Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Baik atau Jahat?

Baik atau Jahat? Lasmiyati “Anak-anak malam ini ngajinya libur, Abah akan mengadakan musyawarah dengan Bapak-Bapak kalian dan seluruh tokoh masyarakat di Kampung Berbah ini, untuk membahas persiapan Maulid Nabi, kalian boleh pulang atau menunggu Isya, tapi jangan mengganggu dan jangan bermain di kegelapan, paham?” kata Abah Ibrahim, guru mengaji sekaligus pemilik surau. “Mengerti Bah, horeee...” sorak anak-anak berebut menyalami sang guru dan berlarian keluar. Libur mengaji berarti kebebasan buat mereka. Bebas dari sabetan lidi bila tak lancar membaca ayat yang harus dihafalkan, bebas dari gebrakan di meja bila membacanya salah, dan bebas bermain tanpa dimarah orangtua mereka. Sebagian anak menunggu Isya di halaman surau, sambil bermain tekongan, dingklek ongklak-angklek dan jenis permainan anak-anak desa lainnya. Kegembiraan terdengar dari celotehan mereka. Dua anak tampak memilih pulang. Mereka adalah dua sahabat karib, Ahmad dan Zainudin. Kemana pun mereka selalu bersama, baik di madrasah tempat mereka menuntut ilmu maupun bermain sehari-harinya. Bisa dikatakan di mana ada Ahmad di situ ada Zainudin. Mereka berdua murid kesa-yangan Abah Ibrahim. Ketika melewati kebun rambutan milik Abah Ibrahim, tampak buah-buah itu mulai memerah, walau di keremangan malam yang masih menyiratkan jingga di langit. “Mad, lihat rambutan itu!” “Iya..,” kata Ahmad acuh. “Ehh, lihat itu, pasti manis!” kata Udin sambil menyenggol Ahmad. “Heem,” Ahmad masih acuh, bahkan mempercepat langkahnya. “Mad, tunggu dong!” Udin menarik tangan Ahmad, ”Kamu ini kenapa, diajak ngomong kok acuh, sakit gigi ya?” “Aku lapar.. tadi belum sempat makan, karena mainnya kesorean, gara-gara kamu,” “Ya maaf..kamu sih, mencari begitu saja kamu tidak bisa. Eh, kebetulan kita makan rambutan saja yok!” bujuk Udin. “Di mana, kamu punya?” tanya Ahmad bersemangat. “Ya di sini, tuh tinggal ambil,” Udin menunjuk pohon rambutan di depannya. “Semprul.. nggak mau ah, itu mencuri namanya.” “Tidak apa-apalah, nanti kalau rambutan-rambutan ini masak, oleh Abah juga cuma bakalan dibagiin, tidak akan dijual,” “Makanya, aku nggak mau kalau mencuri, itu dosa tahu!” “Aaah, kamu sok suci Mad. Kemarin saja kamu mengambil ikan di kolam Wak Badri... Tidak pake bilang-bilang,” “Tapi sampai rumah aku disemprot Bapak dan dipaksa harus mengembalikan malam itu juga,” “Apa iya?” goda Udin, “Tapi kemarin aku lihat kamu membawa ikan dari rumah Wak Badri.“ “Memang, aku disuruh membawa pulang ikan-ikan itu, karena sudah telanjur mati semua, tapi aku juga dibekali nasehat, nggak boleh mengambil sesuatu tanpa izin yang punya. Itu mencuri.” Nada suara Ahmad meninggi. “Ah, kamu...sekarang begini saja, tolong aku, bantu aku..” bisik Udin “Tolong apa, bantu apa maksudmu?” “Tenaaang, tolong kamu awasi surau itu! Nanti kalau sudah bubar atau ada orang yang akan lewat sini, kamu beri kode. Nanti aku bagi, kamu tinggal makan saja di bawah, gimana?” “Nggak mau, aku takut, kalau bapakku tahu bisa dihajar nanti.” “Heh, aku yang manjat, kalau ada orang, tinggal beri kode, terus lari. Surau itu kan jauh dari sini lagipula sudah mulai gelap nih....” “Hah, terserahlah! Kalau sampai ketahuan, jangan bawa-bawa aku.” Ahmad akhirnya menyerah. “Nah itu baru sahabatku,” Udin menepuk pundak Ahmad dan segera memanjat pohon rambutan dengan lincah. Udin sudah tak tampak, tenggelam di antara rimbunnya daun rambutan, juntaian rambutan yang lebat dan keremangan malam. Di bawah, Ahmad gelisah, matanya tak lepas dari surau. Dari tadi, kulit-kulit rambutan sudah berjatuhan di sekitar tempatnya berdiri. Udin sudah makan rambutan di atas pohon. “Din, bagi dong! Nanti aku tinggalkan lho...” ancam Ahmad, setengah berbisik. “Naik saja, ambil sendiri... jangan takut. Halaman surau itu tampak jelas dari sini!” “Nggak mau ah... aku tidak pintar memanjat, aku kan pendek.” “Ya ampun Mad, dahan rambutan ini rendah-rendah dan berdekatan. Coba saja.. Pegangannya pilih yang dekat agar mudah. Jangan khawatir, biar aku yang mengawasi dari dahan yang tinggi ini.” Ahmad terpengaruh kata-kata Udin, ia mencoba untuk mulai memanjat. Dengan susah payah akhirnya dapat juga ia mencapai dahan, tetapi di dahan tersebut, buah rambutan tersebut tidak terlihat, mana yang telah masak atau masih muda, karena berbaur dengan bayangan rimbunnya dedaunan dan remang-remangnya malam. “Din, mana yang masak?” kata Ahmad gemetar bercampur khawatir. “Naiklah sedikit lagi, pasti lebih terang!” “Tapi aku takut...Sudahlah aku turun saja.” “Ya ampun Maad, sebelah kanan kamu itu kan lebih terang, paling satu cabang lagi, naiklah!” “Iya ya... jangan berisik dong!” Ahmad mencoba menggapai dahan di atasnya dan berhasil. Belum sempat Ahmad memetik satu