Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
Satu Kesempatan Saja

Satu Kesempatan Saja

"Ka, aku yakin banget sebenarnya Sandi suka sama kamu," kata Nur padaku malam itu waktu aku ke rumahnya.

"Tapi aku cuma nganggap dia sahabatku. Nggak lebih. Lagian dia kan memang sahabatku sejak kami SMP," terangku panjang lebar pada Nur.

"Kayaknya nih, kalau kapan-kapan kamu nerima dia, bakalan selamanya kamu jadian sama dia," lanjut Nur. Mataku melotot.

Aku terdiam.

"Daripada kamu mikirin si Taufan yang gak jelas itu, mending kamu kasih sinyal pada Sandi. Aku yakin kamu bakal langsung dilamar trus dinikahi,"

"Memangnya kamu mau pacaran sampe tua dan gak ada kejelasannya. Ingat, sekarang kamu sudah duduk di semester 3. Sudah waktunya ada calon pasti lo?"

Lagi-lagi aku terdiam.

Jujur saja, aku hanya menganggap Sandi sebagai sahabat. Tidak lebih. Aku pun tidak punya perasaan khusus padanya. Sedangkan Taufan adalah cinta pertamaku. Aku sepertinya sulit berpaling darinya meskipun beberapa kali dia terbukti mendua. Ah, cinta yang buta atau aku yang buta karena cinta?

"Ah sudahlah. Aku pulang dulu ya, sudah malam," kataku pada Nur.

"Jangan lupa pikirkan lagi kata-kataku, selamat memilih," pesan Nur sambil tersenyum.

"Assalamuaalaikum,"

"Ya, waalaikumsalam,"

Jarak rumahku dan Nur tidak terlalu jauh. Aku pulang dengan berjalan kaki.

Di kamar, aku terdiam. Merenung.

Tiba-tiba mataku tertuju pada tumpukan surat di kotak cokelat dekat meja riasku. Kuambil dan surat paling bawah kubawa ke meja belajarku. Kusingkapkan debu yang menempel di kertas lusuh itu. Perlahan-lahan kubaca sambil duduk di kursi dekat meja belajarku.

Untuk seseorang yang belum kukenal,

Assalamualaikum,

Saya memang belum mengenalmu, tapi setelah kejadian di dalam angkot waktu itu saya selalu ingat senyumanmu. Bolehkah saya mengenalmu? Saya ingin menjadi temanmu.

Sandi

Aku tersenyum membaca surat yang terasa aneh itu. Bagaimana mungkin seseorang nekat menyurati orang yang belum dikenal. Surat itu kubalas, dan sejak itu kami bersahabat. Sebagai sahabat, berbagai masalah yang kualami kuberitahukan padanya. Termasuk ketika aku ada masalah dengan Taufan. Semua masalahku kuceritakan pada Sandi. Sebagai sahabat, Sandi sering memberi masukan. Kadang untuk mengurangi kesuntukanku, Sandi mengajakku jalan-jalan atau sekadar membeli roti bakar sambil ngobrol-ngobrol. Sering kali aku menangkap sinyal kalau Sandi memang sebenarnya suka padaku. Tapi dia tahu diri. Dia tahu kalau aku masih menjalin hubungan dengan Taufan meskipun hubungan kami semakin renggang sehingga dia tak pernah menyatakan perasaannya. Tapi aku tak berharap dia menyatakan perasaannya karena aku tak punya perasaan khusus padanya.

"Sandi memang cowok yang baik," kataku tanpa sadar. Kapanpun aku butuh nasihatnya, kapanpun aku butuh curhat, dia selalu bersedia mendengarkanku.

Lagi-lagi aku tersenyum melihat tumpukan surat-surat dari Sandi. Dia sangat rutin menyuratiku. Entah kubalas entah tidak, yang pasti dua minggu sekali dia menyuratiku, kadang sekadar hanya menanyakan kabarku. Sedangkan Taufan, semakin jarang menemuiku, bahkan menyuratiku juga hampir tak pernah lagi. Malam itu aku tertidur setelah membaca beberapa surat dari Sandi.

"Ka, mampir ke rumahku dulu ya..," kata Nur padaku siang itu.

"Ada apa sih, kok sepertinya ada hal yang serius,"

"Penting, pokoknya ada hal penting," kata Nur kemudian. Aku jadi penasaran.

