TELUNJUK GURU
Guru sesungguhnya punya kesaktian yang dahsyat. Di manakah letak kekuatan seorang guru? Ada yang akan menjawab, “Di hati atau di otak”. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Kekuatan guru tidak terletak pada hati dan otaknya, tetapi di telunjuknya. Mari kita buktikan. Ketika bel masuk berbunyi panjang teet…teet..teeeeeet. Apakah lantas para anak didik kita itu beranjak dari kantin? Langsungkah mereka meninggalkan perbincangan asiknya dengan teman-temannya? Apakah mereka serentak berdiri lalu masuk kelas? Coba kita amati. Sebagian besar pasti menjawab tidak. Setelah bel panjang berhenti berbunyi cobalah keluar dari ruang guru. Berdirilah saja di depan ruangan itu tanpa bicara, gunakan saja bahasa nonverbal dengan cara mengarahkan telunjuk kita pada mereka. Dalam hitungan detik mereka pasti akan berdiri lalu lari menuju kelasnya masing-masing. Di dalam kelas, ketika ada anak yang ramai, tak perlu marah. Arahkan saja jari telunjuk kita padanya untuk pindah tempat duduk paling depan, pasti dia diam. Lebih ampuh lagi ketika kita minta mengerjakan tugas. Telunjuk guru sangat dahsyat kekuatannya. Tinggal pilih anak, arahkan telunjuk kita padanya. Dengan ikhlas atau terpaksa, dia pasti maju untuk mengerjakan tugas. Begitulah kekuatan sekaligus kesaktian seorang guru.
Telunjuk guru memang punya kesaktian, namun bisa jadi itu menjadi bumerang untuk sang guru. Dengan telunjuknya, seorang guru dapat mengangkat puluhan siswa. Dengan telunjuknya itu, guru bisa memerintahkan siswa membuang sampah di tempat sampah, menyuruh siswa melaksanakan salat, membersihkan kelas, atau mengerjakan berbagai tugas. Karena kesaktian itulah, kadang guru dengan mudah menunjuk siswanya. Saya pun demikian.
Setelah saya tahu bahwa kekuatan saya terletak di telunjuk, saya pun suka menunjuk siswa untuk melakukan ini dan itu. Sampai suatu saat, saya mendengar ada siswa yang berkata, “Enak ya jadi guru, kerjaannya menyuruh siswa.” Mak deg rasanya. “Memangnya nulis puisi itu mudah? Apalagi membacanya di depan kelas..,” Kalimat itu terdengar begitu menusuk telinga dan hati. Saya cermati kalimat itu…ya itu benar. Seringkali guru menuntut banyak hak terhadap siswanya. Ternyata siswa sekarang sungguh kritis. Inilah saatnya bumerang itu kembali ke asalnya. Kalimat itu singkat, tapi maknanya sangat menghunjam nurani. Seolah-olah guru itu tugasnya hanya memerintah tapi tidak mengerjakan apa yang diperintahkan pada siswanya. Wah gawat, kredibilitas seorang guru bisa terancam hanya gara-gara kalimat itu. Sejak itu saya berpikir untuk tidak hanya menunjuk, tapi saya pun harus melakukan.
Ketika anak-anak saya tugasi menulis puisi, saya pun sibuk menulis puisi di kursi sudut saya. (Itu karena kursi dan meja guru selalu diletakkan di sudut kanan/kiri depan ruangan). Selanjutnya, ketika mereka saya suruh membaca puisi secara bergiliran, saya pun akan membacakan puisi karya saya di akhir pembelajaran. Ketika anak-anak saya tugasi menulis cerpen, saya pun menulisnya, walau kadang tidak selesai di kelas karena ketika berproses mereka butuh didampingi. Minim saya sudah punya ide atau judul. Saya pun bisa mengasah kemampuan berbahasa bersama-sama dengan mereka. Ternyata itu membuat tabungan tulisan saya menggemuk. Alhamdulillah…
Pun ketika anak-anak saya suruh secepatnya berwudu setelah azan zuhur usai, saya usahakan ikut mengantre di belakang mereka. Memang konsekuensinya adalah tebaran aroma kaki yang khas karena diselubungi kaos kaki yang entah berapa hari tak tercuci, oh my god. Tapi kalau sudah tidak tahan, saya memilih berwudu setelah mereka semua masuk ke dalam musala. Ketika mereka melakukan apa yang saya minta dan saya pun melakukannya, respons mereka luar biasa. Di kelas mereka lebih aktif dalam mengerjakan tugas, karena mereka tahu kalau saya pun mengerjakan hal yang sama dengan mereka. Di luar kelas mereka lebih menghargai saya. “Image” guru adalah penyuruh tampaknya mulai pudar. Beberapa guru lain tetap bertahan di posisi “tukang tunjuk”. Ya begitulah…Setidaknya saya telah memulai menanggalkan gelar “tukang tunjuk”
Saya jadi tertegun ketika membaca salah satu terjemahan kutipan surat dalam Al Qur’an. Surat itu adalah Q.S Ash-Shaf:2-3 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kau mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” Astaghfirullahalazim….Setelah membaca surat itu saya bertekad untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan jari telunjuk saya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kaburo maktan indalloohi .... Na'uudzubillaah. Terima kasih sudah mengingatkan, B Khoen.
Guru digugu dan ditiru bukan lugu tur wagu.... #ingetkatakataitudiYK
Luar biasa. Bagus bu...sangat mengingatkan para guru supaya lebih banyak memberikan ketauladanan pada siswa2 nya.