rambutan pun, tiba-tiba.... “Gawat Mad, ada orang menuju kesini. Cepat turun!” perintah Udin. “Tapi aku belum ambil satu pun, jangan nakutin dong!” Ahmad gugup, suaranya gemetar. “Sudah, cepetan turun...!” Dengan lincah dan tergesa-gesa, Udin turun. Lalu lari di kegelapan malam. “Hoi... siapa itu? Jangan lari!” teriak Wak Badri, “Pencuri...” Mendengar teriakan, orang-orang yang menunggu Isya di halaman surau berlarian menuju sumber suara. Ahmad yang masih ada di atas pohon, sangat ketakutan. Ia mencoba untuk dapat turun secepat-nya sebelum orang-orang itu sampai. Namun karena pijakannya tidak tepat dan pegangannya tidak kuat, akhirnya bruuk “Aduuh” Ahmad jatuh, tulang keringnya membentur akar rambutan yang banyak menonjol keluar. Ahmad merasakan sakit yang amat sangat di kaki kanannya. “Ada apa Wak Badri...?” tanya salah seorang yang datang dan membawa senter. “Ini ada pencuri rambutannya Abah,” kata Wak Badri menunjuk pada Ahmad yang meringkuk kesakitan. ”Dia jatuh setelah saya teriaki,” tambahnya. Beberapa lampu senter diarahkan pada anak yang sedang meringkuk sambil memegangi kaki kanannya. Abah Ibrahim berusaha mendekat, beberapa orang menyingkir mundur memberi tempat. “Astaghfirullah, Ahmad ada apa ini?” tanya Abah Ibrahim. “Dia jatuh dari atas pohon, mencuri rambutannya Abah, lihat kulitnya banyak sekali dan tampak masih baru, jadi tak mungkin ini sisa kelelawar kemarin,” tuduh Wak Badri. “Betul itu Ahmad?” selidik Abah Ibrahim. “Saya me...memang memanjat Abah. Tapi bu.. bukan saya yang makan, ta..tapi...si...” “Siapa? Badri, tadi ada orang lain bersamanya?” nada suara Abah Ibrahim mulai meninggi. “Saya tidak melihat siapa pun selain Ahmad ini, Bah. Kamu ini lho, baru kemarin mencuri ikan di empang saya dan berjanji tidak akan pernah mencuri lagi, rasanya belum kering bibir ini menasehati-mu.” kata Wak Badri bohong karena sebenarnya tadi ia sekilas melihat kelebatan orang berlari, makanya berteriak pencuri. “Mad...Mad dengan mencuri saja kamu berdosa, jangan kamu tambah dengan memfitnah, itu dosanya lebih besar dari pada membunuh. Kalau kamu ingin makan rambutan, mengapa tidak minta ke Abah, pasti boleh. Lagi pula kalau kamu sabar, nantinya kalau sudah masak semua juga akan Abah bagi. Abah kecewa, kamu ini murid kesayanganku, tapi mengapa seperti ini kelakuanmu. Pak Ismail, itu anaknya segera dibawa pulang! Kelihatannya kesakitan, coba diurutkan siapa tahu keseleo,” kata Abah Ibrahim kepada ayahnya Ahmad yang dari tadi diam saja menahan malu dan amarahnya. Pak Ismail segera mendekati Ahmad dan menariknya agar berdiri. “Ayo pulang, membuat malu saja!” kata Pak Ismail geram. Dengan menahan sakit, Ahmad terseok-seok mengikuti ayahnya dari belakang. Sesampai di rumah, Pak Ismail marah besar. Diambilnya sepotong rotan dan dicambukkannya berkali-kali ke pantat Ahmad, sambil tak henti-hentinya memarahinya. Tanpa menghiraukan Ahmad yang mengiba-iba kesakitan. Ibunya yang berusaha menghalangi tak luput dari kemarahannya. Setelah kejadian malam itu, Ahmad dilarang keluar rumah. Kondisinya cukup memprihatinkan, ketika diurut oleh dukun ternyata tulang kering Ahmad retak dan kemungkinan ada pendarahan di dalam. Karenanya jadi bengkak dan menghitam. Ibunya ingin membawanya ke mantri atau ke dukun khusus patah tulang, namun ayahnya tak mengizinkan.”Nanti juga sembuh sendiri, kan masih anak-anak,“ Hari-hari Ahmad dihabiskan di rumah. Tak satu pun temannya menjenguk, termasuk Udin. Setelah seminggu di rumah, Ahmad mulai pergi ke madrasah meskipun jalannya masih pincang. Ternyata di madrasah teman-temannya menjauhi. Kalau dia mendekati kerumunan temannya, mereka segera bubar dan menghindar. Demikian juga bila di surau, teman-temannya pun mengasingkannya. Mereka dilarang orangtuanya berkawan dengan Ahmad, bisa ketularan menjadi pencuri, katanya. Karena kasihan, akhirnya ibunya memutuskan untuk menitipkan ke rumah neneknya yang tinggal di desa lain sekaligus pindah sekolah. Ahmad tak punya pilihan. Sebelum pergi, Ahmad meminta kepada ibunya mengantarkan ke rumah Abah Ibrahim untuk berpamitan sekaligus meminta maaf. Abah Ibrahim banyak menasehatinya, agar tidak pernah mengulangi perbuatannya, dan selalu berusaha untuk berbuat baik di mana pun ia berada. Ahmad menangis sambil mencium tangan Abah Ibrahim. Ahmad sangat disayangi oleh neneknya karena ia cucu laki-laki satu-satunya, dari anak semata wayangnya yaitu ibunya Ahmad. Di sekolah barunya, Ahmad tak punya banyak teman, ia tertutup dan suka menyendiri. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Ahmad tak dapat berjalan normal, karena kakinya pincang. Ia menjadi minder dan mudah tersinggung. Ia sering terlibat perkelahian hanya karena kesalahpahaman. Setelah neneknya meninggal, Ahmad memutuskan tidak akan kembali ke kampung halaman yang telah menggoreskan kisah pilu dalam hidupnya. Ayah dan ibunya pun menyuruhnya merawat rumah dan kebun peninggalan neneknya. Karena kurang perhatian dan tak ada pengawasan serta kurang kasih sayang, akhirnya Ahmad salah dalam bergaul. Dia lebih suka nongkrong-nongkrong di terminal pasar. Dia menjadi bosnya tukang parkir di terminal tersebut. Namun ia cukup bijaksana, semua anak buahnya diperlakukan dengan adil. Bahkan tak jarang, Ahmad mengalah demi anak buahnya. Rumah peninggalan neneknya dijadikan markas untuk anak buahnya. Mereka bebas keluar masuk di rumah tersebut. Bahkan dia mengajak dua anak gelandangan yang tidak punya kerabat tinggal bersamanya. Mereka disekolahkan dan dibiayai kebutuhan hidupnya. Sebagai imbalannya mereka harus mengurus rumah dan menyiapkan kebutuhan Ahmad. Mereka berdua sangat hormat pada Ahmad. Suatu hari, terjadi perkelahian di terminal pasar tersebut, antara tukang parkir dan pemilik mobil yang menyenggol mobil lain karena salah mundur. Ahmad berusaha melerai namun justru terlibat dalam perkelahian tersebut. Naas baginya, karena ketika Ahmad mendorong pemilik mobil, orang tersebut terjatuh, kepala bagian belakangnya membentur pagar pembatas taman dan meninggal. Sebagai akibatnya Ahmad dipenjara 15 tahun penjara. Di tahanan dia menempati satu ruangan bersama dengan penjahat-penjahat yang rata-rata karena kasus-kasus pembunuhan dan pemerkosaan. Awalnya Ahmad merasa ciut dan selalu menjadi bulan-bulanan penghuni sel tersebut. Ahmad dijuluki si Deglok, karena jalannya pincang. Mulanya dia tidak terima dan sakit hati, namun lama-lama dia dapat juga menyesuaikan. Walaupun tinggal di balik dinding penjara, Ahmad tak tinggal diam. Ketika kedua anak angkat-nya berkunjung, dia menitipkan surat agar diserahkan pada penggarap sawah peninggalan neneknya, yang isinya meminta bagi hasil sawahnya untuk membiayai mereka. Dia juga berpesan untuk memanfa-atkan hasil kebun yang tak seberapa di belakang rumahnya sebaik mungkin, tidak boleh boros, harus selalu rukun, rajin belajar dan jangan sampai putus sekolah. Keduanya semakin hormat pada Ahmad. Melihat sikap dan sifat Ahmad yang bersahaja, sebagian besar penghuni penjara itu menjadi segan padanya, termasuk petugas dan sipir. Berkat kefasihannya dalam membaca ayat-ayat Suci Alquran, Ahmad sering disuruh mengajar mengaji oleh sesama tahanan. Dia juga sering diminta menjadi imam saat salat fardhu dan salat Jumat. Panggilannya berganti menjadi Mad Deglok. Ahmad tak mempersoal-kan hal itu, apalah arti sebuah panggilan, batinnya. Di penjara itu, ada acara rutin siraman rohani yang diselenggarakan untuk memberi pencerahan pada penghuninya. Yang datang kali ini seorang ustad muda yang sudah terkenal di kota tersebut. Ustad Zainudin namanya. Orangnya ramah, berwibawa, dan tampan. Seluruh penghuni lapas dikumpulkan di sebuah aula, dengan pengawalan para sipir di dalam maupun di luar aula. Termasuk Mad Deglok yang kini penampilannya menyeramkan, memiliki jambang dan kumis tebal, sorot mata tajam dan berjalannya pincang. Ketika dia memasuki aula itu, para tahanan langsung mengelu-elukannya. “Hidup Mad Deglok...Hidup Mad Deglok.” Para sipir memberi perintah untuk diam, tapi tetap saja mereka berteriak-teriak. Namun ketika Mad Deglok memberi isyarat, mereka spontan langsung diam. Saat memberikan wejangan, Ustad Zai, begitu ia biasa disapa, sangat bersemangat karena dili-hatnya seluruh penghuni penjara tampak antusias dan tekun mendengarkannya. Di sesi terakhir, Ustad Zai memberi kesempatan bertanya jawab. Saat dilihatnya tak ada satu pun hadirin yang mengajukan pertanyaan, Mad Deglok pun berdiri. Para tahanan segera mengelu-elukan-nya kembali, “hidup Mad Deglok...hidup Mad Deglok,” suasana yang tadinya tenang itu menjadi riuh. Mad Deglok memberi isyarat dengan tangang untuk diam. Dan mulailah dia berbicara. “Maaf Pak Ustad, saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya orang yang menjadi pendosa, namun sebenarnya berawal dari kesalahan orang lain, dan akhirnya menjadi pelaku pembunuhan dengan tidak sengaja,” kata Mad Deglok dengan lantangnya. “Maksud Saudara bagaimana? Coba jelaskan lebih mendetail!” pinta Ustad Zai penasaran. “ Ayo katakan Mad Deglok, hidup Mad Deglok...hidup Mad Deglok.” Suasana kembali riuh, dan kembali Mad Deglok memberi isyarat agar diam. “Begini, Ustad. Saya tersangka pelaku pembunuhan, dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tapi sebenarnya pembunuhan itu sama sekali tidak saya sengaja. Saya hanya melerai. Tapi biarlah, kare-na kekhilafan saya telah menyebabkan nyawa orang melayang, saya ikhlas menjalaninya. Tapi bagai-mana dengan orang yang telah dengan sengaja mengajak pada perbuatan dosa, tapi karena orang tersebut lebih beruntung, dia