"Udah, kamu ngumpet saja di kamarku ya, ingat jangan keluar dulu," katanya kemudian menutup pintu kamar. Karena penasaran, kubuka sedikit agar aku tahu apa yang terjadi di luar. Tak lama kemudian terdengar suara salam. Suara laki-laki. Dan sepertinya tidak asing di telingaku. Ya, itu suara Taufan. Mungkin Nur ingin memberi kejutan manis untukku. Nur memang sahabatku, sekaligus sahabat Taufan. Tak lama terdengar suara Nur berbincang dengan Taufan. Kuintip dari pintu yang kubuka sedikit.

"Fan, kamu ke mana saja, tumben lama nggak ke sini,"

"Aku lagi sibuk, Nur,"

"Saking sibuknya sampai nggak ngabari Eka juga. Eh kamu masih tetep jalan sama dia kan?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Nur.

"Gimana ya Nur, lha Eka kuputusin ndak mau, padahal aku sudah males jalan sama dia." Lagi-lagi aku terkejut. Kali ini oleh pernyataan Taufan. Putus? Dia mau mutusin aku? Kapan? Kami ketemu dua bulan lalu dia masih biasa saja. Ada yang aneh tampaknya.

"Lha kamu kenapa males jalan sama Eka? Jangan-jangan isu yang bersedar itu benar. Kamu punya cewek lain?"

Deg. Jantungku terasa mau lepas. Kutahan napas menunggu jawaban Taufan.

"He he he...kamu tahu saja,"

Tiba-tiba aku merasa benci mendengar suara tawa itu. Dasar cowok munafik.

“Tapi, kenapa kamu menduakan Eka, kalian kan sudah menjalin hubungan sejak lama?”

“Sekarang tuh, si Eka jadi sok alim, terutama sejak pake jilbab kayak kamu,” Kata Taufan pada Nur.

“Bukannya harusnya kamu bangga karena dapat cewek baik-baik?”

“Hari gini, nggak gaul Nur,”

Kudengar senyap. “Astaghfirullahalazim, jadi masalah utamanya adalah karena aku sekarang lebih menutup aurat”, gumamku dalam hati.

"Eh, ngomong-ngomong siapa Fan cewekmu sekarang? Atau Eka sudah tahu, kalian belum putus kan?"

"Eka tuh percaya seratus persen sama aku. Jadi meski aku selingkuh ribuan kali, dia tak akan percaya selama aku bilang I love you padanya, lagian ah males, biar saja kayak gini lama-lama diakan merasa," kata Taufan kemudian. Kali ini darahku mendidih. Kutahan air mataku.

"Ayolah Fan, siapa ia yang sudah membuatmu melupakan Eka?"

"Nih fotonya..., cantik kan?"

Kulihat Taufan memberikan selembar foto pada Nur.

"Tapi jangan bilang Eka ya,...," kata Taufan.

"Namanya Vivin..teman kerjaku..," kata Taufan lagi.

Nur mengamati foto itu dengan saksama. Tiba-tiba ada nada dering yang memecah kesunyian.

"Iya, kamu di mana..oh di gang depan sini. Oke sebentar aku jemput, ndak ini di rumah temanku..,klik." Taufan menutup telepon selularnya.

"Siapa?" tanya Nur

"Yang kita bicarakan sudah datang. Bentar ya,.." Taufan berlari kecil keluar. Tak lama kemudian ada suara salam dari seorang cewek. Kuintip lagi, dandanannya modis, kaos tipis ketat dipadu dengan jeans yang ketat pula.

"Masuk..masuk, ini teman kecilku, Nur. Nur, ini Vivin." Aku terperanjat. Sosok gadis berbaju yang modis itu ternyata Vivin. Terdengar perbincangan yang sekadar hanya untuk basa-basi.

"Mas, katanya mau ngajak aku ke rumahmu," tiba-tiba Vivin berbicara dengan nada manja. Muak aku mendengarnya.

"Iya bentar Vin, ohya Nur, kami cabut dulu ya, Vivin mau kuajak ke rumah sekalian kenalan sama camer kali he he he," kata Taufan. Vivin mencubit pinggang Taufan. Tampak taufan membalas dengan merangkul mesra pinggang Vivin. Kali ini aku benar-benar tak kuasa menahan tangis. Untungnya mereka segera pergi. Jika tidak, mungkin isakku terdengar oleh mereka.

Begitu keduanya pergi, Nur segera menghambur ke kamar.

"Ka, maafkan aku ya," kata Nur sambil memegang pundakku.

"Aku tahu ini menyakitkan. Tapi kamu harus tahu kalau Taufan tidak ingin lagi menjalin hubungan denganmu. Kamu harus tahu posisimu," kata Nur berusaha menenangkan aku.

"Aku benar-benar tidak menduga Taufan setega itu padaku," kataku di sela isak tangisku.

