Kusmiyati

Guru Bahasa Inggris SMP NEGERI 1 Banyubiru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mendung di Hati Desi (part 2)

Mendung di Hati Desi (part 2)

#TantanganGurusiana

Tantangan Menulis Hari ke-24

**Mendung di Hati Desi**(part 2)

Desi kecil kini sudah hampir kelas lulus SD. Tapi dia tetap dianggap Desi kecil yang setiap kali bertanya tentang penyakit bapaknya selalu dijawab, “ah kamu masih kecil belum mengerti”. Padahal dia sudah semakin sering mendengar suara seperti waktu itu yang juga diikuti suara benda-benda jatuh. Desi sendiri belum pernah melihat langsung asal suara tersebut. Ibu dan kakak-kakaknya selalu melarang dia melihat sumber suara itu. Apalagi sekarang Jana yang sudah lulus SMA kerja dan kuliah di luar kota. Jana yang merupakan anak sulung Bapak Muhdi memilih tinggal di rumah kos yang dekat dengan pabrik tempat dia bekerja. Jana juga bisa membiayai kuliahnya sendiri di kota itu. Hanya sebulan sekali dia pulang ke rumah. Lia, anak kedua Pak Muhdi, sudah SMA kelas 3. Dia jarang di rumah karena sibuk dengan kegiatan di sekolahnya. Berangkat pagi jam 6 dan sampai rumah jam 5 sore. Hanya hari Minggu dia tampak ada di rumah karena harus membantu ibunya mencuci dan menyetrika baju-baju mereka. Desi juga semakin sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Dia yang suka membuat kerajinan tangan seperti sulam, kristik atau membuat hiasan bunga-bunga dari kertas lebih banyak tinggal di rumah mengerjakan hobinya itu. Desi sudah terbiasa dengan kondisi sepi rumahnya. Hingga sesuatu terjadi sore itu. Ketika Desi sedang asyik menyulam di ruang depan, tiba-tiba dia melihat Bapaknya yang sedang mendengarkan radio di teras tiba-tiba jatuh ambruk ke lantai, beliau mengeluarkan suara seperti yang biasa Desi dengar. Argggggg. Tubuh bapaknya bergerak-gerak seperti kejang, dari mulutnya keluar sedikit buih. Desi langsung berteriak histeris, “Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,” tubuh Desi bergetar, dia menggigil ketakutan sambil berteriak ketakutan,” Ibu, Ibuuuuuu,”

Bu Muhdi yang ada di dalam rumah segera berlari keluar mendengar suara Desi yang ketakutan. Dilihatnya Desi menangis dan menggigil di pojok ruang depan sambil menutup wajahnya dengan tangan. Airmata Desi sudah tumpah ruah meleleh diwajahnya. Bu Muhdi segera merangkul putri kecilnya itu. Dibopongnya tubuh Desi dibawa masuk ke kamar. Desi terus menangis sesunggukan. Dia tak mau melepaskan pelukan ibunya. Bu Muhdi juga sudah berderai airmata. Diusapnya kepala Desi tanpa sepatah kata. 10 menit berlalu, Desi masih terus menangis. Dia belum mau membuka matanya. Dia sangan ketakutan. Gambaran tubuh bapaknya yang jatuh dan kejang masih tampak jelas dalam ingatannya. Akhirnya Desi tertidur. Dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang dia tahu malam itu ibunya membawa bapaknya ke rumah sakit. Dengan diantar suaminya Bu Lekah naik Taksi mereka membawa pak Muhdi ke Rumah Sakit. Desi tinggal di rumah bersama Lia. Malam itu Bu Lekah, tetangga sebelah rumah, menemani mereka sampai jam 9. Desi tidur bersama Lia malam itu.

Pagi harinya Desi dan Lia bangun dan bersiap ke sekolah sendiri. Mereka tidak sarapan karena ibu masih menunggui bapak di rumah sakit. Lia memberi Desi uang untuk membeli makanan di kantin sekolah. Lia berpesan pada Desi sepulang sekolah ke rumah bu Lekah saja.

