Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Karakter Sebagai Pondasi Pembangunan

Karakter Sebagai Pondasi Pembangunan

Karakter bangsa adalah perilaku kolektif kebangsaan yang khas, baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman rasa, karsa dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa, dan karsa seseorang atau sekelompok orang.

Pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina dan mengembangkan karakter warga negaranya. Cita-cita bangsa Indonesia adalah mewujudkan manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila, selain dari tujuan umumnya menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, seharusnya Indonesia dapat menjadi suri teladan dalam banyak hal terhadap bangsa lain, baik dalam aspek pengelolaan negara maupun dalam perilaku hidup sehari-hari. Jika bicara normatif, betapa luhur dan utama kepribadian Muslim. Para kiai, ustad, dan siapapun yang menyuarakan Islam dalam karakter kemusliman pasti indah, mulia, dan utama. Karakter ketakwaan sebagai rujukan utama ke-Islaman dalam tataran norma bahkan merupakan puncak dari sosok kepribadian Muslim, baik secara pribadi maupun kolektif.

Sebagai negara yang berlandaskan falsafah Pancasila, setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara utuh yaitu negara yang ber-Ketuhanan, menjunjung kemanusian yang adil dan beradab, mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, demokratis dan menjunjung HAM, serta keadilan dan kesejahteraan.

Oleh karena itu, sejak kecil nilai-nilai agama sudah ditanamkan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketika memasuki sekolah formal, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, pendidikan keagamaan yang didukung pendidikan Pancasila dijadikan sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap lembaga pendidikan. Bahkan pada era Orde Baru, ada pembekalan penataran P4 untuk siswa baru jenjang sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi, begitupun di lembaga-lembaga pemerintahan, penataran ini pun menjadi agenda rutin.

Namun ironisnya, mengapa pengetahuan agama, maupun pengetahuan moral yang diajarkan serta didapatkan oleh anak bangsa ini, tidak berdampak secara utuh terhadap perubahan perilakunya? Sehingga perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama maupun Pancasila sangat “lumrah” terjadi di Republik ini. Misalnya, pada level pelajar, perbuatan suka mencontek, kebiasaan bullying, tawuran, memeras teman, dan melawan guru menjadi hal yang sering kita saksikan. Begitu pula perilaku orang dewasa yang senang dengan konflik, praktik KKN, kekerasan, dan pelanggaran HAM, begitu terbuka dilakukan oleh masyarakat Indonesia, termasuk oleh para petinggi Republik ini yang notabene sejak kecil telah memeroleh pengetahuan agama maupun pengetahuan moral. Bahkan, yang terlihat belakangan ini adalah begitu banyak manusia Indonesia yang hipokritis dan munafik. Lain dibicarakan lain pula tindakannya sehingga apa yang dikatakan berbeda dengan yang diperbuat.

Tidak tanggung-tanggung bahkan seorang pembesar negeri ini yang menjadi orang nomor satu untuk mengurusi agama menjadi tersangka kasus yang selayaknya tak pantas bila ada penyelewengan di dalamnya. Sedangkan kasus-kasus yang lebih sederhana pun tak kurang ikut berbaris, misalnya kasus pelecehan oleh seorang guru, kasus penistaan agama oleh seorang pemimpin, dan berderet kasus lainnya.

Seolah tidak mau kalah, deretan kasus para pembesar dan para elit politik pun turut pula meramaikan panggung pelanggaran di negeri ini, dengan jenis lakonan yang beragam, seperti kasus suap, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penggunaan narkoba. Dan anehnya, ketika sudah menggunakan seragam kebesaran baru warna orange, mereka masih bisa menebar senyum atau bahkan ada yang masih mampu berbicara keras dan lantang, mengatakan bersedia digantung di Monas bila terbukti bersalah. Semua itu dilakukan di depan kamera, mungkin bila mereka diizinkan selfie pasti mereka lakukan. Padahal bukankah seharusnya mereka menjadi pesakitan, tidak mau tersorot kamera, dan tak mau dipublikasikan.

Dalam Al-Qur’an terdapat istilah basyar dan insan. Basyar yaitu menyebut manusia sebagai mahluk hidup yang melata di atas bumi, dengan kata lain derajat manusia disetarakan dengan hewan. Sedangkan kata insan untuk menyebut manusia dalam arti khusus, yaitu sebagai mahluk hidup yang bisa berpikir atau menggunakan akalnya. Mahluk yang bernalar dan berbudi sebagai modal dasar membangun peradaban.

Namun, dalam kehidupan modern ini, kebanyakan manusia lebih sering memperlihatkan sifat-sifat basyariahnya daripada sifat insaniyahnya. Idealnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin terlihat kualitas kemanusiaannya. Setidaknya sifat basyariah yang melekat pada dirinya semakin bisa dikendalikan.

