Sepasang Sepatu Merah Muda
“Pak dhe Mat, ini kok ada sepatu di kuburan ya? Kayake kok sepatu baru” Kata Pak Amin penjaga makam Girimulyo itu kepada rekannya saat mencabut rumput yang mulai tumbuh tinggi di sekitar pemakaman. Benar saja, tampak sepasang sepatu baru berwarna merah muda itu diletakkan rapi di dekat makam dengan batu nisan bertuliskan Valentina Ayu Wikani. Sebuah makam yang masih tampak baru dan terawat. “Itu makam anak tunggal Pak Winarto dan almarhumah Bu Kani yang meninggal tahun kemarin karena kecelakaan Min”, jawab Pak Mamat.
Pak winarto pria berusia 53 tahun yang tinggal di rumah sangat sederhana di ujung jalan Kampung Rambutan. Pria paruh baya itu kini tinggal seorang diri setelah ditinggalkan putri satu-satunya pada Desember tahun kemarin. Masih jelas terlihat raut kesedihan pada wajah yang tak lagi muda. Seperti sebuah mimpi ketika hidupnya diliputi jutaan kebahagiaan ketika sang istri dinyatakan positif hamil setelah 18 tahun usia pernikahan. Bukan usia yang produktif lagi memang jika seorang wanita yang hamil di usia lebih dari 40 tahun. Tetapi Bu Kani tetap bersemangat untuk hamil dan melahirkan buah hati yang telah sangat lama dinantikan.
Hari yang dinanti pun tiba. Harapan untuk bahagia dengan keluarganya musnah seketika saat dokter tak berhasil menyelamatkan nyawa Bu Kani karena pendarahan hebat yang dialaminya. Seperti itulah takdir, manusia hanya sebagai pemain yang bisa sebaik mungkin memerankan kisahnya. Dengan sekuat tenaga Pak Winarto membesarkan gadis kecil yang diberi nama Valentina Ayu Wikani bertepatan pada perayaan Valentin atau hari kasih sayang sesuai keinginan sang istri.
Valen tumbuh menjadi gadis cantik, aktif, dan menggemaskan. Jungkir balik Pak Winarto membesarkan gadis kecil itu dengan menjadi penjual cimol di depan salah satu SD di dekat kecamatan. Tak jarang Valen ikut ayahnya berdagang karena selalu antusias melihat anak-anak SD belajar di kelas dan olahraga di lapangan. “Bapak, Valen kapan sekolah Pak? Aku pengen sekolah” tanyanya saat Pak Winarto sibuk menggoreng adonan cimol. “Sing sabar yo nduk, tahun depan kamu sekolah di TK dulu. Nanti kalau sudah pinter nyanyi, gambar, dan lulus TK baru bisa sekolah di SD” jawab Pak Winarto. “Horeeeeeeee, asikkkkkkk Valen sekolah tahun depan” teriaknya diikuti tepuk tangan khas anak kecil.
Kehidupan bapak dan anak itu semakin memprihatinkan tatkala pandemi melanda dunia termasuk Indonesia. Penghasilan dari dagangan cimol kini merosot tajam karena semua sekolah melakukan pembelajaran secara daring. Sejak pagi hingga sore Pak Winarto berkeliling menjajakan cimol andalannya itu yang terkadang diikuti Valen. Berhenti sebentar atau terkadang mangkal di dekat pasar atau pertokoan. Karena kondisi perekonomian sebagaian besar terdampak pandemi, pemasukan setiap hari pun jadi tak pasti. Bisa untuk sekadar makan sehari saja sudah cukup untuk Pak Winarto dan Valen.
Siang itu di bawah terik matahari, Pak Winarto menghentikan gerobak cimolnya di depan toko material yang kebetulan tutup. Valen terlihat letih. Paham melihat kondisi anaknya yang kelelahan, Pak Winarto meminta Valen untuk merebahkan tubuh kecilnya itu di dipan kosong depan toko. Tak kunjung tidur, justru gadis kecil itu berceloteh cerita banyak hal termasuk tentang teman-teman sebayanya. “Pak, besok Februari kalau Valen ulang tahun belikan sepatu ya Pak, yang warna pink”. Tanpa beban gadis kecil itu meringis dengan mata berbinar ketika meminta dibelikan sepatu pink seperti punya Melly. “Iya nduk, doakan Bapak ya biar punya rezeki lebih untuk membelikanmu sepatu” ucap Pak Winarto sambil mengelus rambut Valen yang dikuncir kuda. Tak berselang lama Valen terlelap.
Setelah lebih dari satu jam tidur, Valen terbangun dan mulai mengerjapkan matanya. Telinganya tertarik mendengar suara khas odong-odong yang begitu keras. “Bapak, Valen mau naik odong-odong Pak”, Valen berteriak sambil berlari menuju jalan raya. “Valennnnn, jangan lari, tunggu Bapak” teriak Pak Winarto yang histeris melihat gadis kecilnya sudah lari berhamburan ke jalan raya. Terlihat dari arah yang berlawanan dengan odong-odong, sebuah truk bermuatan ayam potong melaju dengan kecepatan tinggi oleng dan menghantam odong-odong. Tabrakan tak terhindarkan. Jeritan orang-orang yang berada di sana tak terbendung lagi. Pak Winarto berlari sekuat tenaga, namun takdir berkata lain. Valen jatuh tersungkur di tepi aspal karena terkena bagian depan odong-odong yang berwarna-warni itu. Lelehan air mata Pak Winarto membanjiri pipi keriputnya. Tangannya gemetar memegangi tubuh kecil putrinya yang tak bergerak. Beruntung ada sopir angkot yang lewat dan segera menolong untuk membawa Valen ke puskesmas terdekat. Sayangnya nyawa putri semata mayangnya tak dapat terselamatkan karena benturan keras di kepala Valen.
Pak Winarto diam memandangi tubuh Valen yang terbujur kaku. Rasanya untuk menangis pun sudah tak sanggup. Kini ia hidup sendiri. Harapan untuk melihat Valen tumbuh dewasa tak akan pernah menjadi kenyataan. Hanya untaian doa yang bisa dikirimkan untuk gadis kecilnya yang kini tenang di alam keabadian. Tepat hari ini 14 Februari, setelah subuh Pak Winarto mendatangi makam putrinya membawa sepasang sepatu berwarna merah muda yang menjadi permintaan terakhir. Berharap hatinya lega karena permintaan itu telah terpenuhi meskipun mereka berada di alam yang berbeda.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar