Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
“Suntik Mati Saja…,”

“Suntik Mati Saja…,”

Suntik mati adalah istilah awam untuk kata eutanasia. Eutanasia adalah tindakan medis yang sangat jarang dilakukan. Namun tak menutup kemungkinan dilakukan pada situasi yang memang diperlukan. Ketika seorang pasien telah lama menderita koma dan tak ada lagi harapan hidup, bisa saja keluarganya meminta pasien itu dieutanasia. Mungkin karena pertimbangan rasa kasihan, harapan sembuh yang tak mungkin terwujud, biaya perawatan yang kian membengkak, atau untuk alasan lain. Yang pasti sebelum eutanasia dilakukan, baik pihak keluarga maupun rumah sakit harus merundingkan dengan matang segala sesuatunya sebab ini menyangkut perkara hidup dan mati.

Dengan pertimbangan di atas mungkin saja hasil akhirnya eutanasia adalah jalan yang terbaik baik semua pihak, termasuk si pasien. Tapi, bagaimana bila ada seseorang yang sehat meminta dieutanasia? Tentu ini sangat tidak logis. Namun hal itu betul-betul terjadi.

Di kampung saya ada seorang ibu yang memilik tujuh orang anak. Suaminya meninggal saat anak-anaknya itu masih kecil. Tiga perempuan dan empat laki-laki. Usia si ibu kini telah menginjak usia 75 tahun. Anak tertuanya (laki-laki) telah berumur hampir 50 tahun. Anak bungsunya (perempuan) telah berumur 30 tahunan. Singkat kata semua anaknya telah memasuki umur yang matang dan benar-benar sudah menjadi “manusia.” Di usia itu semuanya pasti telah mengalami pahit getirnya kehidupan, termasuk suka duka menjadi orang tua bagi anak-anak mereka.

Si ibu yang telah berusia lanjut itu berada dalam kondisi yang payah. Diabetes, hipertensi, dan rematik menjadikannya lemah. Jangankan untuk memasak atau membersihkan rumah, untuk berjalan ke kamar mandi saja sulit. Sehari-hari si ibu itu tinggal bersama anaknya yang kelima. Anak kelimanya itu telah bercerai dari istrinya. Karenanya ia pulang ke rumah ibunya.

Suatu hari si anak yang biasanya tinggal bersama si ibu itu meninggal.Tentu saja si ibu ingin ada anak lain yang menemaninya. Toh cucunya juga belasan jumlahnya. Tujuh hari usai kematian anak kelimanya itu, si ibu mengundang semua anaknya untuk berkumpul. Si ibu mengutarakan keinginannya. Ia ingin anak-anaknya bergiliran menemaninya entah bagaimana caranya bergantung pada kesepakatan yang akan diambil nantinya. Namun reaksidari ketujuh anaknya itu jauh dari yang diharapkannya.

“Bu, rumahku jauh, bagaimana aku bisa ke sini setiap hari? Nanti siapa yang mengawasi pekerja di kebun?” itu komentar anak pertamanya.

“Kau Bang, ngawasi pekerja kebun masih mending, lha aku? Tiap pagi harus ke pasar setelah itu mengolah makanan untuk warung. Bagaimana itu bisa kutinggalkan? Bisa-bisa SPP tiga anakku ndak terbayar,” kata anak perempuannya.

Owalah Mbak, kau sih enak, masih bisa mengatur waktu, lha aku, mana bisa aku bergerak. Jam 6 pagi sampai jam 5 sore masih ada di pabrik. Gak mungkinlah bisa membagi waktu lagi.” Itu komentar dari anaknya yang kebetulan bekerja di pabrik.

“He, kalian masih ada di kota ini, lha aku dan dua mbakyumu itu, kami tinggal di lain kota: Jakarta, Lampung, dan Bogor, bagaimana cara nungguin ibu?” kata seorang anaknya yang saat ini memang tinggal di luar kota.

Mendengar anak-anaknya berebut mengutarakan keneratannya, si ibu kemudian angkat bicara.

“Sudah sudah…, jangan berdebat lagi,” kata si ibu menengahi.

