Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Guru dan Orang Tua Harus Sehati

Suatu hari seorang teman datang kepadaku dengan anaknya yang masih duduk di kelas IV SD. Ia meminta tolong padaku agar mengajari anaknya mengerjakan pekerjaan rumah (PR) Matematika dari gurunya. Ini memang bukan pertama kalinya, ia datang padaku untuk meminta bantuan yang sama. Namun kali ini, temanku ini juga menyampaikan keluh-kesah tentang problematika yang dihadapi anaknya di sekolah. Mulai dari banyaknya PR, pelajarannya yang terlalu sulit untuk ukuran anak SD, gurunya yang selalu memberi tugas tanpa menerangkan terlebih dahulu, gurunya yang tidak pernah memarahi temannya yang selalu ribut, dan gurunya yang sering asyik menggunakan HPnya saat jam belajar. Semua disampaikan seperti petasan renteng yang sulut di tengah jalan. Sungguh tidak nyaman saat ku mendengarnya, karena aku juga seorang guru. Apakah hal ini juga banyak dikeluhkan oleh orang tua yang lain?

Untuk menjelaskan kepada orang tua yang masih memiliki sudut pandang pembelajaran model ceramah dan menyerahkan pendidikan seutuhnya ke sekolah, tentunya akan sulit memberikan gambaran pendekatan pembelajaran yang sekarang lebih ditekankan untuk digunakan di sekolah-sekolah. Orang tua masih banyak yang belum mengerti dan memahami bahwa sumber pembelajaran sekarang bukan hanya dari buku atau tergantung pada guru di sekolah saja, namun masih banyak hal yang lebih komplek mempengaruhi pendidikan anak.

Pendidikan bagaimana pun proses dan bentuknya, tetap memiliki tujuan yang sama. Yaitu mengantarkan anak didiknya menjadi pribadi yang mandiri, berkarakter mulya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetap memiliki dan menjunjung tinggi iman dan ketakwaannya pada Tuhan yang Maha Esa.

Akhir-akhir ini kita sering diresahkan oleh adanya pemberitaan tentang kasus-kasus yang terkait dengan masalah sekolah dan peserta didik. Mulai dari kasus penganiayaan guru oleh siswanya maupun kekerasan guru pada anak didiknya, yang lebih miris lagi adalah pelecehan yang dilakukan oleh oknum-oknum guru yang tidak memiliki citra seorang guru. Ironis memang, pendidikan yang seharusnya merupakan wadah untuk menciptakan insan-insan yang cendikia dan berakhlak luhur justru menjadi panggung bar-bar.

Timbul tanda tanya besar, ada apa dengan dunia pendidikan kita? Siapa yang patut dipersalahkan? Bila kita mencoba untuk menganalisanya, jawabannya hanya berupa benang kusut yang sulit diuraikan ujung pangkalmya. Demikian juga bila mencari penyebabnya, jawabannya akan sangat kompleks. Pengaruh globalisasi, teknologi informasi, berkurangnya empati, bahkan sampai gara-gara melindungi hak asasi manusia.

Oleh karena itu, sangat tidak bijaksana kalau kita hanya berdebat kusir untuk mencari pembenaran. Karena kebenaran itu bukan untuk didiskusikan tapi untuk dibuktikan.

Sebagai pendidik pasti memiliki hati nurani. Hati nurani tak akan pernah berpikir salah, Sebagai pencetak insan cendikia tentunya memiliki formula-formula yang sesuai untuk anak didiknya. Tetap memegang teguh niat dan keyakinan untuk selalu di jalan yang diridoi-Nya akan memghindarkan dari gangguan-gangguan yang sering menghambat pekerjaan mulya ini, seperti rasa malas, bosan, kesal pada siswa, atau sifat-sifat manuasiawi lainnya.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tentu tak akan dapat hanya tergantung dari bangku sekolah dan lingkungannya, karena pendidikan tetap berada pada sebuah sistem, yang disebut masyarakat. Sangat mustahil pendidikan dapat bekerja sendiri, meskipun pada pendidikan yang konvensional sekalipun, tetap harus melibatkan masyarakat terutama keluarga.

Inti dari sebuah masyarakat, adalah keluarga. Keluarga-keluarga yang baik, dalam ukuran material maupun spiritual, akan banyak menyumbang bagi terbentuknya masyarakat yang baik. Persoalannya adalah, apakah dalam keluarga yang baik itu berkembang budaya yang baik pula di antara warganya (ayah, ibu dan anak-anak) atau tidak. Fakta yang terlihat dari kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa keluarga-keluarga yang mempunyai tingkat ekonomi lebih mapan, anggotanya justru tak memiliki empati dan mementingkan diri-sendiri, sehingga kalau ada gesekan, mereka (anak didik) tak memiliki kontrol. Di sini terlihat, betapa besar peran orangtua dalam proses pembiasaan atau pembudayaan suatu nilai, sikap atau perbuatan dalam keluarga mereka.

