Abadi
Malam lebaran
Bulan di atas kuburan
Itulah puisi singkat karya Sitor Situmorang yang disampaikan oleh beliau Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd., di awal perkuliahan sastra sekitar tahun 2006. Masih lekat dalam ingatan tentang salah satu sastrawan terbaik yang dimiliki Universitas Sebelas Maret Surakarta atau yang sering disebut dengan UNS yang bergaya nyentrik memakai topi biru kebanggannya. Sekilas memang beliau tampak berbeda dengan dosen-dosen lain yang biasanya selalu rapi. Tetapi begitulah Pak Yant yang berpenampilan sangat santai, selalu tersenyum pada semua mahasiswa dan yang pasti sangat mahir dalam berpuisi.
Pagi itu beliau masuk dengan senyum khasnya. Menyapa mahasiswa yang hampir tak pernah absen ketika jadwal mata kuliah sastra. Sebagai pembuka puisi karya Sitor Situmorang tersebut beliau sampaikan agar mahasiswa bisa mengomentari puisi yang agak aneh di telinga. Yahya yang menjadi ketua tingkat berkomentar bahwa puisi tersebut menceritakan kesedihan yang dialami seseorang pada malam lebaran. Si penulis seolah-olah merasakan kerinduan yang mendalam pada orang yang telah tiada pada malam lebaran. Pak Yant mengucapkan terima kasih atas komentar dari Yahya.
Selanjutnya, komentar dari Tutik tentang malam lebaran yang berarti malam 1 Syawal dalam perhitungan kalender islam atau tahun hijriyah itu bukankah bulan baru saja 'lahir' sebagai tanda umat muslim mengakhiri ibadah puasa dan menyambut hari raya Idul Fitri esok harinya. Bisa jadi ini penggambaran dari Sitor Situmorang tentang indahnya takbir pada malam hari menyambut kelahiran kembali di hari yang fitri.
Dua komentar itu segera ditanggapi oleh Pak Yant. Puisi singkat karya Sitor Situmorang ini memang pernah membuat perdebatan para sastrawan dan menjadi sebuah kontroversi yang dinilai terlalu memaksakan dengan hadirnya bulan pada malam lebaran. Tetapi yang namanya sebuah seni itu ada unsur kebebasan dalam mencipta, termasuk kebebasan dalam memilih rangkaian kata dalam puisi yang dibuatnya. Sambil tersenyum beliau akhirnya bercerita tentang akhir dari perdebatan tentang puisi karya Sitor Situmorang tersebut.
Ternyata Sitor terinspirasi dari sebuah pemandangan yang dia lihat saat perjalanan pulang dari rumah seorang rekannya. Malam itu adalah malam lebaran, terdengar suara takbir berkumandang dari berbagai penjuru. Ketika ia berhenti sejenak, ia melihat kuburan. "Ya sesederhana itulah seseorang mampu membuat karya dari apa yang didengar dan dilihat" ucap Pak Yant. Dalam sastra kita diberi kebebasan untuk berekspresi.
Tak berselang lama, Pak Yant mengeluarkan secarik kertas yang dibawanya. Mahasiswa masih diam mengamati dan mendengarkan yang akan beliau sampaikan. Dengan suara lantang beliau mulai membaca bait demi bait sebuah puisi. Ini adalah sebuah puisi yang saya buat saat perjalanan dari rumah sampai ke kampus. Inspirasi untuk membuat puisi terkadang bisa hadir kapan saja dan di mana saja.
Kalimat beliau masih selalu teringat di kepalaku hingga sekarang. Banyak karya Pak Yant yang bisa kita nikmati termasuk sebagai bahan ajar Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan SMA. Meski kini ragamu telah tiada akan tetapi ilmu yang kau berikan dan karya-karyamu tetap abadi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasan yang sangat menawan. Karya Pak Yant akan tetap abadi. Keren.
Terima kasih Bu Lastri