"Tapi kupikir lebih baik kamu tahu sekarang daripada nanti-nanti, apalagi kalau ketahuan setelah misalnya kalian menikah, nauzubillah...tentu akan lebih tragis Ka,"

Aku tercenung mendengar kata-kata Nur. Benar yang dikatakannya. Seandainya aku memaksakan tetap berhubungan dengan Taufan lalu dia berselingkuh ketika kami sudah menikah.. Jelas akan lebih ironis dan tragis..

"Aku tahu kamu sangat mencintai Taufan, tanpa bukti semacam tadi, mungkin kamu tidak mau melepas dia."

"Ya, aku tahu. Meskipun kami lama berpacaran, tapi dia mungkin bukan jodohku."

"Ya, kita memang tidak tahu siapakah yang nantinya akan menjadi jodoh kita. Dan kurasa Taufan tidak pantas mendapatkanmu. Selama ini kamu berusaha setia toh dia malah mengkhianatimu. Ya kan? Jadi..lupakan dia, lupakan,"

"Ya, aku berusaha," kataku kemudian.

Aku benar-benar tidak percaya bahwa seseorang yang kucintai dengan tulus mengkhianatiku di depan mataku. Alangkah rapuhnya ikatan cinta. Namun melepas cinta pertama tidaklah mudah. Hingga beberapa minggu aku masih murung. Aku telah menganggap Taufan lenyap dari kehidupanku. Kuanggap kami telah tidak ada hubungan lagi sejak aku tahu dia berselingkuh di depan mataku. Sampai surat Sandi datang dua kali dan tak kubalas. Barulah surat ketiga kubalas dan aku menceritakan semua kejadian pahit itu. Sandi membalas dan katanya dia ingin bertemu denganku.

"Bagaimana kabarmu, Ka? Masih patah hati?" katanya ketika kami bertemu di sebuah kafe.

"Ya sejauh ini alhamdulillah...sudah lebih baik," kataku pada Sandi. Hari itu dia memakai baju kotak-kotak hitam. Seperti biasanya dia memberi masukan mengajak bercerita ini-itu.

“Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan, apalagi kalau yang dipikirkan ndak mikir kita, berdoa saja pada Allah supaya diberi jalan yang terbaik.” Sandi berusaha menenangkan aku. Aku mengangguk menyetujui pendapatnya. Entahlah aku merasa nyaman berbincang-bincang dengannya.

"Oya bulan depan, persahabatan kita genap lima tahun," katanya kemudian.

Aku terkejut. Tak pernah kuhitung usia persahabatan kami. Ternyata sudah lima tahun. "Ya, semoga kita tetap bisa menjadi sahabat baik," kataku tulus.

“Amin, semoga kita bisa berteman selama-lamanya,” kata Sandi.

Setelah pertemuan itu aku dan Sandi jadi sering bertemu. Sepulang kuliah kalau dia ada waktu biasanya menjemputku. Kami semakin dekat, tapi aku tetap hanya menganggapnya tak lebih dari sekadar sahabat. Aku justru takut dia salah menafsirkan sikapku. Dan yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Dia benar-benar menyatakan cintanya padaku meski secara tersirat.

“Ka, sejak kita ketemu dulu...dulu sekali aku sudah merasa bahwa kita dapat berteman baik. Karena itulah kuberanikan diri untuk menyuratimu. Alhamdulillah dibalas,” kata Sandi dengan serius.

“Jujur saja, hingga saat ini aku tidak punya sahabat cewek kecuali kamu Ka,”

Aku diam saja. Mencoba menebak arah pembicaraannya.

“San, kita sudah sepakat sejak awal bahwa kita hanya akan berteman, bersahabat...,”

“Ya aku tahu, kita tetap akan berteman, jangan khawatir,” katanya sambil tersenyum tulus.

“Pokoknya sebelum janur kuning melengkung di depan rumahku, kita tetap berteman,” kataku mencoba mencairkan suasana,

“Kalau doaku, sampai janur kuning sudah tidak melengkung, kita akan tetap berteman,” balasnya kemudian.

Ya, begitulah Sandi, meski sudah kutolak secara halus, Sandi tetap saja tidak berubah. Surat-suratnya selalu datang setiap minggu. Ada saja yang bisa kami diskusikan melalui surat. Kami bertemu dua-tiga minggu sekali. Berbagi cerita, dan berdiskusi. Kuakui bila aku sedang bersama Sandi aku merasa nyaman, kami tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan, mulai diskusi tentang masalah musik, sosial, politik, hingga agama. Sesekali dia ke rumah, seperti sore itu.

“Kamu kelihatan berbeda kalau make jilbab, Ka,” katanya.

“Ohya, apanya yang berbeda?” Tanyaku penasaran.