Sudah seminggu Bapak di rumah sakit. Jana akhirnya mengambil cuti untuk mengurus adik-adiknya di rumah. Sesekali Jana juga ke rumah sakit menengok Bapak. Ibu tidak pernah pulang ke rumah selama menunggui bapak. Lia sudah menengok Bapak satu kali dan hari ini dia mengajak Desi untuk menengok Bapaknya di rumah sakit. Desi begitu senang bisa pergi naik angkot dan akan bertemu Ibu dan Bapaknya. Dia sudah penasaran penyakit apa yang diderita Bapaknya.

30 menit perjalanan dengan dua kali berganti angkot akhirnya membawa Lia dan Desi sampai di rumah sakit terbesar di kota mereka. RSUP Dr. Kariadi, tulisan itu yang dibaca Desi di gerbang utama pintu masuk.

Menyusuri lorong-lorong Rumah Sakit yang sudah penuh dengan pengunjung membuat langkah kaki kecil Desi seakan terseok-seok.

“Mbak Lia, jalannya ojo cepet-cepet tho, Desi capek nih,” Desi mulai merengek.

“Ini juga gak cepet-cepet kok, apa kamu lapar ya jadi jalanmu lambat?” Lia menengok Adik bungsunya.

“Iya Mbak, aku laper”

“Ya udah nanti kalo sudah sampai di bangsal Bapak kamu langsung makan saja, ini Mbak Lia bawa bekal makan kok”

“Iya Mbak”

Sampai di depan bangsal bertuliskan “Ruang Teladan” Lia menghentikan langkahnya, Desi ikut berhenti disampingnya. Lia nampak ragu mau melangkah ke dalam bangsal itu. Dia menghela nafas sejenak. Lalu digandengnya Desi untuk ikut masuk. Di dalam tidak ada siapapun. Lia menaruh tas berisi bekal makanan di meja sebelah tempat tidur. Dia lalu berjalan keluar lewat pintu samping. Desi Cuma ngikut saja. Sampai di teras samping bangsal itu, terlihat Bu Mahmudi sedang duduk bersama Pak mahmudi. Melihat dua anak gadisnya muncul, Bu Mahmudi tersenyum dan beranjak menghampiri mereka.

“Kene nduk, duduk sini nemenin Bapakmu” Katanya.

Desi duduk disebelah Bapaknya. Dia lihat Bapak semakin kurus. Bapak tidak menanggapi kehadiran anaknya. Desi Cuma memandangnya saja tak tahu harus berkata apa.

Tiba-tiba Bapak bersuara, “Kamu siapa?”

Desi kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Dia menengok ibu dan Lia yang ternyata sudah masuk ke dalam.

“Niki Desi Pak, kok Bapak lupa sama anak sendiri?” Desi menjawab dengan bingung.

“Oh, kamu anakku tho? Kamu kelas berapa?” Pak Mahmudi tanpa senyum menyahut jawaban Desi.

“Kelas 4 Pak” masih dengan bingung Desi menjawab pertanyaan Bapak. Dalam pikirannya banyak bersliweran tanda tanya. Ada apa dengan Bapak, Bapak sakit apa sebenarnya, kenapa Bapak lupa siapa dirinya.

Sebulan sejak Bapak pulang dari Rumah Sakit, Desi sudah tidak pernah bertanya lagi tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Bapaknya. Dia tetap menjadi Desi kecil yang ceria. Dia hanya tahu bahwa sebulan sekali Bapaknya harus berobat ke Rumah Sakit dan minum berbagai obat dengan rutin. Dan sejak rutin minum obat Bapak tidak pernah jatuh lagi, Desi tak pernah dengan suara aneh itu lagi. Ingatan Bapak sudah mulai pulih meski ada beberapa hal yang kadang membuat Bapak bingung. Ibu juga melanjutkan kegiatan dagangnya lagi. Semua berjalan normal dalam penglihatan Desi.

