Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
SETELAH SENYAP

SETELAH SENYAP

Bagiku selama ini kematian adalah bagian dari daur hidup manusia yang memang harus dilewati semua manusia secara alamiah. Tak ada yang istimewa. Hanya menyisakan lembar- lembar kesedihan yang lambat laun juga akan merapuh ditimbuni lembaran peristiwa lainnya. Hanya kadang menyisakan deraian airmata yang suatu saat akan mengering diterpa hembusan kebahagiaaan yang lain. Ya, itulah makna dari kematian. Sampai pagi itu, ketika kabar Mak Ti, yang sudah berusia hampir 90 tahun dalam kondisi kritis, aku masih menyikapi kematian adalah takdir yang menggoreskan ketakutan, kengerian sekaligus kesedihan bagi yang mampu merasakan kesedihan itu sendiri.

Ketika aroma maut menebar, ada rasa hampa yang tiba-tiba menyergap. Seperti saat itu. Saat aku masuk ke dalam kamar mak Ti, kulihat anak-anaknya, cucu-cucunya, semua berkumpul mengitari amben tempat mak Ti dibaringkan. Semua tampak berjalan tersendat. Waktu seakan melambat. Namun sempat tertangkap oleh ujung mataku ada anaknya yang bercanda meski dengan suara lirih. Ada yang pura-pura terisak padahal aku tahu pasti tak setitik air mata pun yang mengalir dari kedua matanya. Ada pula yang terpekur menahan duka mendalam karena akan ditinggalkan oleh seorang ibu yang dikasihinya. Ada pun aku, setelah mengedarkan pandangan mengamati sekelilingku yang cenderung diam, hanyut bergulat dengan perasaan masing-masing, memilih berdiri di depan pintu kamar sambil mengamati napas Mak Ti yang mulai tak teratur.

Matanya terpejam, kadang napasnya tersengal, kadang tenang untuk kemudian tiba-tiba menyentak. Wajahnya pias, pucat, seakan menahan beban yang sarat. Kulihat setitik air mata meleleh dari sudut mata kanannya saat salah satu cucunya melantunkan baris-baris ayat Allah. Tiba-tiba aku merasa kosong. Hal itu terjadi tepat ketika kutangkap matanya terbuka dengan cepat, kaki dan tubuhnya mengejang kemudian mengendur. Kulihat kilatan aneh sebelum tiba-tiba pandangannya menjadi kosong, sangat kosong. Aku seakan tersedot masuk dalam tikaman aneh itu. Ada sekat yang begitu tipis tersingkap dengan cepat. Betapa tipis jarak antara maut dan napas. Kusadari beberapa saat kemudian bahwa aku telah berhenti bernapas untuk beberapa saat. Napasku tersengal. Saat mata itu kemudian ditutup oleh Kang Danu, cucu kesayangannya. Isak tangis kemudian pecah di ruangan itu. Aku beringsut mendekati Mak Ti, mencium pelan pipinya yang masih hangat kemudian memutuskan untuk menjauh. Aku terduduk menekuri peristiwa yang baru saja terjadi.

Pemakaman Mak Ti berjalan dengan lancar. Semua selesai begitu saja dan semua kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Namun aku merasa ada yang tidak biasa dalam diriku. Ada yang menjalar, menyusup pelan tapi pasti sampai ke urat nadiku, melewati pembuluh darahku, mengalir bersama udara kemudian berhenti, menyesak tepat di jantungku. Serupa desir lembut tapi tiba-tiba mencengkeram kuat di otakku. Otakku memerintahkan jantungku untuk memompa darahku lebih cepat sehingga hentakan denyut jantungku lebih kencang. Mataku tak dapat kupejamkan, karena tiap kali terpejam tatapan mata kosong Mak Ti saat akhirnya menyerahkan ruhnya pada tangan sang khalik terus mengintaiku, membayangiku, membuntuti seolah ingin menikamku. Aku merasa sepi, terseret ke sudut lain, sendiri.

“Jeng, kau sakit?”