“Dulu ketika tidak berjilbab tampak cantik. Sekarang...,”

“Kenapa? Apa jadi jelek?” Sahutku menyela ucapannya.

“Aku kan belum selesai bicara, sekarang setelah berjilbab kamu tampak lebih anggun dan dewasa.”

“Berarti ndak cantik lagi?”

“Ya, ndak cantik,” katanya.

Aku mengernyitkan dahi. Mungkin ini yang menyebabkan Taufan selingkuh. Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang. Konsekuensi dari sebuah pilihan. Ternyata berjilbab mengandung banyak konsekuensi. Aku terdiam.

“Maksudku...,” Sandi menatapku. Aku terkejut dengan tatapannya yang berbeda saat itu. Kami sama-sama mengalihkan pandangan setelah beberapa detik.

“Maksudku...kamu ndak ndak cantik tapi sangat cantik kalau berjilbab,” katanya pelan. Aku tersenyum mendengarnya.Berarti Sandi tidak mempermasalahkan aku memakai jilbab malah secara langsung dia mendukungku.

“Assalamualaikum,”

Ternyata Nur sudah ada di depan pintu.

“Waalaikumsalam,” jawab kami.

“Kamu Nur, kupikir siapa..,” kataku

“Wah, aku ngganggu nih, kalau gitu aku pulang saja ya,”

Kutarik tangan Nur supaya duduk di sebelahku.

“Ini Sandi sahabatku yang sering kuceritakan padamu,” kataku mengenalkan Sandi pada Nur.

“Sahabat apa sahabat?” Goda Nur.

“Iya, sahabat” kataku.

“San, jangan mau kalau cuma jadi sahabat, emang sampe tua cuma sahabatan doang?” Nur mulai memprovokasi.

Sandi cuma tersenyum.

“Wah sudah hampir magrib, aku pamit dulu ya Ka, sampaikan salamku pada Bapak dan Ibu ya, assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam,” kami mengantar San sampai pintu depan.

“Jadi kamu belum jadian sama Sandi?”

Aku menggeleng.

“Ya ampun Ka, kamu nunggu apalagi...Sandi tuh baik, setia, penuh perhatian, sudah bekerja, usianya sudah dewasa, dan berapa sekarang usianya?”

“Kamu sok tahu banget ya Nur, sekarang usianya 26 tahun,” kataku.

“Kamu 22 tahun, sudah sesuaikan?”

Aku terdiam. Bayangan Taufan berkelebat.

“Kamu masih belum bisa melupakan Taufan?” Lagi-lagi aku terdiam.

“Aku tidak akan menerima seseorang hanya karena kasihan,”

“Tapi cinta bisa datang karena terbiasa, Ka,”

Aku hanya diam. Ya Allah berilah yang terbaik untukku.

Seminggu setelah itu Sandi tak menemuiku, tak menyuratiku, juga tidak datang ke rumah. Aku merasa heran. Dua minggupun lewat. Kusurati Sandi barangkali dia sedang sibuk. Dalam surat itu aku juga minta maaf barangkali ada hal yang menyinggungnya. Sekaligus kukatakan padanya bahwa aku ingin kami tetap berteman baik dengannya. Barulah di minggu kedua bulan berikutnya balasannya datang.

Eka sahabatku,

Aku minta maaf lama tidak menyurati dan menemuimu. Ada hal yang harus kupastikan. Ada yang harus kurenungkan. Ada yang ingin kuceritakan tapi saat itu aku belum bisa menceritakan padamu. Saat ini ada seorang gadis, teman kerjaku yang ingin menjalin kedekatan denganku. Satu bulan ini kucoba untuk menjalin kedekatan dengannya, tapi...aku malah tersiksa karenanya. Saat aku berbincang dengan dia, aku justru mengingatmu. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku tahu kau hanya ingin bersahabat denganku, tak lebih, karenanya aku harus mencoba menemukan jodohku. Tapi salahkah bila aku berkeyakinan bahwa kaulah jodohku, dan bukan dia? Sekali lagi maafkan aku. Sandi

Aku tercenung. Sandi telah berusaha mencoba menjalin kedekatan dengan gadis lain. Sedangkan aku? Aku mungkin tetap harus sendiri entah sampai kapan. Tiba-tiba aku merasa benci karena terlalu mencintai Taufan. Jujur aku kehilangan sahabat terbaikku, tempatku bercerita. Mungkin aku akan kehilangan Sandi...Entah kenapa aku merasa terluka. Bukankah aku memang telah menolaknya dan hanya menawarkan persahabatan dengannya?