tidak menanggung akibat dari perbuatannya. Sedangkan orang yang diajaknya harus menanggung akibatnya seumur hidup.” ujar Mad Deglok panjang lebar. “Bapak Mad.. siapa tadi...? Sebaiknya kita jangan membiasakan diri menyapa orang lain dengan sapaan yang buruk,” kata Ustad sabar. “Mad Deglok, Ustad. Tak apalah, kenyataannya kaki saya memang tak sempurna dan jalan saya pincang. Ini adalah kenang-kenangan yang tak akan saya lupakan seumur hidup saya, karena mudah tergiur dengan bujukan teman saya untuk diajak mencuri.” “Begini Pak... dan Hadirin yang saya hormati, Allah mencatat amalan hambanya dari mulai niat, baik itu niat jahat atau niat baik. Bila niatnya jahat, tapi tidak jadi dilakukan, maka catatan tadi akan dihapus. Namun bila niat tadi dilanjutkan catatannya berlipat ganda. Dan orang yang mengajak berbuat baik, pahalanya akan berlipat ganda dibandingkan dengan yang diajak,” Ustad Zai diam sebentar menga-mati orang–orang yang serius mendengarkan ceramahnya.” Yang terpenting adalah, bila kita telah mela-kukan dosa, segeralah memohon ampun kepada Allah SWT, berjanji tidak melakukannya lagi. Allah itu Maha Pengampun, Saudara-Saudara. Namun bila kita bersalah kepada sesama manusia, Allah baru akan mengampuninya bila telah meminta maaf pada orang tersebut. Waulahualam.” lanjutnya berwibawa. “Terima kasih Ustad, saya menjadi tenang, setidaknya dosa saya lebih kecil dibandingkan dosa orang yang telah menyebabkan kaki saya ini menjadi pincang dan akhirnya menjadi pembunuh.” Mad Deglok menerawang masa lalunya yang menyakitkan. “Wah.. kisah hidup Saudara betul-betul menarik, celakalah orang yang telah menyebabkan nasib Saudara harus tinggal di penjara ini untuk waktu yang tidak sebentar. Saya kagum karena Saudara bisa ikhlas menerima dan menjalaninya. Saudara orang yang baik dan memiliki bekal agama yang kuat. Bila berkenan, maukah menceritakan, siapa Saudara, dari mana, apa yang terjadi dengan kaki Saudara, dan kalau boleh tahu, ini yang penting, maukah Saudara menyebutkan nama teman Saudara yang telah me-nyebabkan semua ini, siapa tahu dia mau minta maaf kepada Saudara. Nanti kalau saya ada kesempatan berkeliling dan kebetulan singgah di daerah Saudara, saya bisa menyampaikannya,” pinta Ustad Zai. “Tak perlu Ustad, saya sudah ikhlas menjalani, semua saya anggap sebagai takdir yang harus saya terima. Saya sudah mengubur dalam semua. Saya tidak mau mengingat-ingatnya lagi. Itu ibarat membuka lagi luka yang sudah sembuh. Jadi tak perlu Pak Ustad,” jawab Mad Deglok hormat. “Tapi setidaknya, Saudara tidak membiarkan orang di luar sana bersalah kepada Saudara seumur hidupnya, tanpa pernah bisa meminta maaf. Selain itu bisa menjadi pembelajaran pada kita di sini. Betul Saudara-Saudara?” tanya Ustad Zai pada hadirin. “Benar Ustad, katakan Mad Deglok pada kami, kurang ajar betul itu orang, nanti kalau aku bebas duluan biar ku cari lalu ku seret kesini, agar dia minta maaf padamu.” kata seorang tahanan yang lebih tua namun masih sangar dan kekar. “Betul Mad Deglok, Hidup Mad Deglok... katakan pada kami, siapa dia dan dari wilayah siapa? Biar nanti anak buah saya yang mencari.” sahut yang lain. Mad Deglok kembali memberi isyarat untuk diam. “Baiklah saya akan bercerita, tapi mohon diam, saya minta izin bercerita, boleh Ustad!” katanya hormat. Ustad tersenyum mengangguk. Dengan terlebih dahulu menghormat dan mengambil nafas panjang, mulailah Mad Deglok bercerita, ”Saya dulu tinggal di Kampung Berbah. Saya memiliki seorang guru mengaji yang sangat saya hormati, namanya Abah Ibrahim.” Mad Deglok melanjutkan ceritanya dengan tenang. Saat mendengarkan cerita Mad Deglok, tampak beberapa kali Ustad Zai mengernyitkan kening-nya, beberapa kali terlihat perubahan raut mukanya, berkali-kali ia tampak menyeka keringat yang terus bercucuran dengan kain sorbannya. Mad Deglok yang terus bercerita tak lagi didengarnya. Pandangannya berkunang-kunang dan mulai memudar. Akhirnya pingsan. Suasana menjadi riuh, banyak yang berdiri dan bertanya-tanya ada apa, mengapa Ustad Zai mendadak pingsan, dan tampak begitu pucat. Ustad Zai segera dibawa ke ruang kesehatan. Tak ada satu pun yang mengetahui penyebab pingsannya Ustad Zai, kecuali Mad Deglok alias Ahmad, teman masa kecil dari Zainudin alias Ustad Zai. Namun Mad Deglog diam seribu bahasa. Sebulan kemudian, Mad Deglok dibebaskan dengan bersyarat. Ada orang yang menjaminnya. Keluarga korban pun sudah mencabut tuntutannya. Selain itu dia dinilai selalu berperilaku baik selama menjalani hukumannya. Setelah bebas, Ahmad tidak mau lagi menjadi tukang parkir. Dia memilih menjadi petani, dan mengajar mengaji anak-anak dari teman lamanya di terminal. Dia menikah dengan gadis pilihannya, hidup bahagia dan tetap mengasuh dua anak angkatnya. Pelatihan SAGUSABU