Dalam melaksanakan proses pendidikan, seharusnya tidak terlepas dari peran keluarga. Keluarga hendaknya menjadi barometer dalam mendidik anak. Karena saat ini hal yang memengaruhi pendidikan seorang anak bukan hanya sekolah dan keluarga saja, namun justru lingkungan dan teknologi seolah mengambil peran dominan. Sebagai contoh, dulu anak tidak ada yang berani mengoreksi perilaku dan kebiasaan guru, sekarang anak cenderung kritis terhadap subjek seorang guru. Mereka meniru tayangan-tayangan yang ada di TV. Dulu anak mengganggap guru sebagai makhluk setengah dewa. Nasihat guru lebih mereka perhatikan daripada nasihat kedua orang tuanya, sehingga orang tua pun merasa yakin dan tenang menitipkan anaknya untuk menempuh pendidikan di sekolah. Tapi sekarang! Bahkan anak SD pun telah mempunyai keberanian mengkritik/menilai gurunya. Ini jangan dianggap sepele! Kita harus waspada, ini bentuk sikap kritis yang harus dipupuk atau sikap kurang ajar yang harus segera dicari solusinya agar tidak berkembang.

Menyikapi hal ini, kita sebagai pendidik harus lebih cerdas menyiasatinya. Jangan hanya mencari pembenaran dengan mencari siapa yang salah. Itu sama sekali bukan solusi. Kita justru sebaiknya menjadikan permasalahan yang ada sebagai ruang atau wadah untuk lebih berbenah dan membenahi yang ada, jangan langsung memvonis si anak atau menghapusnya dengan dikeluarkan dari sekolah. Apalagi bila permasalahannya berhubungan dengan masalah yang kompleks. Tentunya sebagai pendidik harus lebih berlapang dada dan berbaik sangka selalu.

Dalam menghadapi masalah anak didik yang kompleks, sebaiknya kita mencoba untuk mengoptimalkan keterlibatan keluarga dalam pendidikan, misalnya dengan memanfaatkan teknologi. Salah satu contoh dengan membuat grup WA, baik grup kelas, mata pelajaran, maupun grup sekolah. Tujuannya untuk dapat mengetahui sejauh mana perkembangan anaknya, tentang belajarnya, perilakunya, maupun prestasinya. Tentunya di sini, antara guru dan wali harus memiliki kesepakatan untuk bersedia dikoreksi dan mengoreksi. Jangan ada sakit hati dan dusta di antara kita. itu semboyan yang harus dijunjung. Melalui grup, wali siswa juga bisa saling bertukar informasi, berdiskusi, termasuk dalam menyelesaikan tugas rumah anaknya. Ini tentu sangat besar manfaatnya, baik untuk anak dan orang tua dalam menghadapi problema pendidikan. Jadi jangan beranggapan kemajuan teknologi selalu memberikan dampak negatif pada pendidikan anak, tinggal kita bisa atau tidak dalam menyiasatinya.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk melibatkan orang tua dalam pendidikan adalah dengan meminta tanggapan pada orang tua untuk setiap nilai yang diperoleh anak-anaknya. Misalnya setiap melakukan evaluasi/ulangan, hasilnya wajib ditunjukkan pada orang tua untuk diminta tanggapannya tentang nilai yang diperolehnya lengkap dengan saran dan harapannya. Sehingga orang tua tidak hanya bisa protes saat anaknya tidak memperoleh prestasi atau bahkan tertinggal. Untuk itu, mutlak guru dan orang tua harus saling memberikan nomor teleponnya. Orang tua harus menyadari, anaknya di sekolah hanya sekitar tujuh jam saja, yang tujuh belas jam adalah tanggung jawab orang tua dalam pengawasan dan pendidikannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat setuju...bu guru. Guru dan orang tua harus sehati dan saling mendukung. Ulasan yang mantafff. Salam literasi dari Medan, ibu. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah....bu guru.

22 Sep
Balas

Betul sekali Bu....paling tidak antara pihak sekolah dan orang tua harus ada hubungan yang berbanding lurus sehingga out putnya dapat maksimal...Terimakasih ulasannya..Salam literasi...

22 Sep
Balas



search

New Post