Dua bulan berlalu. Sore itu aku terkejut melihat Sandi yang tiba-tiba berdiri di depan pintu. Aku merasa bahagia melihat senyum tulus itu lagi. Dia tersenyum manis sambil mengucap salam.

“Lama kita tidak ketemu ya?”Katanya setelah kupersilakan duduk.

“O...ada Nak Sandi, lama tidak ke sini, apa sibuk?” Ibuku tiba-tiba ikut duduk di sebelahku.

“Iya Bu, bagaimana kabar Ibu dan bapak, apa sehat-sehat saja?”

Alhamdulillah baik-baik saja. Ibu sempat tanya pada Eka apa kalian bertengkar kok lama suratmu juga ndak datang,” kata ibu melanjutkan.

Ndak usah kaget, lha wong suratmu itu ya ibu yang nerima ari pak Pos kalau Eka sedang kuliah.” Kulihat ibu berbicara akrab dengan Sandi.

Melihat aku datang membawa nampan ibu kemudian beranjak meninggalkan kami. Kebekuan terasa.

“Bagaimana denganmu, apa sudah bisa lebih dekat dengannya?” Aku bertanya dengan nada menyelidik. Sandi diam.

“Apa dia tidak marah melihatmu menemuiku?”

Entah kenapa aku ingin mengorek banyak hal tentang hubungannya dengan gadis yang diceritakan tempo hari di suratnya.

Sandi masih diam.

“Apa kalian bertengkar? Ayo ceritakan padaku,” kataku setengah memaksa.

Tiba-tiba dia tersenyum.

“Sekarang aku ingin mempertegas semuanya,” katanya. Aku menunggu kelanjutan dari pembicaraannya itu.

“Ka, aku sudah mencoba, dan aku malah tersiksa, aku tidak bisa lagi menjalin hubungan dengannya. Kami sudah mengakhiri segalanya. Sekarang aku hanya ingin berteman denganmu,” katanya panjang lebar.

Aku menyimak dengan cermat.

“Ya, kemarin ketika lama aku tak menyuratimu, kau memulainya lagi, kau ingin berteman denganku. Iya kan Ka?”

Aku mengangguk.

“Benar kau ingin berteman denganku?” Ulangnya mempertegas.

“Iya, kita kan berteman,” kataku dengan mantap.

“Tapi aku ingin kita menjadi teman untuk selamanya,” katanya.

“Teman selamanya, maksudmu?” Aku bingung dengan pernyataannya.

“Ya, teman selamanya, teman hidupku. Apa kau mau?”

Aku terdiam. Teman selamanya....berarti teman hidup. Teman hidup...

“Aku tahu cinta tak dapat dipaksakan, tapi aku merasa kau sebenarnya juga menyimpan rasa untukku, meski hanya sedikit. Beri aku satu kesempatan saja, beri aku kesempatan untuk membuktikan kalau aku tidak sama dengan Taufan, beri aku satu kesempatan saja.

“Besok aku akan ajak keluargaku ke sini, itu memang sudah kurencanakan. Besok aku akan bilang pada orang tuamu kalau aku ingin menjadikanmu teman selama-lamanya bagimu..bagaimana kau mau?”

Aku terdiam lama. Ada yang berkecamuk di hatiku. Tapi tiba-tiba ada kesejukan yang mengalir mengepungku. Selangkah lagi aku akan dekat dengan sunah Rasul.

“Ka, beri aku satu kesempatan saja. Apa kau mau?”

“Aku tidak bisa...”

Kulihat matanya berkaca-kaca diliputi kekecewaan.

“Ya aku mengerti....”

“Aku tidak bisa...tidak bisa menolakmu,” kataku perlahan tapi pasti.

Bismilahirahmanirrahim, ya Allah, terima kasih telah mempertemukan dan segera menyatukanku dengan jodohku.”

Kulihat matanya dipenuhi kebahagiaan. Dan aku tahu pasti mataku juga dipenuhi kebahagiaan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yang keren, sarat makna dan nasihat.

30 Apr
Balas

Terima kasih bu...

30 Apr

Saya menikmati cerpen ini sampai tuntas Salam literasi

09 Jan
Balas

Woww..amazing...aku sukaaaa....

30 Apr
Balas

Sesuai dengan yang disukai bu Dati ya...wah...gak nyangka nih..

30 Apr

Bu Koen kereeen... Tau aja. Saya nih sukanya yg happy ending. Makasih cerpennya

30 Apr
Balas

Saya suka dengan kalimat “Aku tidak bisa...tidak bisa menolakmu,” kataku perlahan tapi pasti. Seru Bu Koen

30 Apr
Balas

Terima kasih..

30 Apr



search

New Post