Suara Kang Danu menyentakku. Aku masih diam tak mengerti dengan apa yang terjadi dalam diriku. Kuamati jarum jam yang terus berputar. Seiring berputarnya jarum jam, aku merasa tubuhku tersedot, masuk mengikuti berputarnya jarum jam yang berdetak sedetik sedetik. Aku merasa diintai oleh sepasang mata, tidak hanya diintai tapi juga didekati dengan seringai dan tangan-tangan kekarnya yang siap mencekikku. Dengan cepat ia menghampiriku, bahkan lebih cepat dari yang kuduga. Mataku terpejam begitu senyap menyelubungiku, aku seperti dihempaskan ke dalam ruang gelap pengap dan sempit. Kulihat diriku terbujur diam terkunci tak mampu lagi mengembuskan napas. Dinginnya dinding sempit menghimpit tulang-tulangku yang merapuh. Begitu sepi, hingga sosok bermata tajam itu mendekatiku dengan cepat, meremukkan tubuhku, membetot jantungku dengan paksa, mencencang ususku hingga aku dapat melihat buraiannya yang mengeluarkan bau amis sisa makanan yang terserap. Wajahku pucat pasi.

“jeng, kau sakit?” kang Danu menatapku lekat-lekat.

“Semenjak kematian Mak Ti, kulihat kau jadi sangat aneh,” katanya melanjutkan.

“Ohya?” jawabku pndek.

“Ya, kau sekarang lebih sering murung. Kuperhatikan makanmu juga lebih sedikit. Mak Ti suah tenang di sana. Jangan terlalu dipikirkan,” celotehnya panjang.

“Aku tahu kau juga menyayangi Mak Ti, tapi itu tidak berarti kau terus-terusan larut dalam kesedihan.”

“Aku tidak larut dalam kesedihan, aku hanya,”

Tiba-tiba kulihat ada sepasang mata mengintai dari balik tirai. Kupegang tangan Kang Danu kuat-kuat.

“Ada apa?” Tanyanya heran melihat kucengkeram kuat lengannya.

“Ada yang mengintaiku,” kataku pelan.

“Mengintai? Siapa? Tidak mungkin, pagar di luar begitu kokoh dan sudah kukunci rapat.” kata Kang Danu.

“itu, dia melihatku dari balik tirai itu,” kataku panik. Aku benar-benar ketakutan. Mata itu berkilat-klat. Persis seperti mata yang merenggut seutas benang dari ubun-ubun Mak Ti.Bulu kudukku meremang.

“ Ah jangan bicara melantur. Tidurlah, seminggu ini kita memang selalu pulang malam dari rumah Mak Ti. Aku yakin kau kelelahan.” Kang danu kemudian mematikan lampu kamar. Tak lama berselang kudengar napasnya telah teratur. Tanda dia telah lelap tertidur.

Aku masih belum dapat memejamkan mata. Seminggu ini, siang malam sulit kupejamkan mata ini. Aku merasa dalam ancaman. Ada yang mengikuti langkahku. Setiap saat rasa cemas menaungiku. Rasanya ada yang mendekat entah apa…itu membuatku selalu was-was.

Setiap kucoba memejamkan mata, mata berkilat itu seperti hendak menikamku. Aku gemetaran. Membayangkan bahwa si pemilik mata itu adalah malaikat maut membuatku merasa ngeri. Kurasa, semua orang takut mati. Tak ada orang yang dengan gagah menyalaminya lalu membolehkannya menarik seutas benang ruh dari tubuh.

Lalu aku merasa mata itu memaksaku menatapnya. Ada telaga bening di satu matanya. Ada telaga api di mata lainnya. Aku melihatnya bergejolak. Aku dipaksa melihat diriku dibaringkan sendirian.

“Jangan…aku tak mau, aku tak ingin pergi,”

Mata itu terus menikamku. Kulihat diriku terbujur membeku. Kang Danu, Ibu, dan si kecil Ais, menangis di sisiku. Namun setelah itu mereka meninggalkanku di sini sendiri.Senyap. Tak bergerak.

“Tidak, tidak, jangan,” kataku. Mulutku terkunci. Seuntai senyum menyeringai.