BUNGO Baik atau Jahat? Lasmiyati “Anak-anak malam ini ngajinya libur, Abah akan mengadakan musyawarah dengan Bapak-Bapak kalian dan seluruh tokoh masyarakat di Kampung Berbah ini, untuk membahas persiapan Maulid Nabi, kalian boleh pulang atau menunggu Isya, tapi jangan mengganggu dan jangan bermain di kegelapan, paham?” kata Abah Ibrahim, guru mengaji sekaligus pemilik surau. “Mengerti Bah, horeee...” sorak anak-anak berebut menyalami sang guru dan berlarian keluar. Libur mengaji berarti kebebasan buat mereka. Bebas dari sabetan lidi bila tak lancar membaca ayat yang harus dihafalkan, bebas dari gebrakan di meja bila membacanya salah, dan bebas bermain tanpa dimarah orangtua mereka. Sebagian anak menunggu Isya di halaman surau, sambil bermain tekongan, dingklek ongklak-angklek dan jenis permainan anak-anak desa lainnya. Kegembiraan terdengar dari celotehan mereka. Dua anak tampak memilih pulang. Mereka adalah dua sahabat karib, Ahmad dan Zainudin. Kemana pun mereka selalu bersama, baik di madrasah tempat mereka menuntut ilmu maupun bermain sehari-harinya. Bisa dikatakan di mana ada Ahmad di situ ada Zainudin. Mereka berdua murid kesa-yangan Abah Ibrahim. Ketika melewati kebun rambutan milik Abah Ibrahim, tampak buah-buah itu mulai memerah, walau di keremangan malam yang masih menyiratkan jingga di langit. “Mad, lihat rambutan itu!” “Iya..,” kata Ahmad acuh. “Ehh, lihat itu, pasti manis!” kata Udin sambil menyenggol Ahmad. “Heem,” Ahmad masih acuh, bahkan mempercepat langkahnya. “Mad, tunggu dong!” Udin menarik tangan Ahmad, ”Kamu ini kenapa, diajak ngomong kok acuh, sakit gigi ya?” “Aku lapar.. tadi belum sempat makan, karena mainnya kesorean, gara-gara kamu,” “Ya maaf..kamu sih, mencari begitu saja kamu tidak bisa. Eh, kebetulan kita makan rambutan saja yok!” bujuk Udin. “Di mana, kamu punya?” tanya Ahmad bersemangat. “Ya di sini, tuh tinggal ambil,” Udin menunjuk pohon rambutan di depannya. “Semprul.. nggak mau ah, itu mencuri namanya.” “Tidak apa-apalah, nanti kalau rambutan-rambutan ini masak, oleh Abah juga cuma bakalan dibagiin, tidak akan dijual,” “Makanya, aku nggak mau kalau mencuri, itu dosa tahu!” “Aaah, kamu sok suci Mad. Kemarin saja kamu mengambil ikan di kolam Wak Badri... Tidak pake bilang-bilang,” “Tapi sampai rumah aku disemprot Bapak dan dipaksa harus mengembalikan malam itu juga,” “Apa iya?” goda Udin, “Tapi kemarin aku lihat kamu membawa ikan dari rumah Wak Badri.“ “Memang, aku disuruh membawa pulang ikan-ikan itu, karena sudah telanjur mati semua, tapi aku juga dibekali nasehat, nggak boleh mengambil sesuatu tanpa izin yang punya. Itu mencuri.” Nada suara Ahmad meninggi. “Ah, kamu...sekarang begini saja, tolong aku, bantu aku..” bisik Udin “Tolong apa, bantu apa maksudmu?” “Tenaaang, tolong kamu awasi surau itu! Nanti kalau sudah bubar atau ada orang yang akan lewat sini, kamu beri kode. Nanti aku bagi, kamu tinggal makan saja di bawah, gimana?” “Nggak mau, aku takut, kalau bapakku tahu bisa dihajar nanti.” “Heh, aku yang manjat, kalau ada orang, tinggal beri kode, terus lari. Surau itu kan jauh dari sini lagipula sudah mulai gelap nih....” “Hah, terserahlah! Kalau sampai ketahuan, jangan bawa-bawa aku.” Ahmad akhirnya menyerah. “Nah itu baru sahabatku,” Udin menepuk pundak Ahmad dan segera memanjat pohon rambutan dengan lincah. Udin sudah tak tampak, tenggelam di antara rimbunnya daun rambutan, juntaian rambutan yang lebat dan keremangan malam. Di bawah, Ahmad gelisah, matanya tak lepas dari surau. Dari tadi, kulit-kulit rambutan sudah berjatuhan di sekitar tempatnya berdiri. Udin sudah makan rambutan di atas pohon. “Din, bagi dong! Nanti aku tinggalkan lho...” ancam Ahmad, setengah berbisik. “Naik saja, ambil sendiri... jangan takut. Halaman surau itu tampak jelas dari sini!” “Nggak mau ah... aku tidak pintar memanjat, aku kan pendek.” “Ya ampun Mad, dahan rambutan ini rendah-rendah dan berdekatan. Coba saja.. Pegangannya pilih yang dekat agar mudah. Jangan khawatir, biar aku yang mengawasi dari dahan yang tinggi ini.” Ahmad terpengaruh kata-kata Udin, ia mencoba untuk mulai memanjat. Dengan susah payah akhirnya dapat juga ia mencapai dahan, tetapi di dahan tersebut, buah rambutan tersebut tidak terlihat, mana yang telah masak atau masih muda, karena berbaur dengan bayangan rimbunnya dedaunan dan remang-remangnya malam. “Din, mana yang masak?” kata Ahmad gemetar bercampur khawatir. “Naiklah sedikit lagi, pasti lebih terang!” “Tapi aku takut...Sudahlah aku turun saja.” “Ya ampun Maad, sebelah kanan kamu itu kan lebih terang, paling satu cabang lagi, naiklah!” “Iya ya... jangan berisik dong!” Ahmad mencoba menggapai dahan di atasnya dan berhasil. Belum sempat Ahmad memetik satu rambutan pun, tiba-tiba.... “Gawat Mad, ada orang menuju kesini. Cepat