Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Cukup Hanya dengan Menikah

Tak Cukup Hanya dengan Menikah

Ya, menikah adalah ibadah, itu tak dimungkiri. Namun untuk kasus tertentu, justru menikah sebenarnya bukanlah solusi yang jitu untuk mengatasi permasalahan. Dalam hal ini untuk kasus pergaulan bebas. Banyak orang tua yang kemudian memutuskan untuk menikahkan anaknya setelah tahu penyimpangan pergaulan yang dilakukan oleh si anak.

“Semoga dengan menikah bisa kembali ke jalan yang benar. Tidak menjalani pergaulan bebas lagi,” itu harapan dari orang tua yang meski tak terlontar secara langsung tapi terucap keras dalam hatinya. Apalagi (maaf) bila si perempuan telah diketahui menyimpan janin dalam rahimnya. Tentu menikah adalah adalah satu-satunya solusi yang dianggap terbaik bagi semua pihak. Ya, itu memang solusi untuk saat itu. Demi menyelamatkan harga diri dua belah keluarga, demi anak yang akan dilahirkan, maka pernikahan pun dilangsungkan. Menikah adalah jalan terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut meski sebenarnya pilihan itu belum tentu dapat mencabut akar permasalahan.

Ketika seorang anak terjebak dalam pergaulan bebas, pengobatannya tak cukup hanya dengan pernikahan. Kita perlu mencermati faktor penyebab pergaulan bebas yang dilakukan oleh si anak. Ada beberapa faktor penyebab pergaulan bebas. Antara lain 1) pengaruh lingkungan pertemanan, 2) ingin mencoba-coba, 3) ketidakharmonisan hubungan orang tua dengan anak, dan 4) ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu. Dari keempat faktor itu, yang paling dominan adalah faktor pertemanan dan sifat remaja yang ingin mencoba-coba. Remaja punya kecenderungan ingin melakukan sesuatu yang baru dan menantang. Maka tak heran jika banyak remaja yang kemudian berani merokok, minum-minuman keras, mengonsumsi narkoba, hingga melakukan pergaulan bebas (baca: seks bebas).

Jika kita kaji lebih mendalam, keempat faktor di atas sebenarnya berakar dari satu hal. Yaitu lemahnya keimanan. Lemahnya iman seseorang jelas bersumber dari kurang kuatnya pondasi agama yang dimilikinya. Dalam kasus di atas, ketika ada seorang anak yang terjebak dalam kenakalan remaja khususnya pergaulan bebas, itu berarti nilai agama yang ditanamkan oleh orangtua kepadanya belum cukup mampu membendung pengaruh dari luar yang sangat masif tersebut. Dengan demikian, tidak sepatutnya kita hanya menyalahkan si anak/remaja tersebut. Orang tua juga harus mau mengakui bahwa sedikit atau banyak, ia punya andil di dalamnya.

Apabila kemudian pernikahan dianggap sebagai jalan terbaik bagi pelaku pergaulan bebas, orang tua tak seharusnya lepas tangan setelahnya. Karena, apapun alasannya, remaja usia belasan, sebenarnya belum layak memasuki dunia pernikahan. Secara fisik tubuh mereka memang berpostur seperti orang dewasa. Akan tetapi, secara psikis, sesungguhnya mereka tetaplah anak-anak. Setelah pernikahan berlangsung, orang tua harus memberi pengarahan pada mereka. Bahkan pendampingan intensif pun masih perlu dilakukan. Melepas penuh mereka meski telah menikah memang wajib demi pendewasaan diri mereka. Akan tetapi untuk kasus remaja yang menikah karena keterpaksaan keadaan, pelepasan itu harus dilakukan secara bertahap.

