Khoirun Nisak

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menjadi Pemimpin Jangan Berpihak

Menjadi Pemimpin Jangan Berpihak

Tulisan Paklek Murman yang berjudul “Ewuh Pakewuh” dalam Menangani Guru yang Tidak Disiplin, membuat saya juga ingin berkomentar. Dan berbagi pengalaman.

Memimpin sebuah lembaga diibaratkan seperti membawa kapal mengarungi samudera yang demikian luas. Kekompakan, kebersamaan, loyalitas menjadi unsur terpenting untuk menjaga kestabilan kapal untuk melaju lurus ke depan demi sebuah tujuan yang satu, bukan tujuan jamak.

Saat kepemimpinan menjadi goyah lantaran berpihak, maka bersiaplah menghadapi keroposnya dinding-dinding kapal yang akan menghalangi kecepatan laju kapal tersebut, meskipun belum saatnya untuk berlabuh.

Penulis sangat setuju dengan pendapat Jamal Ma’mur Asmani, (2012) bahwa seorang kepala sekolah sangat berperan penting dalam menentukan dinamika sekolah menuju gerbang kesuksesan dan kemajuan di segala bidang kehidupan.

Membuat kebijakan itu tidak mudah, perlu pertimbangan berbagai macam hal dan sudut pandang karena dampaknya akan mengenai banyak orang di dalam wilayah pemberlakuan kebijakan tersebut. Oleh karenanya, menjadikan pertimbangan itu tidak cukup mendengar seorang saja, atau bahkan mempertimbangkan kepentingan seorang saja tanpa mengindahkan kepentingan lainnya.

Hari itu, kepala sekolah memanggil saya karena ingin merembukkan sesuatu berkaitan dengan acara liburan di tanggal merah. Nampaknya ini sepele, hanya perkara liburan saja kok repot. Tapi inilah kesekian kalinya muncul inkonsistensi dalam keputusan yang dibuatnya.

Rencana yang diusung sejak lama itu, demikian mudah dibatalkan hanya karena satu di antara personil guru tak mampu mengikuti dengan alasan yang sepele pula dan tidak layak untuk dipertimbangkan banyak orang. “ Tidak ikut karena anaknya yang masih kecil.” Hal ini bisa dipahami bagi seorang ibu yang harus lebih mendahulukan buah hatinya, apalagi hanya untuk kepentingan tamasya semata.

Namun, bagaimana bila itu semua menjadi pertimbangan utama bagi pemimpin lembaga, untuk membatalkan acara yang telah tersusun atas pemikiran bersama. Hanya karena seorang dengan alasan pribadi. Coba anda bayangkan.

Contoh kecil inkonsistensi kebijakan tersebut, bisa merembet pada kebijakan besar lainnya, apabila dijadikan makanan sehari-hari seorang pimpinan. Menurut hemat saya, menjadi pemimpin terkadang harus mengunci rapat-rapat nurani dalam loker. Kenapa demikian, pengambilan kebijakan penting tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan emosi semata. Lebih dari itu, kebijakan itu haruslah diambil dengan pertimbangan kepentingan bersama, Namun, keberpihakan yang masif seringkali menjadi penghalang obyektifitas seorang pimpinan.

Seorang pemimpin tidak seharusnya memiliki kedekatan tertentu dengan salah satu personel dalam lembaganya. Ibarat orangtua, maka pemimpin haruslah bisa mengayomi seluruh personelnya tanpa terkecuali. Istilah ngemong mungkin harus diletakkan pada ranah ini. Jangan sampai, ada rona pilih kasih karena adanya kedekatan yang intens dengan salah satu personel. Yang berdampak pula pada terkikisnya kemampuan pemimpin untuk bertindak obyektif.

Hutang budi, sebagian pemimpin lembaga memiliki kedekatan secara ekonomis dengan bendahara. Inilah mengapa kemudian antara pemimpin lembaga dan bendahara terkadang menjadi rentan akan sebuah isu. Selama pimpinan memiliki hutang budi pada sosok bendahara lembaga, jangan berharap kebijakan akan selalu diambil dengan obyektifitas penuh.

Menjadi pemimpin lembaga, bukan identik dengan mencari penghidupan di dalamnya, lebih dari itu seorang pemimpin lembaga haruslah mampu menghidupkan lembaganya dengan kreatifitas pimpinannya. Mengandalkan anggaran pemerintah, maupun hibah saja tidak akan mampu membawa hidupnya sebuah lembaga. Seorang pimpinan, haruslah mampu mengembangkan sejumlah kompetensinya untuk mengangkat nama lembaganya, menjadi hidup dikancah persaingan lembaga lain yang amat kompetitif.

Kredibilitas seorang pimpinan bergantung pada bagaimana dia mampu membawa dirinya sebagai motivator handal, pelaksana hebat, dan tauladan yang konsisten. Pencintraan diri tidak termasuk di dalamnya, karena sebuah lembaga telah dipenuhi kaum intelek yang mampu membedakan kebenaran dan sebuah ilusi semata.

Menjadi pemimpin harus siap dibenci oleh anak buah, sebatas itu memang berhubungan dengan idealisme yang harus dijaga dan dipertahankan. Begitu manusiawi ketika sosok pribadi, ingin bekerja dengan sangat mudah dan diberikan banyak toleransi dalam segala hal. Namun, pemimpin haruslah bijak dalam menempatkan situasi semacam ini, dan tidak larut di dalamnya hanya karena takut dibenci oleh bawahan.

Dalam peristiwa yang digambarkan paklek murman itu, suatu cara yang efektif telah digunakan. Yaitu dengan mencatat segala bentuk indisipliner dikalangan guru. Namun, bagian yang janggal ialah ketika Paklek harus, maaf. “Tabok Nyilih Tangan”.

Menyerahkan kewajiban penyelesaian kepada pihak berwenang lain, terkesan melemparkan tanggung jawab menurut saya, selama Paklek sebagai pemegang otoritas terbesar selaku atasan langsung. Paklek berhak untuk memberikan teguran, wejangan, bahkan peringatan. Tanpa harus mengindahkan unsur “Ewuh Pakewuh” lhooooo…

Sekali lagi, berbeda itu indah…

Semangat untuk Paklek Murman, U’re The Best.

Sumber gambar :

http://bingung.my.id/post/motivasi-diri-pemimpin

Gedangan, 27 Januari 2017

(Catatan menjelang liburan Sehari nyambung sekalian tulisannya paklek murman)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post