turun!” perintah Udin. “Tapi aku belum ambil satu pun, jangan nakutin dong!” Ahmad gugup, suaranya gemetar. “Sudah, cepetan turun...!” Dengan lincah dan tergesa-gesa, Udin turun. Lalu lari di kegelapan malam. “Hoi... siapa itu? Jangan lari!” teriak Wak Badri, “Pencuri...” Mendengar teriakan, orang-orang yang menunggu Isya di halaman surau berlarian menuju sumber suara. Ahmad yang masih ada di atas pohon, sangat ketakutan. Ia mencoba untuk dapat turun secepat-nya sebelum orang-orang itu sampai. Namun karena pijakannya tidak tepat dan pegangannya tidak kuat, akhirnya bruuk “Aduuh” Ahmad jatuh, tulang keringnya membentur akar rambutan yang banyak menonjol keluar. Ahmad merasakan sakit yang amat sangat di kaki kanannya. “Ada apa Wak Badri...?” tanya salah seorang yang datang dan membawa senter. “Ini ada pencuri rambutannya Abah,” kata Wak Badri menunjuk pada Ahmad yang meringkuk kesakitan. ”Dia jatuh setelah saya teriaki,” tambahnya. Beberapa lampu senter diarahkan pada anak yang sedang meringkuk sambil memegangi kaki kanannya. Abah Ibrahim berusaha mendekat, beberapa orang menyingkir mundur memberi tempat. “Astaghfirullah, Ahmad ada apa ini?” tanya Abah Ibrahim. “Dia jatuh dari atas pohon, mencuri rambutannya Abah, lihat kulitnya banyak sekali dan tampak masih baru, jadi tak mungkin ini sisa kelelawar kemarin,” tuduh Wak Badri. “Betul itu Ahmad?” selidik Abah Ibrahim. “Saya me...memang memanjat Abah. Tapi bu.. bukan saya yang makan, ta..tapi...si...” “Siapa? Badri, tadi ada orang lain bersamanya?” nada suara Abah Ibrahim mulai meninggi. “Saya tidak melihat siapa pun selain Ahmad ini, Bah. Kamu ini lho, baru kemarin mencuri ikan di empang saya dan berjanji tidak akan pernah mencuri lagi, rasanya belum kering bibir ini menasehati-mu.” kata Wak Badri bohong karena sebenarnya tadi ia sekilas melihat kelebatan orang berlari, makanya berteriak pencuri. “Mad...Mad dengan mencuri saja kamu berdosa, jangan kamu tambah dengan memfitnah, itu dosanya lebih besar dari pada membunuh. Kalau kamu ingin makan rambutan, mengapa tidak minta ke Abah, pasti boleh. Lagi pula kalau kamu sabar, nantinya kalau sudah masak semua juga akan Abah bagi. Abah kecewa, kamu ini murid kesayanganku, tapi mengapa seperti ini kelakuanmu. Pak Ismail, itu anaknya segera dibawa pulang! Kelihatannya kesakitan, coba diurutkan siapa tahu keseleo,” kata Abah Ibrahim kepada ayahnya Ahmad yang dari tadi diam saja menahan malu dan amarahnya. Pak Ismail segera mendekati Ahmad dan menariknya agar berdiri. “Ayo pulang, membuat malu saja!” kata Pak Ismail geram. Dengan menahan sakit, Ahmad terseok-seok mengikuti ayahnya dari belakang. Sesampai di rumah, Pak Ismail marah besar. Diambilnya sepotong rotan dan dicambukkannya berkali-kali ke pantat Ahmad, sambil tak henti-hentinya memarahinya. Tanpa menghiraukan Ahmad yang mengiba-iba kesakitan. Ibunya yang berusaha menghalangi tak luput dari kemarahannya. Setelah kejadian malam itu, Ahmad dilarang keluar rumah. Kondisinya cukup memprihatinkan, ketika diurut oleh dukun ternyata tulang kering Ahmad retak dan kemungkinan ada pendarahan di dalam. Karenanya jadi bengkak dan menghitam. Ibunya ingin membawanya ke mantri atau ke dukun khusus patah tulang, namun ayahnya tak mengizinkan.”Nanti juga sembuh sendiri, kan masih anak-anak,“ Hari-hari Ahmad dihabiskan di rumah. Tak satu pun temannya menjenguk, termasuk Udin. Setelah seminggu di rumah, Ahmad mulai pergi ke madrasah meskipun jalannya masih pincang. Ternyata di madrasah teman-temannya menjauhi. Kalau dia mendekati kerumunan temannya, mereka segera bubar dan menghindar. Demikian juga bila di surau, teman-temannya pun mengasingkannya. Mereka dilarang orangtuanya berkawan dengan Ahmad, bisa ketularan menjadi pencuri, katanya. Karena kasihan, akhirnya ibunya memutuskan untuk menitipkan ke rumah neneknya yang tinggal di desa lain sekaligus pindah sekolah. Ahmad tak punya pilihan. Sebelum pergi, Ahmad meminta kepada ibunya mengantarkan ke rumah Abah Ibrahim untuk berpamitan sekaligus meminta maaf. Abah Ibrahim banyak menasehatinya, agar tidak pernah mengulangi perbuatannya, dan selalu berusaha untuk berbuat baik di mana pun ia berada. Ahmad menangis sambil mencium tangan Abah Ibrahim. Ahmad sangat disayangi oleh neneknya karena ia cucu laki-laki satu-satunya, dari anak semata wayangnya yaitu ibunya Ahmad. Di sekolah barunya, Ahmad tak punya banyak teman, ia tertutup dan suka menyendiri. