Khoen Eka Anthy

Berselancar dengan kata-kata telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kesehariannya, terlebih setelah menjadi editor di MediaGuru. Selalu berusaha berbua...

Selengkapnya
Navigasi Web
TUHANKAH YANG BERSALAH?

TUHANKAH YANG BERSALAH?

Seringkali manusia menanggap bahwa Tuhan selalu salah. Seakan-akan semua yang menimpa dirinya dikarenakan Tuhan berbuat sesuatu yang salah. Mungkin kita tanpa kita sadari, kita pernah menyalahkan Tuhan. Jika memang begitu, coba kita telaah lagi. Ada beberapa hal yang mutlak dikendalikan Tuhan. Salah satunya maut. Namun untuk beberapa hal lain, misalnya rezeki dan jodoh, manusia berhak menentukannya sendiri. Hasil akhirnya memang berada di tangan Tuhan, tapi kita diberi peran besar untuk mencapai apa yang kita inginkan.

“Wah, sekarang kamu jadi dokter…sudah jatahmu, jatahku cuma jadi sopir.” Kalimat semacam itu tentu sering kita dengar. Atau kalimat berikut,

“Ya, sudah nasib. Saya ini sama Gusti Allah hanya ditakdirkan menjadi pembantu. Lha mau apa?”

“Kamu sejak dulu memang pinter, pantaslah kalau sekarang jadi pegawai, aku yang dikasih Tuhan kemampuan segini, ya wis nerima saja jadi buruh.”

Saya tertegun mendengar kalimat-kalimat di atas. Seakan-akan semuanya adalah kesalahan Tuhan karena telah memberi “kegagalan/keadaan yang tidak diinginkan” pada manusia.

Tentang rezeki misalnya. Rezeki itu sangat luas artinya. Tidak hanya uang, pekerjaan yang menjanjikan, karier yang gemilang, atau harta benda, anggota tubuh, bahkan napas hingga kemampuan mata untuk berkedip sesungguhnya adalah rezeki. Hanya kadang, karena telah terbiasa dengan apa yang kita miliki, kita tidak lupa bahwa itu semua adalah rezeki.

Khusus rezeki yang berupa karier atau pekerjaan, sesungguhnya terkait erat dengan apa yang kita siapkan di waktu sebelumnya. Hukum yang berlaku adalah sebab akibat. Contoh mudah, sebab rajin menabung imbasnya punya banyak uang. Begitu juga dengan pekerjaan atau karier seseorang. Ada yang menjadi guru, dokter, pengusaha, pedagang, sopir, penipu, buruh, pelacur, penagih utang, dll. Dari contoh deretan pekerjaan itu ada yang positif, ada yang negatif. Saya yakin untuk tiap pekerjaan yang dipilih ada alasan pemilihan di belakangnya. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba menjadi dokter. Pun tidak ada seseorang yang tiba-tiba menjadi penipu. Alasan itulah yang disebut sebab sedangkan apa yang dijalani saat ini adalah dampak dari sebab tersebut.

Seorang dokter, bisa jadi awalnya tidak ingin menjadi dokter. Karena suatu pengalaman, kemampuan, atau dorongan yang besar dari orang tuanya, maka ia akhirnya memutuskan menjadi dokter. Seorang penipu, sangat mungkin awalnya tidak ingin menjadi penipu. Saya rasa tidak ada orang yang bercita-cita menjadi penipu. Ketika kecil kita tentu ditanya oleh guru tentang cita-cita kita. Pernahkah kita dengar seorang anak menginginkan kelak dirinya menjadi orang yang jahat? Jawabnya sudah pasti, “Tidak ada.” Lantas ketika di masa dewasa ia menjadi penipu, pasti ada alasan khusus untuk itu. Mungkin dia salah bergaul. Mungkin dia bertemu dengan teman yang akhirnya berkenalan dengan dunia tipu-tipu. Yang jelas tidak ada akibat tanpa sebab. Seorang sarjana yang lama menganggur, mungkin karena dia kurang gigih dalam mencari pekerjaan. Atau dia tidak mau membuka lapangan kerja. Tidak ada rezeki yang serta-merta jatuh dari langit. Perlu usaha keras untuk mencapainya.

Berderet-deret pintu berdiri di depan kita. Ada pintu dokter, pengusaha, guru, pedagang, sopir, penipu, buruh, pelacur, dll. Kita mau masuk pintu yang mana? Itu terserah pada keinginan kita. Di dalam setiap pintu, ada perabot yang berupa konsekuensi. Berani membuka pintu guru berarti harus siap bertemu dengan tantangan pendidikan, beban mengajar 24 jam, anak didik yang memiliki beragam karakter, dsb. Ketika kita telah memasuki suatu pintu, bukan tidak mungkin kita membuka pintu yang lain. Itu karena manusia selalu dinamis dan punya kemampuan adaptasi yang baik.

Lantas, layakkah kalimat seperti ini dilontarkan?, “Ya, sudah nasib. Saya ini sama Gusti Allah hanya ditakdirkan menjadi pembantu. Lha mau apa?” Saya rasa kalimat itu diucapkan sebagai bentuk penyesalan. Namun sayangnya, Tuhan pun disalahkan atas apa yang menimpanya. Mengapa Tuhan selalu disalahkan? Apakah benar itu takdir dari Tuhan?

Coba kita cermati Q.S Ar-Ra’d: 11, yang artinya berikut ini:

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah ‘apa-apa/keadaan yang ada pada suatu kaum’, hingga mereka mengubah apa-apa/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka.” Makna terjemahan itu adalah,”Kalau saya mengubah jiwa saya, maka Allah pun akan memperbaiki keadaan/kondisi saya.” Berdasarkan surat itu segala hal yang terjadi pada diri kita bergantung pada kemauan jiwa kita untuk berbenah. Setelah kita mau berbenah, maka Allah akan membukakan jalan untuk suatu perubahan.

Kembali pada contoh pekerjaan menipu di atas. Awalnya pasti dia tidak ingin menjadi penipu. Namun, mungkin karena dia tak punya kemauan yang cukup untuk keluar dari pergaulan yang salah, maka dia pun menjadi penipu. Intinya adalah pada niat dalam diri yang sangat kuat, jika tekad memilih pekerjaan yang baik dan layak sudah ada dalam diri maka Tuhan akan memberi jalan.

Kadang seseorang telah merasa cukup dengan pencapaiannya sehingga dia tiak mau berusaha lagi untuk meraih yang lebih baik. Sifat malas, suka pada sesuatu yang instan, suka mengeluh, dan merasa diri tidak mampu, adalah masalah yang acapkali hinggap di jiwa manusia. Itulah yang harus diubah. Maka jangan menunggu hidayah, karena hidayah itu justru harus kita jemput. Perlu tekad yang kuat untuk memaksa jiwa kita melepaskan diri dari berbagai masalah tersebut. Kita yang salah mengelola jiwa kita, namun Tuhan jua yang dijadikan tumpuan kesalahan sehingga seolah-olah Tuhan selalu bersalah.

Ada juga topik berbeda tapi model kalimatnya sama, berikut contohnya.

“Selamat ya akhirnya menikah juga, berarti dia memang jodohmu,” kalimat itu juga selalu kita dengarkan ketika pernikahan atau atau sedang berlangsung. Atau ada variasi lain, “Kan sudah digariskan jadi jodohnya, mau bagaimana lagi? Masak ditolak?”