Hal ideal itu pada umumnya belum dapat dilihat di negeri ini. Para elit di negeri ini justru lebih sering memperlihatkan sifat basyariahnya secara brutal. Para penegak hukum masih banyak yang hanya bisa tegas menghadapi orang lemah, namun melempem ketika menghadapi konglomerat. Semakin mahal sebuah kasus, semakin lama dan bertele-tele kasus itu terselesaikan. Bila tersangka mulai terjepit, mulailah pencarian pengacara terhebat untuk meramaikan panggung persidangan.

Politisi dan wakil rakyat kita lebih suka melakukan tawar-menawar perkara hanya untuk menyelamatkan kepentingan pribadi maupun golongan. Para pejabat publik hanya memiliki kemampuan berkata-kata, namun kehilangan kemauan untuk mendengar. Rakyat protes lewat demontrasi tidak dipedulikan, cendikiawan protes lewat tulisan tidak dibaca, musisi protes lewat nyanyian tidak didengar, seniman protes lewat panggung pertunjukan juga hanya ditertawakan. Mungkin mereka tak pernah sadar kalau janji-janjinyalah yang telah mengantarkannya ke kedudukan yang dimilikinya sekarang.

Kemunafikan dan kerakusan yang merajalela inilah, yang mungkin menyebabkan bangsa kita terus dilanda petaka, baik berupa bencana alam, kemiskinan, dan konflik sosial.

Bagi seseorang yang memiliki sifat insaniah dan dapat menggunakan akal budinya , persoalan tersebut tidak akan terjadi, sebab akal budi yang dimilikinya akan membawanya kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan memandunya dalam berperilaku. Sehingga antara pengetahuan moral dengan perilaku akan berjalan seiring.

Salah satu karakter manusia yang bertakwa adalah mereka yang memiliki konsistensi untuk mengamalkan pengetahuan dalam perilaku hidup sehari-hari. Sebaliknya mereka yang tidak konsisten, hanya akan menuai kegagalan dari apa yang menjadi tujuan dari ketakwaan itu. Walaupun mereka orang cerdas, berpendidikan tinggi, dan memiliki gelar yang banyak, namun ketika pengetahuan yang dimiliki tidak seirama dengan perilaku hidup yang dijalankan, akan menuai petaka berupa kegagalan membangun solusi dalam kehidupannya.

Menurut Anhar Gonggong, Sejarawan sekaligus dosen Universitas Indonesia, dalam sebuah acara dialog mengatakan, salah satu sebab dari gagalnya pengaplikasian pengetahuan agama maupun moral yang di dapat, untuk dijalankan dalam kehidupan adalah akibat hati mereka tidak tercerahkan. Salah satu tujuan beragama adalah pencerahan hati. Maka bagi orang yang beragama, sesungguhnya dia mampu menjadi manusia yang tercerahkan hati nuraninya, sehingga kecerdasan yang dimiliki didukung dengan hati yang tercerahkan. Jika ini terjadi, tidak akan ada lagi orang yang korupsi dan sebagainya.

Sebagaimana sebuah bangunan, kokoh tidaknya tergantung pada fondasinya. Fondasi akan kuat bila dibangun sesuai kontruksinya. Semakin dalam dan kuat sebuah fondasi, maka semakin kuat pula bangunan tersebut. Begitupun dengan karakter seseorang, semakin dalam dan kuat dalam memegang teguh agama serta menjalani ajaran-ajarannya, maka semakin baik karakter seseorang tersebut.

Untuk membangun karakter yang kokoh, upaya perubahan harus kita mulai dari dalam individu masing-masing melalui pembenahan dalam diri. Dengan pembenahan melalui norma-norma keagamaan dan norma-norma Pancasila, kita akan memiliki batin dan hati nurani yang hidup. Yaitu memiliki kemampuan memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mampu mengontrol dorongan hawa nafsu, dan mampu memiliki kecintaan besar untuk menjaga dan melakukan kebaikan di muka bumi ini.

Salah satu upaya membentuk karakter anak didik adalah, proses pembelajaran kita jangan hanya menggunakan pendekatan penghafalan. Di mana peserta didik hanya diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian. Karena tujuannya adalah untuk mencari nilai bagus. Sedangkan tujuan pembelajaran terhadap perubahan perilaku tidak diperhatikan. Sehingga yang terjadi ada kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku. Oleh karena itu, sudah waktunya kita belajar sesuai konteks, apa yang terjadi, mengapa terjadi, dan apa akibat yang akan ditimbulkannya.

Beberapa hal di atas, harus menjadi perhatian kita, dan segera menentukan langkah nyata sebagai upaya membentuk fondasi yang kokoh, bagi terbentuknya manusia-manusia berkarakter di negeri tercinta kita ini. Semoga kita dapat menjadi insan-insan yang menjunjung tinggi martabat bangsa, sehingga Insya Allah kebenaran dan kebaikan akan selalu melindungi kita dari kehancuran.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post