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang. Ahmad tak dapat berjalan normal, karena kakinya pincang. Ia menjadi minder dan mudah tersinggung. Ia sering terlibat perkelahian hanya karena kesalahpahaman. Setelah neneknya meninggal, Ahmad memutuskan tidak akan kembali ke kampung halaman yang telah menggoreskan kisah pilu dalam hidupnya. Ayah dan ibunya pun menyuruhnya merawat rumah dan kebun peninggalan neneknya. Karena kurang perhatian dan tak ada pengawasan serta kurang kasih sayang, akhirnya Ahmad salah dalam bergaul. Dia lebih suka nongkrong-nongkrong di terminal pasar. Dia menjadi bosnya tukang parkir di terminal tersebut. Namun ia cukup bijaksana, semua anak buahnya diperlakukan dengan adil. Bahkan tak jarang, Ahmad mengalah demi anak buahnya. Rumah peninggalan neneknya dijadikan markas untuk anak buahnya. Mereka bebas keluar masuk di rumah tersebut. Bahkan dia mengajak dua anak gelandangan yang tidak punya kerabat tinggal bersamanya. Mereka disekolahkan dan dibiayai kebutuhan hidupnya. Sebagai imbalannya mereka harus mengurus rumah dan menyiapkan kebutuhan Ahmad. Mereka berdua sangat hormat pada Ahmad. Suatu hari, terjadi perkelahian di terminal pasar tersebut, antara tukang parkir dan pemilik mobil yang menyenggol mobil lain karena salah mundur. Ahmad berusaha melerai namun justru terlibat dalam perkelahian tersebut. Naas baginya, karena ketika Ahmad mendorong pemilik mobil, orang tersebut terjatuh, kepala bagian belakangnya membentur pagar pembatas taman dan meninggal. Sebagai akibatnya Ahmad dipenjara 15 tahun penjara. Di tahanan dia menempati satu ruangan bersama dengan penjahat-penjahat yang rata-rata karena kasus-kasus pembunuhan dan pemerkosaan. Awalnya Ahmad merasa ciut dan selalu menjadi bulan-bulanan penghuni sel tersebut. Ahmad dijuluki si Deglok, karena jalannya pincang. Mulanya dia tidak terima dan sakit hati, namun lama-lama dia dapat juga menyesuaikan. Walaupun tinggal di balik dinding penjara, Ahmad tak tinggal diam. Ketika kedua anak angkat-nya berkunjung, dia menitipkan surat agar diserahkan pada penggarap sawah peninggalan neneknya, yang isinya meminta bagi hasil sawahnya untuk membiayai mereka. Dia juga berpesan untuk memanfa-atkan hasil kebun yang tak seberapa di belakang rumahnya sebaik mungkin, tidak boleh boros, harus selalu rukun, rajin belajar dan jangan sampai putus sekolah. Keduanya semakin hormat pada Ahmad. Melihat sikap dan sifat Ahmad yang bersahaja, sebagian besar penghuni penjara itu menjadi segan padanya, termasuk petugas dan sipir. Berkat kefasihannya dalam membaca ayat-ayat Suci Alquran, Ahmad sering disuruh mengajar mengaji oleh sesama tahanan. Dia juga sering diminta menjadi imam saat salat fardhu dan salat Jumat. Panggilannya berganti menjadi Mad Deglok. Ahmad tak mempersoal-kan hal itu, apalah arti sebuah panggilan, batinnya. Di penjara itu, ada acara rutin siraman rohani yang diselenggarakan untuk memberi pencerahan pada penghuninya. Yang datang kali ini seorang ustad muda yang sudah terkenal di kota tersebut. Ustad Zainudin namanya. Orangnya ramah, berwibawa, dan tampan. Seluruh penghuni lapas dikumpulkan di sebuah aula, dengan pengawalan para sipir di dalam maupun di luar aula. Termasuk Mad Deglok yang kini penampilannya menyeramkan, memiliki jambang dan kumis tebal, sorot mata tajam dan berjalannya pincang. Ketika dia memasuki aula itu, para tahanan langsung mengelu-elukannya. “Hidup Mad Deglok...Hidup Mad Deglok.” Para sipir memberi perintah untuk diam, tapi tetap saja mereka berteriak-teriak. Namun ketika Mad Deglok memberi isyarat, mereka spontan langsung diam. Saat memberikan wejangan, Ustad Zai, begitu ia biasa disapa, sangat bersemangat karena dili-hatnya seluruh penghuni penjara tampak antusias dan tekun mendengarkannya. Di sesi terakhir, Ustad Zai memberi kesempatan bertanya jawab. Saat dilihatnya tak ada satu pun hadirin yang mengajukan pertanyaan, Mad Deglok pun berdiri. Para tahanan segera mengelu-elukan-nya kembali, “hidup Mad Deglok...hidup Mad Deglok,” suasana yang tadinya tenang itu menjadi riuh. Mad Deglok memberi isyarat dengan tangang untuk diam. Dan mulailah dia berbicara. “Maaf Pak Ustad, saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya orang yang menjadi pendosa, namun sebenarnya berawal dari kesalahan orang lain, dan akhirnya menjadi pelaku pembunuhan dengan tidak sengaja,” kata Mad Deglok dengan lantangnya. “Maksud Saudara bagaimana? Coba jelaskan lebih mendetail!” pinta Ustad Zai penasaran. “ Ayo katakan Mad Deglok, hidup Mad Deglok...hidup Mad Deglok.” Suasana kembali riuh, dan kembali Mad Deglok memberi isyarat agar diam. “Begini, Ustad. Saya tersangka pelaku pembunuhan, dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tapi sebenarnya pembunuhan itu sama sekali tidak saya sengaja. Saya hanya melerai. Tapi biarlah, kare-na kekhilafan saya telah menyebabkan nyawa orang melayang, saya ikhlas menjalaninya. Tapi bagai-mana dengan orang yang telah dengan sengaja mengajak pada perbuatan dosa, tapi karena orang tersebut lebih beruntung, dia tidak menanggung akibat dari perbuatannya. Sedangkan orang yang