kaku.
Otakku seakan tak bisa lagi berpikir. Penuh, sesak, dan pepat. Sejak itu setiap pulang kerja kami menyusuri kampung demi kampung untuk mencari rumah sewa. Setiap kali ada yang memberitahu kami selalu mendatangi pemilik rumah untuk menanyakan kebenaran berita itu.
“Ada, di kampung sebelah RT 3, tapi rumah itu lantai dua,” jelas paman kami.
“Tapi, apa kami bisa menjangkau harganya? Sebab jujur saja uang kami pas-pasan.”
“Rumah yang lantai dua itu ya, Lantai atasnya tidak disewakan karena sudah separo rusak berat. Yang bisa ditempati yang bawah,….tapi dulu yang punya terkenal suka nyari pesugihan.” Sela bibi kami yang tiba-tiba saja melibatkan diri dalam pembicaraan kami.
“Apalagi nanti kalian dengan anak bayi, berbahaya kalau tinggal di rumah bekas orang nyari pesugihan,” lanjut bibi kami. Kami hanya diam saja. Dalam hati ada perasaan was-was juga mendengar penjelasan bibi kami tadi.
“Memang harga sewanya murah, tapi ya itu tadi, jangan-jangan jin yang jahat masih gentayangan di rumah itu..” sambung bibi.
“Hus, apa kamu tahu sendiri, kok sepertinya tahu betul.” Paman memotong dengan raut tidak suka.
Begitulah. Rumah pertama yang ditawarkan gagal sebelum kami sempat menemui pemiliknya karena berita tidak sedap tentang rumah itu.
Tapi kami terus mencari dan mencari. Kali ini rumah kecil di dekat tempat istriku bekerja. Kami tahu persis bahwa rumah itu kosong. Bahkan kami sudah melihat-lihat rumah itu. Janda tua pemilik rumah itu sudah setuju kalau rumahnya akan kami sewa. Rumahnya kecil, tak satu pun perabot di sana. Artinya kami harus membawa semua perlengkapan rumah hingga sekecil-kecilnya padahal selama ini kami tidak punya banyak perabot untuk dibawa.
“Ya ndak papa, nanti kita beli kursi plastik. Sementara tidur di bawah juga ndak papa,” kata istriku penuh semangat. Aku terdiam membayangkan dengan perut buncitnya dan si sulung harus meringkuk tidur di lantai yang dingin.
Tiga hari setelah melihat rumah itu , kami menemui pemilik rumah untuk memastikan harga sewa. Tapi kenyataan berkata lain.
“Ya, mohon maaf, Pak. Anak saya ternyata belum ingin menyewakan rumah ini, katanya mau dibersihkan dulu.”
“Tapi kata Mak kemarin boleh.” Raut kecewa jelas tergambar di wajah istriku.
“Ya maaf Nak, Mak kan tidak bisa memutuskan sendiri.”
Akhirnya kami pulang dengan kecewa.
“Ya sudah, nanti kita cari lagi…” Kataku mencoba menghiburnya.
Beberapa hari kemudian ada berita baik. Secara tidak sengaja istri saya bertemu temannya. Dari temannya itu diketahui bahwa ada sebuah rumah milik pejabat desa yang disewakan. Rumah itu dua lantai, besar, dan harganya murah, meskipun tanpa perabot. Jadilah istri saya bertemu dengan istri perangkat desa kemudian disepakati tentang harga yang sesuai dengan kantong kami.
“Harganya murah lo, dua lantai lagi, yang penting sudah pasti. Alhamdulillah ya..” Kulihat mata istriku berbinar bahagia. Malamnya istriku sudah merencanakan ini dan itu untuk menempati rumah sewa yang akan kami lihat kondisinya esok hari itu. Namun keesokan harinya terjadi lagi sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Lho, kita kan sudah sepakat Bu, dua juta per tahun, uangnya sudah saya siapkan,” kudengar istriku berbincang di telepon dengan nada sedikit emosi. Tampaknya ada sesuatu yang kurang beres.
“Ya, saya ke sana dengan suami saya sekarang.”
Telepon ditutup.
“Mas, ayo kita ke rumah pak Heri, gimana sih, kemarin sudah sepakat dua juta kok sekarang jadi tiga setengah, apa maksudnya? Kalo bisa dua setengah gimana, kita berani ndak?”
Istriku bicara dengan nada ngoyo. Aku masih diam mendengarkan.
“Kita harus mengambil keputusan secepatnya. Aku pengen kita segera menempati rumah itu.”
“Ya, aku tahu, tapi tadi aku dengar dari dua juta menjadi tiga setengah itu bagaimana?”