Perlu ditekankan pada mereka bahwa menikah itu tak hanya kontak fisik, menikah itu tidak hanya sekadar untuk menghalalkan hubungan seksual. Menikah adalah kontak hati. Menikah bukan hanya menyatukan dua orang, melainkan juga dua keluarga besar. Bahwa di dalam kehidupan pernikahan, ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh dua orang tidak hanya kepada pasangannya tetapi juga pada keluarga besar mereka. Pendampingan itu seyogianya dilakukan sampai pada perawatan bayi yang dilahirkan. Mereka yang menikah di usia belasan sebenarnya belum layak menanggung beban sebagai orang tua. Bagaimana mungkin anak-anak mengasuh anak? Ironis. Namun itulah yang marak terjadi saat ini.

Ketika seorang perempuan belum siap mengemban tugas menjadi seorang ibu, dapat ditebak bagaimana pola pendidikannya terhadap anak-anaknya. Ia sendiri masih butuh pendidikan tapi sudah harus mendidik seorang anak. Akibatnya banyak terjadi kasus kekerasan baik verbal maupun nonverbal pada anak. Tak hanya kekerasan bahkan sampai pada pembunuhan. Dalam beberapa kasus itu terjadi akibat ketidaksiapan orang tua dalam menghadapi kehidupan rumah tangga utamanya menjalani peran baru sebagai ibu/ayah.

Kita tentu sering mendengar kasus pembunuhan janin/aborsi, penganiayaan, hingga pembunuhan terhadap anak/balita oleh ayah atau ibunya. Bila kita cermati, kita akan mendapatkan fakta bahwa mayoritas pelakunya adalah orang tua yang rata-rata usianya masih muda. Kalau tidak demikian, kasus itu terjadi karena faktor runyamnya permasalahan dalam rumah tangga si pelaku. Lagi-lagi anak-anak yang tak bersalah menjadi korban.

Sekarang, bila si ayah juga berusia belia, bahkan belum lulus sekolah,dari mana ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, menghidupi anak istrinya sedangkan ia sendiri masih menadahkan tangan pada orang tuanya? Bagaimana dia dapat menjadi panutan sedangkan apa yang dilakukannya tak layak dicontoh oleh keluarganya?

Karenanya, menikah saja tak cukup buat mereka yang telah menjalani pergaulan bebas. Mereka perlu dinasihati, dididik, dilatih, bahkan digembleng kembali imannya agar menjadi orang yang lebih baik. Untuk itu perlu campur tangan banyak pihak. Baik dari orang tua, mertua, maupun pihak keluarga lainnya. Pendidikan mereka pun harus dilanjutkan. Meski telah menikah, bukan berarti pendidikannya harus terhenti hanya di jenjang yang telah dijalani sebelumnya saja. Semua pihak harus mendorong mereka agar mau kembali melanjutkan pendidikannya.

Karena meluruskan kembali akhlak yang telah bengkok tidak semudah membalikkan telapak tangan maka harus banyak cara yang ditempuh untuk mengembalikannya agar kembali lurus. Kalau memang mereka harus menjadi orang tua di usia belia, jangan sampai mereka mewariskan perilaku negatif pada anak-anak mereka. Biarlah hal yang buruk terhenti sampai di situ. Jangan sampai generasi setelahnya lebih buruk daripada generasi sebelumnya. Save our generation!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren banget bunda khoen...menikah harus cukup umur dan pemahaman tentang menikah pun harus disosialisasikan dengan baik, agar generasi muda kita tak terjerumus ke dalam lubang hitam.

20 Jun
Balas

Benar Bun...sebab menikah itu bukan permainan dan untuk selamanya, jadi remaja harus dibekali pengetahuan untuk menyiapkannya dengan matang.

20 Jun

Miris banget. “Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.”

20 Jun
Balas

Astaghfirullahalazim...semoga Allah masih berkenan menerima tobat mereka.Terima kasih tambahan pencerahannya.

20 Jun

Pernikahan yang terpaksa dan dipaksakan, memang efeknya rumit dan runyam . Astagfirrulloh. Tulisan bunda Khoen, muantafff. pesan moral yang disampaikan nancep abis, jlebb

20 Jun
Balas

Sedihnya, terjadi dimana-mana kejadian menikah yang dipaksakan begitu. Save our generation! Bu Khoen tulisannya perlu dibaca banyak orang tua dan anak muda..

20 Jun
Balas



search

New Post