4 tahun telah berlalu sejak Pak Muhdi opname itu, Jana sudah menemukan jodohnya, menikah dan tinggal terpisah bersama suaminya, Lia sudah kuliah dan Desi kecil sudah menjadi remaja. Ibu masih setia berjualan, bahkan lebih giat karena biaya sekolah Lia dan Desi harus dipenuhi dari hasil jualannya. Bapak tak pernah jatuh lagi karena rutin minum obat dari rumah sakit. Tiap bulan Ibu mengantar Bapak untuk kontrol ke RSUP Dr, Kariadi. Obat yang diminum Bapak bukannya berkurang tapi malah tambah jenisnya. Desi sudah tahu apa penyakit Bapak karena tetangga banyak bergunjing tentang itu dan usianya yang beranjak remaja membuat dia semakin paham kondisi bapaknya. Ya, Desi tahu kalau bapaknya adalah penderita epilepsi. Itulah kenapa sewaktu dulu belum rutin berobat Bapak sering jatuh dan kejang. Desi bahkan beberapa kali harus menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Tak bisa digambarkan bagaimana trauma yang dia alami setiap kali mendengar suara erangan ketika bapaknya jatuh, lalu kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan buih. Desi pasti menangis melihatnya. Dia ingin menolong tapi tak punya kekuatan untuk bergerak karena rasa takut yang luar biasa. Dan dia menjadi semakin menjauhi bapaknya karena gunjingan tetangga yang sering dia dengar.

“Tuh, ayannya Pak Muhdi lagi kumat, jangan dekat-dekat nanti ketularan” begitu sering Desi dengar dari tetangga.

Tadinya Desi tidak begitu terpengaruh dengan omongan mereka karena masih polos. Tapi semakin tambah umur dia jadi minder dan malu bila bapaknya kumat di depan umum. Apalagi sikap Jana dan Lia yang jadi anak pemalu dan minder dalam bergaul di kampung membuat Desi punya anggapan bahwa mereka memang memalukan karena punya bapak yang sakit ayan.

Tapi kini Pak Muhdi sudah sembuh, begitu kata dokter. Selama mau rutin minum obat Bapak tak akan kumat lagi. Hanya pengaruh obat yang terus menerus dikonsumsi telah menjadikan memori Bapak berkurang dan cenderung menjadi lebih mudah bingung.

Meskipun Pak Muhdi tak pernah kumat lagi, namun tetangga masih juga memberi cap “ayan”, nama lain penyakit epilepsi di kampung. Desi harus terbiasa mendengar kata itu meskipun setiap kali mendengarnya serasa hatinya diiris-iris, ngilu. Trauma yang terjadi selama dia kecil dan kondisi lingkungan sekitar yang cenderung mengejek membuat Desi tumbuh jadi gadis yang kurang percaya diri. Sebenarnya dia gadis yang manis, ceria dan pintar. Di sekolah dia selalu berada di peringkat pertama ketika pembagian raport. Namun keadaan membuat dia jadi minder dan tertutup.

Dilandasi trauma dan rasa ingin tahu tentang penyakit bapaknya membuat Desi mencari informasi sendiri tentang apa itu epilepsi, bagaimana bentuk serangan penyakitnya dan cara penanggulannya. Desi jadi tahu bahwa epilepsi adalah penyakit yang menyerang sel-sel saraf otak yang menyebabkan penderitanya mengalami kejang secara berulang. Ketika serangan kejang datang penderita biasanya jatuh dan tubuhnya kejang serta keluar buih dari mulutnya. Penyakit ini bisa sangat mematikan jika tidak ditamgani secara medis dengan benar karena serangan akan datang tiba-tiba tanpa ada gejala sebelumnya. Pemicu serangan bisa apa saja, kepanasan, kecapekan, terlalu banyak berpikir.

Desi merangkum semua pengetahuan tentang epilepsi dalam memorinya. Meskipun bapaknya tak lagi pernah jatuh karena epilepsi, Desi masih bisa merasakan dampak dari penyakit ini baik untuk bapaknya atau anggota keluarga lainnya.

“Des, serius amat baca bukunya?” suara Rina teman sebangku Desi mengejutkannya di perpustakaan sekolah siang itu. “Baca apa sih?”

“Lagi baca-baca saja, Rin. Ada apa kamu nyusul aku kesini? tumben, biasanya kamu paling gak mau tak ajak kesini”, Desi menjawab sembari menutupi buku tentang penyakit epilepsi dari pandangan Rina. Dia takut terkucil jika teman-teman sekelasnya tahu penyakit bapaknya.

“Yee, masak kamu aja yang boleh pinter?” Rina menyahut sambil memencet hidung Desi.

“Tapi kamu bener ding, aku mrene ora arep moco buku, Aku mau curhat sama kamu, hehe..”