“Ya itu Mas kurang ajarnya. Kemarin kata istrinya dua juta, dan kami sudah deal. Eh tadi kok malah telepon dan memberitahukan kalo dinaikkan jadi 3,5. Menjengkelkan, tapi kalau bisa…”
“Sudah sudah sekarang kita ke rumahnya. Kalau kemarin sudah sepakat dua ya dua, jangan mau dinaikkan, kalau omongannya sudah tidak bisa dipegang ya sudah kita nyari yang lain saja.” Ucapku tegas. Kulihat kilat kekecewaan terpancar jelas di matanya. Ah, perempuan memang begitu, selalu mendahulukan emosi daripada akal sehat.
Akhirnya, setelah kami menemui yang punya rumah dan sempat melihat rumah itu, ya..rumah itu memang bersih, lumayan bagus.karena kosong tampak begitu luas dan nyaman, pemilik rumah tetap mematok harga baru 3.5 juta, janjinya dipotong lima ratus ribu harga persaudaraan sehingga tinggal tiga juta. Karena kebutuhan kami bukan hanya rumah,tapi berbagai ubo rampe kelahiran bayi kecil kami beberapa bulan lagi, maka aku memutuskan tetap pada kesepakatan istriku kemarin dengan orang itu.
“Ya sudah, kalau dua juta akan langsung kami bayar, tapi kalau lebih dari itu kami tidak sanggup.” Kataku menyudahi pembicaraan kami.
“Kalau njenengan berubah pikiran, silakan hubungi saya, “ kata istriku.
“Ya, Bu,” kata pemilik tumah itu diramah-ramahkan. Muak aku mendengar suaranya yang manis tapi menyimpan kemunafikan. Aku tidak respek pada orang yang ucapannya mencla-mencle semacam itu.
“Apa dia akan menghubungi kita?”
Kudengar istriku masih mengharapkan ada keajaiban sehingga rumah itu bisa kami tempati.
“Ndak mungkin Jeng…sudahlah, jangan dipikirkan, kita nyari rumah yang lain saja,” hiburku berusaha menenangkan perasaannya. Aku tahu dia sudah berusaha keras mencari informasi tentang rumah sewa.
“Tapi ini rumah ketiga yang tidak jadi kita sewa. Aku sudah tidak tahan, tinggal dua bulan anak ini lahir. Sebelum itu kita harus dapat rumah.”
Dan istriku mulai sesenggukan. Tangisnya diam-diam membuat bahunya berguncang keras.
“Sudahlah, mungkin rumah itu memang bukan rejeki kita. Gusti Allah mungkin merencanakan sesuatu buat kita,” aku berusaha menenangkannya. Sering menangis membuatku jadi khawatir akan kesehatan bayi kami dalam perutnya. Setiap kali ibunya menangis, ketika kupegang perut itu menjadi sangat kaku sehingga harus kuelus lama agar tenang kembali.
“Owalah, Pak, Pak, lihatlah anakmu ini, sementara rumah kita sendiri disewakan setelah kepergianmu, sekarang, anakmu ini malah keluyuran ndak karuan mencari rumah…,” kata istriku mengingat rumah warisan yang saat ini disewakan karena berada di kota lain dan tidak ada yang menempati. Rumah warisan bapak mertuaku sangat besar dan halamannya pun luas. Karena kematian bapak yang begitu mendadak membuat kami harus mengambil keputusan penting. Ditempati tidak mungkin karena kami sudah telanjur bekerja di kota ini. Dijual pun tidak semudah itu. Akhirnya kami bersepakat untuk menyewakan rumah itu beserta isinya dengan harga relatif murah.
“Sudahlah Jeng..” Kuusap perutnya yang kian besar. Kubiarkan dia menangis di dadaku hingga tertidur. Pikiranku sebenarnya juga makin kalut. Di kota yang sempit macam ini harus ke mana lagi kami mencari rumah sewa. Kemarin temanku menawarkan rumah, murah tapi tidak ada kamar mandinya, ada yang menawarkan rumah yang kamar mandinya jadi satu dengan pemilik rumah, ah macam-macam, yang jelas tidak ada satu pun yang sesuai dengan keuangan dan keinginan kami.
Sejak itu hampir tiap hari kami menyusuri gang, tiap ada informasi tentang rumah disewakan kami langsung menemui empunya rumah.Kalau tidak sempat siang hari, maka sore bahkan malam hari kami hunting rumah sewaan. Alangkah sulitnya mendapat rumah sewa, karena ini berhubungan langsung dengan rezeki yang sudah diatur khusus oleh Allah SWT. Seperti sore ini. Kulihat wajah istriku sumringah karena temannya memberitahu kalau rumah saudara tman istriku disewakan. Kami bergegas menemui pemiliknya sekaligus melihat kondisi rumah itu. Rumahnya besar, tapi sayang tidak terawat. Ada tiga kamar , sayangnya yang bisa ditempati hanya dua kamar karena yang satu atapnya sudah bocor dan kondisinya rusak. Rumah itu memang rumah kuno yang berdiri bahkan sebelum aku lahir. Kira-kira berusia 30 tahun lebih sehingga wajar bila kondisinya banyak yang rusak. Di belakang rumah itu ada tanah kosong yang dapat kami tanami aneka pohon dan sayur-mayur. Hobiku berkebun dapat kusalurkan dengan sangat baik. Maklumlah, di rumah mertuaku, jangankan berkebun, memindah tanaman saja sudah ada yang menggerutu. Setelah kami melihat-lihat, akhirnya aku dan istri sepakat menyewa rumah tua itu dengan harga malah di bawah dua juta. Tapi kesepakatan itu baru lewat telepon. Dua hari lagi pemilik rumah yang saat ini berdomisili di luar kota akan menemui kami.
“Gimana Jeng rumah itu?”
“Aku suka, apalagi halamannya cukup luas dan halaman belakangnya bisa kita gunakan untuk berkebun”
“Alhamdulillah, semoga kali ini rumah itu rejeki kita.”
“Tapi rumah itu sangat tua dan kelihatan besar untuk barang-barang kita yang sangat sedikit.”
“Kalau ditempati, biasanya rumah itu bisa lebih kuat,” kataku menenangkan.
Esok harinya saat kami sudah merancang akan menanami kebun belakang dengan berbagai sayuran, bagaimana dengan kamar belakang yang bocor, dan lain-lain, tiba-tiba ada kabar dari temanku kalau ada rumah lagi yang saat ini kosong. Aku segera memberitahu istriku.
“Ndak papa, kita lihat saja. Apa salahnya,” katanya bersemangat.
“Rumah pemiliknya ada di gang depan balai desa,” sambungku.
“Ayo kita ke sana,” ajak istriku dengan wajah berbinar.
Jadilah kami menemui pemilik rumah yang kami tidak tahu di mana dan bagaimana kondisinya itu.
“Ya benar rumah itu memang kosong dua bulan ini, tapi statusnya masih disewa oleh orang lain Bu,” jelas yang punya rumah.
“Lha yang menyewa sekarang ada di mana Bu?” Tanya istriku penasaran.
“Penyewa rumah itu bercerai dengan istrinya, kunci rumah masih dibawa si suami. Kami juga tidak tahu kapan penyewa rumah akan kembali, yang jelas dua bulan lagi jangka waktu sewa sudah habis.”
“Dua bulan lagi?” Tanya istriku dengan nada kecewa.
“Ya, Bu, kalau njenengan belum dapat rumah sewa silakan menyewa rumah saya dua bulan lagi.
“Sebenarnya saya ingin menempati rumah sebelum melahirkan,” jelas istriku pada pemilik rumah itu. Aku pikir penjelasan itu tidak perlu disampaikan, tapi begitulah perempuan. Sering berbicara tentang hal-hal yang tidak perlu pada orang lain.
“Ya sudah, terima kasih, kami pulang dulu,” kataku menyudahi pertemuan yang tidak membawa hasil itu. Kulihat wajah istriku tertunduk lesu.
“Sudahlah, toh kita juga belum melihat rumah itu, dan besok kita juga sudah deal harga dengan pemilik rumah kuno itu kan?”
“Ya, benar. Ohya kalau bisa kita tawar saja kan bagian belakangnya sudah bocor ndak karuan. Belum lagi ada beberapa bagian rumah yang sudah rusak.”
Aku tersenyum melihatnya kembali bersemangat.
Matahari menggeliat pelan. Berkedip malas di antara gundukan awan. Sulurnya yang keemasan merambat di sela celah jendela. Kulihat senyum terukir di bibir manis istriku. Aku tahu dia tidak sabar ingin segera bertemu dengan pemilik rumah itu, lalu kami akan segera berkemas dan mulai menata hidup yang lebih baik dengan keluarga kecil kami. Semoga dengan kepindahan kami, hubungan yang memanas dalam keluarga besar kami bisa reda. Kuantarkan istriku berangkat kerja seperti biasa.
“Mas, nanti segera hubungi aku kalau ditelepon pemilik rumah ya,” pesannya dengan wajah bersinar. Perutnya yang semakin besar membuatku semakin iba dan semakin sayang padanya.
“Iya, Jeng,” sahutku pelan.