“Kalau kalian semua keberatan, ya sudah, aku akan hidup sebisaku. Toh tinggal berapa umurku. Kalau mau cepat, suntik mati saja aku kan beres. Kalian tak perlu memikirkan lagi tentang aku. Tak perlu berdebat soal menemaniku. Tak perlu bertengkar soal uang makan untukku, ayo suntik mati saja aku,” kata si ibu dengan nada kecewa. Ruanganpun hening.

Bisakah Anda bayangkan perasaan si ibu saat berkata demikian? Saya bayangkan betapa remuk hatinya. Membesarkan tujuh anak sendirian bukanlah hal yang mudah. Hanya berkat kerja keras dan pengorbanannya, mereka bisa tumbuh besar dan sempat bersekolah, meski rata-rata hanya sampai dengan bangku SMP. Saya rasa itu sudah luar biasa. Seorang single parent harus berjuang melawan kerasnya hidup tanpa bantuan dari siapapun. Perjuangan dan usaha sekuat tenaga untuk menghidupi ketujuh anaknya, menyekolahkannya, membiayai semua kebutuhan hidupnya, tentu bukan sesuatu yang ringan. Itu sangat berat.

Kini, setelah mereka menjadi manusia, ketika si ibu mengutarakan keinginannya yang sederhana, tak seorang anak pun yang berusaha mengabulkannya. Bukankah si ibu hanya ingin ditemani, tak ingin hidup sendiri sebab ia memang tak lagi mampu sendiri. Mengapa semua merasa tak bisa? Bukankah mereka ada hingga saat ini karena lelehan keringat dan air mata sang bunda? Keinginan si ibu untuk disuntik mati adalah bukti padamnya harapan hidupnya saat itu. Tak selayaknya kalimat itu terucap dari seorang ibu yang memiliki anak dan cucu di sekelilingnya.

Saya tercenung lama. Sangat lama. Betapa kadang kita sibuk mencangkul lahan untuk dunia, juga untuk surga sementara ladang surga yang terhampar di depan kita, kita abaikan begitu saja? Bukankah orang tua kita adalah ladang surga bagi kita? Bukankah surga berada di telapak kaki bunda? Banyak pelajaran penting saya ambil saat ini. Bahwa suami atau istri kita, sesungguhnya bukan milik kita sendiri. Ada ayah dan ibu yang pasti juga merindukan kehadirannya. Bagaimanapun juga, orang tua dari suami atau istri kita, tetap punya hak atasnya. Kita bisa hidup bersamanya juga atas restu dari kedua belah pihak orang tua. Sesungguhnya, tak ada orang tua yang ingin melepaskan anak-anaknya. Hanya atas kebesaran hatinya, mereka melepas buah hatinya hidup bersama selain mereka.

Saya pun kian menyadari bahwa kita harus menanamkan nilai agama yang kuat pada anak-anak kita agar ia paham betapa besar dosa seorang anak jika ia menyakiti hati orang tuanya, apalagi mengabaikannya. Bahkan ketika orang tuanya telah tiada, si anak wajib mendoakannya. Bahwa berbakti pada orang tua itu sepanjang masa. Satu yang tak kalah penting adalah, bahwa dalam hidup ini ada saatnya kita menerima namun pasti ada saatnya pula kita harus memberi…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Merinding bacanya, bu. Akhirnya bagaimanakah kondisi si ibu sekarang?

01 Jun
Balas

Sepertinya belum ada yang mau menemani. Setelah keperluan makan, mandi, selesai diurusi, si ibu kembali sendiri....semoga Allah menguatkannya.

01 Jun

"Berbakti pada orang tua itu sepanjang masa." Situasi sulit kenyataan hidup dan bakti kepada ibu.

01 Jun
Balas

Benar, tapi harus diupayakan...

01 Jun

Benar, tapi harus diupayakan...

01 Jun

jadi ingat almarhumah ibu. kepada yang masih punya orangtua sayangilah mereka seperti mereka menyayangimu di masa kecil.

01 Jun
Balas

Benar bu Wiwin...sepakat...

03 Jun



search

New Post