“Hush, ojo banter-banter kalo bicara, ini perpus bukan kafe” Desi menaruh telunjuknya ke bibir Rina.”Ayo, ke taman saja”

Sesampai di taman sekolah, Desi dan Rina duduk di bangku di bawah pohon mangga. Rina menyodorkan aneka snack yang sudah dia bawa.

“Nih, sambil ngemil dengerin ceritaku ben kamu rodho lemu, hehe” Desi memonyongkan bibirnya mendengar celoteh Rina. Tapi diambilnya juga snack di tangan Rina.

Dia asyik ngemil sambil terus mendengarkan curhatan sahabatnya itu.

“Des, aku tuh bete di rumah.”

“Kenapa emangnya?” dilihatnya Rina yang wajahnya jadi muram.

“Sudah 2 bulan ini Mbak Arum tuh sakit-sakitan. Entah sakit apa, tapi mama sama papa jadi sibuk dan perhatian banget sama dia. Aku jadi sering sendirian karena Mbak Arum harus bolak balik ke Rumah sakit” Rina mulai bercerita dengan serius.

“Emang sakitnya Mbak Arum gimana sih?” tanya Desi.

“Aku gak tau, tiap kali nanya Cuma dijawab Mama sakit kepala. Yang aku tau 2 bulan yang lalu Mbak Arum diantar pulang oleh guru SMA nya, katanya jatuh disekolah. Dan sejak waktu itu Mbak Arum memang jadi sering jatuh dan kejang. Dia sudah sering tidak berangkat sekolah.” Rina menjelaskan kondisi Mbaknya kepada Desi yang tiba-tiba menghentikan makannya dan terlihat terkejut.

Pikiran Desi melayang kepada bapaknya, jangan-jangan Mbak Arum juga terkena...., ah tak mungkin, tak mungkin, Desi menepis pikirannya sendiri.

“Des, kok malah melamun sih?” suara Rina menyadarkan Desi dari lamunannya.

“Eh, enggak kok, Cuma ikut prihatin saja dengan ceritamu, terus sekarang Mbak Arum berobat kemana Rin?”

“Ke Rumah Sakit Kariadi, kata papa Cuma disitu ada dokternya yang bisa ngobatin sakit Mbak Arum”

Sepulang sekolah, Desi masih memikirkan cerita Rina tentang kakaknya. Ah semoga Mbak Arum tak menderita sakit epilepsi seperti bapaknya, begitu doa Desi. Tapi ternyata benar dugaan Desi. Kakaknya Rina memang terkena epilepsi. Rina sudah menceritakan hasil pemeriksaan kakaknya esok harinya. Alhamdulillah Mbak Arum sudah ditangani dengan cepat oleh dokter spesialis saraf sehingga tidak sampai mengalami serangan kejang tiba-tiba. Mbak Arum sudah dioperasi bedah saraf. Dia tidak lagi terkena serangan kejang namun harus minum obat setiap hari dan kemampuan berpikirnya juga menurun. Kata Rina, Mbak Arum kadang suka gak nyambung kalau diajak ngobrol.

Desi dan ibu baru saja selesai sholat subuh ketika bapaknya pulang dari masjid. Pak Muhdi langsung menggedor-gedor pintu depan sambil memanggil-manggil istrinya.

“Bu...Bu, Bapak Sesak, Bu”, suara parau Pak Muhdi terdengar oleh Desi dan Ibunya. Begitu keluar ke ruang tamu, Pak Muhdi sudah terduduk lemas di kursi sambil memegangi dada kirinya. Nafasnya nampak tersengal-sengal. Ibu dan Desi spontan berlari mendekat.

“Kenapa Pak?” Ibu Desi tampak bingung. Desi yang sudah duduk di bangku SMA segera sadar apa yang harus dilakukan. Desi meminta ibunya segera berganti baju untuk membawa Pak Muhdi ke Rumah Sakit. Desi sudah memanggil Taksi. Mereka bertiga segera meluncur ke Rumah sakit. Setiba di IGD (Instalasi Gawat Darurat) dokter dan perawat segera menangani Pak Muhdi. Selang oksigen dipasang di hidung dan alat perekam jantung langsung digunakan untuk mengetahui riwayat penyakit jantung Pak Muhdi. Desi dan ibunya menunggu di luar dengan sedih. Desi sudah memberitahu kakak-kakaknya kalau bapaknya masuk Rumah Sakit. Lia dan Jana akan segera datang katanya. Dokter yang memeriksa keluar ruangan dan memanggil ibu Desi. Kata dokter Pak Muhdi harus opname karena serangan jantung.

Sudah seminggu Pak Muhdi opname. Belum ada perkembangan yang signifikan akan kondisi kesehatannya. Desi dan ibunya bergantian menjaganya. Pagi sampai sore Bu Muhdi yang jaga. Sore hingga pagi Desi yang jaga. Sepulang sekolah Desi langsung ke Rumah Sakit untuk menggantikan ibunya. Meskipun kadang rasa lelah terasa tapi Desi tak mengungkapkannya. Pagi itu Desi sudah sampai di sekolah. Dia baru saja selesai mengerjakan ulangan Bahasa Inggris ketika guru BK memanggilnya keluar. Ternyata ada telepon dari Rumah Sakit kalau Desi harus segera kesana karena bapaknya kritis. Dengan berurai airmata Desi pergi ke Rumah Sakit diantar guru BK. Sesampai di ruangan tempat Pak Muhdi dirawat dilihatnya Mbak Jana dan Mbak Lia sudah disana. Bu Muhdi tampak sedih.

“Bagaimana kondisi bapak, Mbak?” Desi mendekat dan berbisik ke Mbak Jana.

“Tadi kritis, Des. Sekarang sudah stabil tapi Bapak tidur terus tak mau buka mata, sekarang kamu tungguin dulu ya, Ibu, aku sama Lia mau sholat dulu”. Jana, Lia dan Bu Muhdi beranjak menuju mushola di samping ruang perawat. Desi duduk di sisi kanan tempat tidur Pak Muhdi. Dipegangnya kaki bapaknya, dingin sekali. Lalu dipegangnya tangan kanan bapaknya juga dingin. Tiba-tiba Pak Muhdi membuka mata. Desi kaget hingga hampir terjerembab ke belakang. Pak Muhdi memandang Desi lalu berkedip tiga kali. Desi lalu mendekat dan pelan-pelan bertanya, “Pripun, Pak. Bapak mau apa?”. Pak Muhdi Cuma berkedip lagi dan tangan kanannya memegang telapak tangan Desi. Tidak tahu kekuatan darimana tiba-tiba Desi membimbing bapaknya untuk membaca syahadat lalu beristighfar dan takbir.

“Asyhadu ala illa ha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadarasulullah, astaghfirullah, astaghfurullah, Allohu akbar”.

Dengan lancar Pak Muhdi mengikuti arahan Desi. Dan selesai membaca itu tiba-tiba tangan Desi dicengkeram dengan keras hingga Desi kesakitan. Dilihatnya bapaknya menguap sangat lebar ketika tangannya menekan telapak tangan Desi dengan kencang. Setelah itu Desi melihat Bapaknya tertidur lagi, Tenang. Diam. Desi tak sadar jika telapak tangannya sudah dilepaskan. Desi memandang wajah bapaknya yang terlihat tenang dan damai. Lalu dia baru tersadar. Jangan...jangan Bapak, dan dia langsung teriak memanggil perawat. Perawat datang memeriksa nadi dan dada Pak Muhdi. Lalu memanggil Dokter. Desi diminta menjauh. Desi cuma bisa menangis melihat dokter dan perawat melakukan resusitasi. Desi sudah sadar bapaknya telah pergi untuk selamanya. Dia baru menyadari jika tadi dia menyaksikan sakaratul maut. Ibu dan 2 kakaknya telah berdiri disampingnya.

“Bapak kenapa, Des?”, tanya Mbak Jana.

“Bapak sudah meninggal, Mbak”, tangis Desi pecah disusul tangisan ibu dan 2 kakaknya. Dokter mendekat dan memberitahu bahwa Pak Muhdi sudah meninggal. Perawat menutupi tubuh Pak Muhdi dengan selimut. Selamat jalan, Bapak, terima kasih sudah berpamitan dengan Desi tadi, kata Desi pelan sambil memandangi tubuh yang sudah tertutup rapat itu. (Tamat).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post