Namun ketika perceraian tak terhindarkan, muncul kalimat begini, “Lho, mereka bercerai? Berarti bukan jodohnya…,” atau, “Berarti jodohnya hanya segitu.” Kemudian ketika ada dua orang yang telah bercerai, atau setelah putus hubungan kemudian bersama lagi, ada komentar begini, “Lha memang sudah jodohnya,” atau ,”Kalau sudah jodoh pasti ketemu lagi,”

Ucapan-ucapan di atas tentu tidak asing di telinga kita. Kalimat-kalimat di atas menyiratkan Tuhan satu-satunya yang bertanggung jawab atas semua yang menimpa manusia. Tapi sebagai manusia, kita telah dibekali akal pikiran. Dengan akal pikiran itu kita diberi keleluasaan dalam memilih. Termasuk memilih jodoh.

Benarkah dengan berlangsungnya sebuah pernikahan berarti seseorang telah bertemu jodohnya? Lantas bila seseorang berpisah berarti itu manandakan bukan jodoh lagi? Tersirat makna bahwa Tuhan telah salah memilihkan jodoh untuk seseorang. Lagi-lagi Tuhan bersalah. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Sebelum menikah, ada banyak orang yang kita kenal. Kitapun dapat memilih siapa yang nantinya menjadi pasangan kita. Dengan menjalani pernikahan belum tentu sepasang manusia berjodoh. Buktinya, ada yang menikah baru seminggu kemudian bercerai. Ada yang menjalani kehidupan pascapernikahan hanya dalam hitungan bulan. Ada pula yang telah belasan bahkan puluhan tahun menikah, toh bercerai juga. Lantas apa itu berarti Tuhan telah salah memilihkan jodoh?

Sebagaimana pekerjaan, jodoh pun tidak serta-merta datang atau pergi. Ada sebab mengapa seseorang memilih si A atau si B untuk dijadikan pasangan hidupnya. Alasan itu bisa karena dijodohkan oleh orang tuanya, karena telah lama menjalin hubungan, dll. Perceraian pun juga terjadi pasti karena suatu alasan. Pada dasarnya ketahanan dua orang dalam menjalani kehidupan bersama itulah yang menjadikannya berjodoh atau tidak. Lagi-lagi persoalan ketenangan jiwa. Jika jiwa seseorang itu labil, mudah tergoda, tidak mau menerima pasangannya, maka bisa diprediksi pernikahan itu tidak akan berlangsung lama. Jika sesorang mampu bertahan sampai ajal memisahkan, berarti itulah jodoh. Sepanjang usia, selama itulah manusia berusaha mempertahankan jodohnya. Sesungguhnya yang menjadikan seseorang mampu bertahan dengan “jodohnya” setelah menikah, adalah komitmennya.Campur tangan Tuhan adalah pada ketetapan hati masing-masing individu.

Apa yang terjadi saat ini pada diri kita, tentang pekerjaan/karier kita, tentang jodoh kita saat ini, semuanya itu berdasarkan apa yang telah kita pilih di masa lampau. Hukum yang berlaku adalah sebab akibat. Seyogyanya kita tak lagi menyalahkan Tuhan atas apa yang kita jalani saat ini. Juga tak perlu ada lagi ucapan, “Tuhan, mengapa aku dilahirkan?”, “Mengapa aku tidak jadi orang kaya?”, “Mengapa aku tidak menjadi seperti dia?” Kita memang tak mungkin bisa mengubah yang telah terjadi tapi kita bisa merencanakan yang terbaik untuk masa mendatang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dahsyat

23 Mar
Balas

Sangat menarik.

24 Mar
Balas

Mantaff bu Koen..

23 Mar
Balas

Terima kasih bu..

26 Mar

Mantaff bu Koen..

23 Mar
Balas

Mantaff bu Koen..

23 Mar
Balas

terima kasih bu..

23 Mar
Balas

Setuju bunda ...

23 Mar
Balas

Luar biasa ulasan ibu. Membuat saya.hrs merenung sejenak. Ditunggu tulisan berikutnya ya.... Sukses buat bu Khoen

23 Mar
Balas

Terima kasih bu...

26 Mar



search

New Post