TIDAK TAHU ATAUKAH TIDAK MAU TAHU? (Catatan Harian Kesalahan Berbahasa)
Tidak tahu ataukah tidak mau tahu? Pertanyaan itu berkecamuk di benak saya setiap kali melewati jalan raya. Mengapa berkecamuk ketika saya melewati jalan raya? Ada alasan khusus untuk pertanyaan tersebut. Di sepanjang jalan raya terpampang berbagai papan nama dan iklan, Khusus untuk papan nama itu, mulai dari papan nama jalan, restoran/warung makan, hotel, tempat fotokopi, salon, dan sejenisnya.
Coba kita cermati satu per satu. Papan nama jalan misalnya. Hampir semua nama jalan di sepanjang jalan disingkat penulisannya. Itupun ditulis dengan singkatan yang tidak tepat. Misal, JL. MARTOREJO, JL. CEMARA UDANG, dan JL. DIPONEGORO. Mengapa tidak ditulis JALAN MARTOREJO, JALAN CEMARA UDANG, dan JALAN DIPONEGORO? Alasan yang biasa kita jumpai adalah untuk menghemat tempat.
Untuk penulisan nama hotel, salon, dan restora juga beragam. Acapkali kita jumpai beberapa variasi penulisan. Umumnya hanya mengutamakan ejaan asing. Contoh De View Hotel, MK Hotel, De Wahyu, Apple Resto, Zam Zam resto & futsal, Hot Plate, Fia Salon, dll. Ah alangkah ironisnya. Kita punya bahasa Indonesia, tapi pada kenyataannya bukan bahasa Indonesia yang diutamakan penggunaannya, melainkan bahasa Inggris. Mengapa tidak memilih menulis Hotel MK, Restoran Apel, dan Salon Fia? Atau jika ingin mempertahankan ejaan asing, tulislah Restoran Apel (Apple Resto). Bahasa Indonesia didahulukan daripada bahasa asing. Mengapa itu tidak dilakukan?
Selain itu coba kita amati penulisan kata fotokopi. Luar biasa variasinya. Ada papan nama yang bertuliskan: PHOTO COPI, PHOTO COPY, PHOTOCOPI, PHOTOCOPY, FOTOCOPY, FOTO COPY, FOTOCOPI, FOTO COPI, FOTO KOPI, dan FOTOKOPI. Setidaknya ada sepuluh variasi tulisan yang saya temukan. Fantastis. Ada yang mempertahankan ejaan asing, ada yang campur-campur, dan ada yang benar. Yang benar hanya satu kata yaitu FOTOKOPI. Namun itu pun tidak digunakan.
Masih tentang tulisan di jalan raya. Misal papan penunjuk tempat. Sering kali kita temukan bahasa campur-campur di situ. Misalnya SELAMAT DATANG DI REST AREA; TEMPAT WUDLU; MUSHOLLA; PRAKTEK DOKTER; TOKO AMANAH: SEDIA ALAT-ALAT SEKOLAH, ACCESSORIES; MY LOUNDRY: MURAAAH, dll. Untuk penulisan ejaan asing seharusnya dimiringkan penulisannya.Untuk penulisan ejaan dari bahasa Arab pun ada aturan tersendiri. Penulisan kata yang tidak baku seharusnya juga dihindari. Misalnya bukan PRAKTEK, melainkan PRAKTIK. Pun tidak perlu berlebihan dalam menulis sesuatu, misalnya cukup ditulis MURAH, tidak perlu ditulis MURAAAH.
Pada faktanya tulisan yang ada di luar sana lebih banyak yang salah daripada yang benar. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta kesalahan penggunaan bahasa. Siapa yang bersalah dalam hal ini? Betulkah masyarakat benar-benar tidak tahu akan aturan penulisan nama dan ejaan dalam bahasa Indonesia? Pernahkah kita berusaha mencari tahu manakah tulisan yang benar dari berbagai variasi tulisan di atas? Ketika pertanyaan itu saya lontarkan pada siswa di kelas, jawaban mereka sungguh di luar dugaan. “Ah gitu aja kok dipikirin Bu?” Saya terhenyak. Ketika saya beritahu penulisan yang benar, lagi-lagi tanggapan mereka di luar dugaan. “Kok bisa Bu?” Atau ketika mereka saya minta menulis versi yang benar menurut mereka dan ternyata salah (karena tidak sesuai kaidah), mereka masih menyangkal, “ Mengapa kata yang saya tulis itu salah? Saya kan mencontoh di jalan raya? Saya kan mencontoh di papan nama tempat yang terkenal?” Ah, persoalan ini tampaknya tak dapat dianggap remeh.
Ada pepatah yang harus selalu kita ingat, BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA. Seseorang yang gemar berkata kasar terindikasi perangainya juga kasar. Seseorang yang gemar berkata baik terindikasi perangainya juga baik. Bila saat ini bahasa yang digunakan masyarakat kita carut marut, berarti ada indikasi perangai masyarakat kita juga “carut marut”? Bila masyarakat kita lebih suka menggunakan bahasa asing, berarti ada indikasi perangai bangsa kita juga sudah seperti orang asing? Jawaban pertanyaan itu ada pada realita sosial saat ini yang bisa kita amati sehari-hari.
Lantas, bila kita tidak tahu dan tidak mau mencari tahu mana yang benar, bagaimanakah nasib bahasa Indonesia? Apakah tanggung jawab perbaikan itu hanya dibebankan pada guru dan dosen bahasa Indonesia? Ah alangkah tidak adil. Kita adalah masyarakat Indonesia. Kita semua berbahasa Indonesia. Sepatutnya kita belajar bersama, kita berbenah bersama.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar