Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Bawang

Anak Bawang

Anak bawang, itu julukan yang selalu melekat padaku. Sejak kecil hingga sekarang predikat anak bawang seolah tak bisa menyingkir dari perasaan ini bahkan di usiaku yang sudah tak muda lagi. Saat ini, pekerjaanku sebagai guru PNS golongan IIIc juga sudah sertifikasi, bahkan pernah menyandang sebagai guru berprestasi tingkat provinsi meskipun peringkat ketiga.

Aku anak ketiga dari empat bersaudara dan anak perempuan satu-satunya. Bapak ibuku petani sayuran di daerah transmigrasi. Sejak kecil ketiga saudaraku selalu berprestasi, sehingga setamat SD mereka dikirim ke rumah Nenek di Yogyakarta dan dengan mudah dapat melanjutkan di sekolah favorit dan kuliah di perguruan tinggi ternama di kota itu. Akan halnya aku, sejak kecil tidak pernah meraih prestasi berarti. Kata Ibu, dulu semasa balita sakit-sakitan, tidak suka sayuran, ikan, daging, apalagi susu. Hal ini, menjadikan pertumbuhan dan perkembanganku tak seperti teman-teman sebaya. Kecil dan lamban. Setiap bermain dengan mereka, dalam semua jenis permainan yang dilakukan bersama, aku hanya menjadi anak bawang. Anggapan untuk anak yang sebenarnya tidak layak ikut namun terpaksa dilibatkan dan tidak berperan apa-apa dalam permainan itu. Dalam permainan kelompok, kesalahanku tak dipermasalahkan dan bila memperoleh nilai tak diperhitungkan. Sedih memang, tapi daripada tidak boleh ikut.

Saat remaja dan duduk di bangku SMA, orang tuaku menyuruh berhenti sekolah karena aku hanya diterima di sekolah swasta yang mahal biayanya. Alasannya karena kedua kakakku sedang membutuhkan banyak biaya untuk kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Ibu selalu mengatakan, anak perempuan nanti mau jadi apa pun tetap harus di dapur. Ibu selalu menasehati agar aku kursus menjahit saja. Pekerjaan yang sangat cocok untuk perempuan dan agar cepat membantu mencari uang untuk biaya kuliah kedua kakakku. Aku sedih karena di rumah pun anggapan anak bawang juga kurasakan. Melihat kesedihanku, Bapak sebagai orang yang paling dekat denganku selalu memotivasi bahwa orang sukses tidak selalu ditentukan oleh ijazah, tapi lebih banyak karena pengalaman, kemampuan, dan kerja keras.

Di tengah kegundahan karena selalu mendengar desakan Ibu agar aku berhenti sekolah, tetanggaku yang tinggal di kota sedang mencari seorang pengasuh anaknya yang berumur tiga tahun. Pekerjaannya paruh waktu atau setengah hari. Aku langsung tertarik dan kedua orang tuaku tak melarang. Yang membuatku lega Pak Hamid, tetanggaku itu memberi kesempatan untuk tetap sekolah, dan kebetulannya lagi ternyata di kota itu ada SMA swasta yang masuk sore.

Di rumah Pak Hamid tinggal juga tiga adiknya yang seusiaku dan kedua kakakku. Aku menjadi anak bawang juga di rumah ini, karena keberadaanku di rumah Pak Hamid tak dianggap ada, juga sering diperlakukan sebagai asisten rumah tangga oleh ketiga adik Pak Hamid. Karena keteguhanku untuk tetap sekolah dan dapat lulus SMA, aku selalu mencoba bertahan. Saat tekanan mendera hati, kuteguhkan hati untuk pantang menyerah. Sering menahan diri menjadikanku tumbuh sebagai orang yang keras hati, mudah tersinggung, dan emosional.

Tamat SMA, aku memutuskan kursus menjahit. Di usia 22 tahun kuputuskan untuk menerima lamaran dari pemuda yang sangat menyayangiku. Nasihat kedua kakakku dan keraguan orangtua tak kuhiraukan. Aku melepaskan masa remaja yang katanya penuh warna dengan sederhana, tanpa pesta. Toh hanya anak bawang. Meskipun demikian aku sangat bangga dan bahagia. Si anak bawang akhirnya menikah dengan pria sempurna yang dipilih Tuhan untukku.

Perlakuan keluarga baruku menjadikanku bagai manusia baru. Kebetulan suamiku anak tunggal. Setelah lahir jagoanku yang pertama, aku diizinkan kuliah untuk mengisi waktu luangku. Kebetulan mertuaku hanya tinggal berdua dan sering mengambil haknya untuk mengasuh anakku. Aku memutuskan mengambil fakultas keguruan di perguruan tinggi swasta yang tak jauh dari tempat tinggalku dan lulus tepat waktu tanpa halangan berarti. Setahun kemudian mencoba tes CPNS dan lulus. Alhamdulillah.

Hari-hari menjadi pengajar di sebuah SMP Negeri membuatku betul-betul berarti. Meskipun guru bukan cita-citaku. Aku berusaha menjadi guru yang bertanggung jawab. Setiap ada pelatihan, kuikuti dengan serius. Bakat terpendamku sejak kecil coba kugali lagi. Ya, aku memang hobi menulis, namun ketika itu tak ada ruang dan waktu yang tersedia. Begitu ada kesempatan, bagai burung lepas dari sangkar, aku merasakan kebebasan berekspresi.

Perasaan dianggap sebagai anak bawang dulu, justru memacuku untuk selalu lebih dari orang lain. Perasaanku menjadi lebih peka. Tak kupungkiri, rasa minder memang sering muncul apalagi saat berhadapan dengan rekan-rekan guru yang pintar dan berpotensi. Dalam kesadaranku bersyukur memiliki perasaan ini karena membuatku selalu ingin menjadi lebih baik namun tetap rendah diri. Kelihatan naif memang tapi itulah anak bawang.

Oleh karena itu, seperti kata Mang Ujang dalam sinetron Dunia Terbalik, “lihat sisi baiknya” ternyata julukan anak bawang tak selalu buruk akibatnya. Semasa remaja perasaan sebagai anak bawang memang membuatku sering pesimis dan minder, tapi kini justru menjadi cambuk untuk selalu maju. Perasaan dianggap sebagai anak bawang dulu dan masih melekat hingga kini tak kukesali, justru kusyukuri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Matur Nuwun Mas, salam literasi

22 Sep
Balas

Mengalir, gurih dan renyah..

22 Sep
Balas



search

New Post