“Jeng, bangun, bangun…,”

Aku tersengal. Tersentak. Keringat membasahi dahi dan sekujur tubuh.

“Ayo minum dulu,” kata Kang Danu.

“kau bermimpi buruk rupanya,”

Aku menarik napas panjang. Belum terjadi, ya belum terjadi. Aku menangis sejadi-jadinya malam itu, sementara Kang Danu hanya mampu merangkulku tanpa tahu harus bagaimana.

Esok paginya, kulihat bayanganku di cermin. Kusut. Pucat.

“Ayo kita periksa ke dokter. Kelihatannya kau tidak sehat,” ajak Kang Danu.

Aku menurut saja. Kupikir aku memang kelelahan atau stres. Pada dokter itu aku menyampaikan keluhanku.

“Oh, itu hanya trauma psikis akibat kematian seseorang yang dekat dengan kita. Nanti juga akan hilang,” kata dokter itu. Ringan sekali kata-katanya. Aku diperiksa lengkap. Mulai tensi hingga cek jantung. Semua baik. Namun pulang dari dokter kondisiku tetap sama. Akupun berinisiatif datang ke psikiater.

“Tapi kaukan tidak gila, Jeng,”

“Aku tidak setuju,” imbuh Kang danu.

Berminggu-minggu berlalu. Kurasa badanku susut cukup banyak. Bagaimana aku tidak? Setiap saat mata itu mengintaiku sehingga aku merasa diteror. Bayangan kematian datang menjemput setiap waktu membuatku berada dalam posisi ketakutan sepanjang hari.Setiap hari aku menelepon dokter, kiai, hingga psikiater. Aku ingin menemukan diriku yang dulu. Aku ingin menjadi orang yang normal lagi. Kematian Mak Ti benar-benar menjadi bencana bagiku.

Kini aku berdiri di depan cermin. Kulihat diriku. Tak lagi sama. Semua telah berubah. Aku merasa nyaris kehilangan pegangan. Tidak ada yang mau mengerti keadaanku. Tidak ada yang bisa merasakan yang kurasakan. Satu jawaban: trauma psikis.

Hingga sore itu aku dipertemukan dengan seorang guru.

Kepada guru itu kuceritakan siksaan yang kurasakan selama berminggu-minggu ini. Di mana pun aku merasa tak tenang. Ke manapun aku merasakan kegelisahan. Kepadanya aku juga bercerita bahwa ini terjadi setelah kematian Mak Ti.

Guru itu mendengarku dengan saksama. Tak ada jawaban.

“Baca saja ini,” katanya sambil menyodorkan sesuatu padaku.

“Bacalah ini setiap saat, setiap waktu. Ini adalah obat yang akan menyembuhkanmu. Insyaallah,” ucapnya mantap. Kupandangi apa yang kupegang. Kupandangi sangat lama. Ada kehangatan yang mencairkan dingin yang kurasa. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca.

Aku tertegun. Sesuatu yang kupegang itu adalah Al-qur’an.

“Dengan mengingat Allah, hati akan tenang. “ Hanya itu kalimat yang dia ucapkan ketika kami akan pulang. Kalimat itu magis. Aku seperti menerima sinar mentari setelah dingin berkepanjangan. Aku merasa menerima hangat setelah senyap. Aku telah menemukan jawaban pasti atas ketakutan dan kegelisahanku selama ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

barakallah ibu..tks atas pencerahannya

10 Apr
Balas

Terima kasih komentarnya bapak ibu...

23 Apr
Balas

Merinding Bu ...

09 Apr
Balas

Malaikat pencabut nyawa sudah datang menghampiri, persis ayah mertuaku dulu bercerita, ada dua orang yang menghampiri,nyata adanya sebelum kepergiannya.

10 Apr
Balas

Aduh mbak Koen... Tengah mlm bacanya jd gak bs tdr nih... Sereeem...

09 Apr
Balas

Cerita yang luar biasa

10 Apr
Balas

Kerren Bu...

09 Apr
Balas



search

New Post