diajaknya harus menanggung akibatnya seumur hidup.” ujar Mad Deglok panjang lebar. “Bapak Mad.. siapa tadi...? Sebaiknya kita jangan membiasakan diri menyapa orang lain dengan sapaan yang buruk,” kata Ustad sabar. “Mad Deglok, Ustad. Tak apalah, kenyataannya kaki saya memang tak sempurna dan jalan saya pincang. Ini adalah kenang-kenangan yang tak akan saya lupakan seumur hidup saya, karena mudah tergiur dengan bujukan teman saya untuk diajak mencuri.” “Begini Pak... dan Hadirin yang saya hormati, Allah mencatat amalan hambanya dari mulai niat, baik itu niat jahat atau niat baik. Bila niatnya jahat, tapi tidak jadi dilakukan, maka catatan tadi akan dihapus. Namun bila niat tadi dilanjutkan catatannya berlipat ganda. Dan orang yang mengajak berbuat baik, pahalanya akan berlipat ganda dibandingkan dengan yang diajak,” Ustad Zai diam sebentar menga-mati orang–orang yang serius mendengarkan ceramahnya.” Yang terpenting adalah, bila kita telah mela-kukan dosa, segeralah memohon ampun kepada Allah SWT, berjanji tidak melakukannya lagi. Allah itu Maha Pengampun, Saudara-Saudara. Namun bila kita bersalah kepada sesama manusia, Allah baru akan mengampuninya bila telah meminta maaf pada orang tersebut. Waulahualam.” lanjutnya berwibawa. “Terima kasih Ustad, saya menjadi tenang, setidaknya dosa saya lebih kecil dibandingkan dosa orang yang telah menyebabkan kaki saya ini menjadi pincang dan akhirnya menjadi pembunuh.” Mad Deglok menerawang masa lalunya yang menyakitkan. “Wah.. kisah hidup Saudara betul-betul menarik, celakalah orang yang telah menyebabkan nasib Saudara harus tinggal di penjara ini untuk waktu yang tidak sebentar. Saya kagum karena Saudara bisa ikhlas menerima dan menjalaninya. Saudara orang yang baik dan memiliki bekal agama yang kuat. Bila berkenan, maukah menceritakan, siapa Saudara, dari mana, apa yang terjadi dengan kaki Saudara, dan kalau boleh tahu, ini yang penting, maukah Saudara menyebutkan nama teman Saudara yang telah me-nyebabkan semua ini, siapa tahu dia mau minta maaf kepada Saudara. Nanti kalau saya ada kesempatan berkeliling dan kebetulan singgah di daerah Saudara, saya bisa menyampaikannya,” pinta Ustad Zai. “Tak perlu Ustad, saya sudah ikhlas menjalani, semua saya anggap sebagai takdir yang harus saya terima. Saya sudah mengubur dalam semua. Saya tidak mau mengingat-ingatnya lagi. Itu ibarat membuka lagi luka yang sudah sembuh. Jadi tak perlu Pak Ustad,” jawab Mad Deglok hormat. “Tapi setidaknya, Saudara tidak membiarkan orang di luar sana bersalah kepada Saudara seumur hidupnya, tanpa pernah bisa meminta maaf. Selain itu bisa menjadi pembelajaran pada kita di sini. Betul Saudara-Saudara?” tanya Ustad Zai pada hadirin. “Benar Ustad, katakan Mad Deglok pada kami, kurang ajar betul itu orang, nanti kalau aku bebas duluan biar ku cari lalu ku seret kesini, agar dia minta maaf padamu.” kata seorang tahanan yang lebih tua namun masih sangar dan kekar. “Betul Mad Deglok, Hidup Mad Deglok... katakan pada kami, siapa dia dan dari wilayah siapa? Biar nanti anak buah saya yang mencari.” sahut yang lain. Mad Deglok kembali memberi isyarat untuk diam. “Baiklah saya akan bercerita, tapi mohon diam, saya minta izin bercerita, boleh Ustad!” katanya hormat. Ustad tersenyum mengangguk. Dengan terlebih dahulu menghormat dan mengambil nafas panjang, mulailah Mad Deglok bercerita, ”Saya dulu tinggal di Kampung Berbah. Saya memiliki seorang guru mengaji yang sangat saya hormati, namanya Abah Ibrahim.” Mad Deglok melanjutkan ceritanya dengan tenang. Saat mendengarkan cerita Mad Deglok, tampak beberapa kali Ustad Zai mengernyitkan kening-nya, beberapa kali terlihat perubahan raut mukanya, berkali-kali ia tampak menyeka keringat yang terus bercucuran dengan kain sorbannya. Mad Deglok yang terus bercerita tak lagi didengarnya. Pandangannya berkunang-kunang dan mulai memudar. Akhirnya pingsan. Suasana menjadi riuh, banyak yang berdiri dan bertanya-tanya ada apa, mengapa Ustad Zai mendadak pingsan, dan tampak begitu pucat. Ustad Zai segera dibawa ke ruang kesehatan. Tak ada satu pun yang mengetahui penyebab pingsannya Ustad Zai, kecuali Mad Deglok alias Ahmad, teman masa kecil dari Zainudin alias Ustad Zai. Namun Mad Deglog diam seribu bahasa. Sebulan kemudian, Mad Deglok dibebaskan dengan bersyarat. Ada orang yang menjaminnya. Keluarga korban pun sudah mencabut tuntutannya. Selain itu dia dinilai selalu berperilaku baik selama menjalani hukumannya. Setelah bebas, Ahmad tidak mau lagi menjadi tukang parkir. Dia memilih menjadi petani, dan mengajar mengaji anak-anak dari teman lamanya di terminal. Dia menikah dengan gadis pilihannya, hidup bahagia dan tetap mengasuh dua anak angkatnya. Pelatihan SAGUSABU BUNGO
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post