“Jangan lupa lho,’” ulangnya lagi. Selalu begitu, tergesa-gesa dan tidak sabar dalam menunggu. Tapi justru karena sifatnya itulah pernikahan kami jadi penuh warna. Bagaimana tidak? Sering kami yang baik-baik saja jadi bertengkar karena sifatnya itu.
Siang makin menyengat. Kutunggu telepon dari pemilik rumah itu, Tak kunjung ada. Aku tahu istriku pasti sedang menunggu. Benar saja, kurasakan teleponku di saku baju bergetar.
“Cepat ke sini ya, ada kabar lain. Penting.” Begitu bunyi sms dari istriku. Lewat sudah tengah hari. Berarti pemilik rumah itu tidak jadi menemui kami. Artinya, kami gagal lagi mendapatkan rumah sewa. Tak bisa kubayangkan raut kecewa istriku. Tiba-tiba otakku kembali dijejali sesak yang memenuhi seluruh rongganya. Sambil mengucap basmalah aku bergegas ke tempat kerja istriku.
“Lama sekali,” keluhnya begitu aku sampai.
“Ada apa?”
“Ada informasi di daerah timur desa ini ada rumah yang disewakan. Ya statusnya memang masih disewakan, tapi sekarang yang nyewa rumah itu datang dan mau ketemu kita.Itu lho, itu rumah bu .. siapa ya.. yang beberapa waktu kita temui dan katanya penyewanya bercerai dengan istrinya. Mas masih ingat kan? ”
Aku terdiam. Selalu begitu, tergesa-gesa.
“Ayo kita temui karena nanti siang orangnya mau pulang lagi ke rumahnya di Surabaya…Ohya pemilik rumah yang kemarin telfon ndak?”
“Ndak, Jeng,”
“Ya sudah, ayo kita ke sana,”
“Tunggu dulu. Sebaiknya pemilik rumah itu kita ajak sekalian barangkali kita diminta meneruskan sewa rumah itu.”
“Ya, ya, ide bagus.”
Kami pun akhirnya mengajak pemilik rumah yang pernah kami temui beberapa waktu lalu. Setelah kali ceritakan maksud kedatangan kami, pemilik rumah itu pun setuju untuk mengantar kami menemui penyewa rumahnya yang ingin bertemu dengan kami.
“Begini, Pak, tadi saya diberitahu teman kalau Bapak mau bertemu kami,” ucapku mengawali pembicaraan setelah kami sampai di rumah itu.
“Ya, benar. Begini, saya sudah pindah ke kota lain. Bagaimana kalau sewa rumah ini sampeyan lanjutkan. Masih kurang dua bulan memang. Ya..nanti kita itung-itungan sampeyan harus ngganti berapa,” kata penyewa rumah yang baru saja kami kenal.
“Ya kalau memang begitu kan jelas daripada rumah ini kosong kan sayang,” kata pemilik rumah. Jadilah kami pun mengganti uang sewa pada penyewa sebelumnya dengan disaksikan pemilik rumah.
Setelah itu kami dan pemilik rumah pulang, Esoknya kami sudah bisa masuk ke rumah itu karena penyewa sebelumnya telah membereskan barang-barangnya.
Setelah penyewa lama keluar dari rumah itu dan memberikan kuncinya pada kami, kami masuk rumah dan meneliti rumah yang akan kami sewa. Kami berdua duduk diam terpaku. Bagaimana kami bisa tiba-tiba membayar uang sewa untuk rumah yang belum kami teliti benar bagaimana kondisinya, lingkungan sekitarnya, fasilitasnya?
“Jeng, kita kan tidak tahu kondisi rumah ini, kok kemarin tiba-tiba kamu bayar?”
“Aku berpikir yang penting secepatnya kita dapat rumah, hanya itu.”
Kami terdiam lagi. Kami pun berkeliling runah. Kamar mandi cukup luas, air mengalir deras, ada kloset yang cukup bersih, dan ada lampu. Cukuplah buat kami. Kami lihat dapur. Di sana ada lemari, rak piring, dan juga genthong penyimpan air. Kami lalu ke kamar. Dua kamar. Di tiap kamar ada lemari, kasur, dan dipan.. Di ruang tamu ada sofa, dan ada buffet besar. Sangat cukup buat kami. Kami bahkan tidak berpikir tentang kasur, lemari kursi, apalagi sofa. Kami berpikir nantinya akan tidur di bawah, duduk lesehan di bawah atau membeli kursi plastik. Kami duduk di pinggir dipan. Kami terdiam, tak mampu berkata-kata. Subhanallah. Inilah keajaiban itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar