Laili Kartikasari, S.Pd.

Seorang guru yang masih belajar menorehkan kenangan dalam wujud tulisan....

Selengkapnya
Navigasi Web
Pulang

Pulang

Pulang

Oleh: Laili Kartikasari

Hari itu, Senin 2 Maret 2020 tampak keriuhan seperti biasa mewarnai sebuah SMK swasta di Kota Salatiga. Ribuan murid yang mayoritas laki-laki mulai berjalan menyusuri pintu gerbang, lorong bengkel, dan menuju kelas masing-masing. Guru-guru sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti apel pagi dan kegiatan pembelajaran di kelas sambil sesekali sibuk bercerita tentang kegiatan liburan pada hari Minggu. Ada yang tertawa dan saling sapa dengan guru yang baru saja sampai di ruang guru.

Pak Achmad yang baru masuk ruang guru tampak tersenyum menyapaku yang hanya duduk karena memang aku belum bisa berjalan dengan baik setelah kecelakaan yang terjadi minggu lalu. Dia tampak sumringah dan bertanya "Pripun, kondisi njenengan Bu?" "Alhamdulillah sudah mulai membaik Pak", jawabku singkat karena jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Semua guru mulai menempatkan diri dan berbaris rapi di lapangan. Pak Edy selaku kepala sekolah memimpin pelaksanaan apel pagi ini. Belum sampai apel ditutup, tiba-tiba terdengar bunyi bughhhhh disertai dengan jeritan ibu guru. Aku yang semula hanya duduk di ruang guru mulai terusik dan penasaran dengan suara yang baru saja terdengar. Semua orang tampak berkerumun di lapangan. Netraku menangkap wajah pucat Pak Achmad yang sekarang badannya lunglai tanpa tenaga dibawa oleh rekan guru menuju mobil. Pak Supri sebagai sopir itu dengan gesit melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat.

Wajah panik masih tampak dari semua guru tetapi tetap harus masuk ke kelas untuk menenangkan siswa yang melihat kejadian apel tadi dan memulai proses pembelajaran. Aku pun dengan hari-hati berjalan menuju kelas XII Multimedia untuk memberikan materi persiapan ujian nasional. Selesai melakukan pembukaan dan presensi, aku diam dan semua siswa tampak hening mendengarkan suara pengumuman dari Waka kesiswaan. Aku merasakan ada firasat tidak baik tentang informasi yang akan disampaikan. Pelan-pelan ku coba mencerna informasi yang disampaikan dengan inti bahwa Pak Achmad meninggal dunia. Seketika tanganku bergetar, mataku terasa perih seakan mendung ini hendak turun menjadi hujan lebat. Namun karena aku masih di kelas berhadapan dengan puluhan siswa maka dengan segenap ketegaran ku coba membuat kondisi siswa tetap tenang. Kegiatan pembelajaran seketika terhenti. Dengan suara lirih aku meminta siswa membaca doa. Tak lama berselang, terdengar bunyi bel yang panjang lalu siswa berhambur ke luar kelas dan bergegas pulang.

Semua guru berkumpul di ruang guru. Sayup-sayup terdengar isakan tangis dari ibu-ibu guru tak terkecuali aku. Pak Achmad sosok rekan kerja yang sangat rajin, humoris, dan menyenangkan. Kami mulai mengajar di SMK ini hampir bersamaan hingga berhasil mengurus proses Pendidikan Profesi Guru yang cukup menguras energi pun bersama. Tapi kini takdir menunjukan kisah yang berbeda. Di usia awal 30 tahun yang masih bisa disebut cukup muda Tuhan telah memanggilnya.

Setelah jenazah dibawa ke rumah duka di Bergas, semua guru dan murid yang tergabung dalam OSIS dan Pramuka juga ikut hadir di acara prosesi pemakanan. Terlihat Mbak Lilik tampak pucat melihat suaminya yang kini pulang terbujur kaku dalam kondisi meninggal. Ku pandangi wajahnya yang memerah dengan air mata tanpa henti. Di sampingnya duduk dua orang gadis kecil berusia 6 dan 1,5 tahun. Azza si sulung tampak berkeliling bersalaman dengan para pelayat yang hadir. Ku usap rambutnya sambil kuucapkan kalimat singkat “Azza jaga ibu dan adik ya, solehah ya nak”, dijawabnya dengan anggukan. Sungguh rasanya aku tak sanggup melihat dua bocah kecil itu kini menjadi anak yatim. Tak ada lagi sosok ayah yang akan mendampinginya tumbuh. Tetapi itulah takdir yang tak bisa ditawar oleh manusia.

Meninggal pada hakikatnya adalah pulang. Kembali pada Dzat yang menciptakan. Kembali pada Pemilik Kehidupan. Tragis memang untuk mereka yang meninggal tanpa aba-aba. Tetapi begitulah kematian menyapa. Mengambil siapa pun yang dikehendaki. Mengambil kehidupan yang sebelumnya dianggap sebagai anugerah. Bagi mereka yang mampu menerima ketetapan dengan baik, meninggal akan dianggap fase alami dalam kehidupan sesungguhnya. Ibarat ruh yang melalui perjalanan dan menempati dimensi yang berbeda. Selamat jalan kawanku. Sudah setahun engkau pergi, tetapi ceritamu tak akan pernah bisa dibuat tamat. Mari kita sayangi sahabat-sahabat kita yang sampai hari ini masih berada di sisi kita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpennya bagus. Sukses selalu. Lanjutkan cerpennya.

19 Apr
Balas

Terima kasih Bu Lastri.

29 Apr

cerpen yang menarik bu

19 Apr
Balas

Terima kasih Pak Sandy

29 Apr
Balas



search

New Post