Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Pelangi di Balik Mentari  (Part I)

Pelangi di Balik Mentari (Part I)

Sudah berulang kali dipandanginya foto dalam layar handpone di tangannya, beruang kali pula foto itu dizoom agar terlihat lebih jelas.

“Apa yang istimewa? Wajahnya memang simpatik, dan wajah ini selalu tersenyum memancarkan keramahan,” gumam Dini dalam lamunannya. ”Tapi mengapa seakan ribuan magnet menarik seluruh perhatianku selama ini.”

Dini terus memandangi foto itu, seakan ingin mencari apa yang membuatnya selalu ingin melihat foto itu. Lagi dan lagi.

“Bundaaaa! Mas Kaka nakal ...” teriak Rayi. Rayi yang bertubuh bulat, kulitnya putih, dan berambut keriting kriwil-kriwil itu berlari menubruk bundanya dan upps... hampir saja handpone di tangan Dini terlepas karena terkejut.

“Hayooo, mau lari kemana? Hi..Hi...Hii lihat mainan Mas Kaka lucu kan?”goda Raka sambil memainkan ular mainannya yang terbuat dari bahan sintesis sehingga menyerupai aslinya, sangat lembut dan lentur saat dipegang. Raka anak pertama Dini, walau sudah kelas VI SD tapi masih suka bermain dengan mainan masa kecilnya dan selalu menggoda adiknya, bahkan kalau tidak ditegur, sebelum adiknya menangis, Raka belum berhenti menggoda adiknya. Menurutnya, Rayi lebih lucu dan menggemaskan kalau sedang menangis, mukanya jadi merah seperti tomat. Walau setelah itu, setiap kali Rayi menangis, tugas Raka harus membujuknya sampai diam, dan sebagai syarat agar diam, Rayi selalu minta digendong keliling rumah atau bermain kuda-kudaan. Tentunya Raka sebagai kudanya. Tapi Raka menikmati hal itu.

“Ndaaa, Mas Kaka... Nda...” Rayi menggoyang-goyang tangan bundanya yang masih memegang dan memandangi handphone.” Mas Kaka, Ndaaa.” Rayi mulai merengek.

“Wuuest..wuuest... aku akan gigit si pipi tomat,” Raka terus mengganggu Rayi sambil mulutnya mendesis menirukan suara ular dan terus memainkan ular mainannya.

“ Sudaaah Kaka, berhenti ganggu Yayi! Kasihan adikmu ..sana ajak main yang bener!” kata Dini.

“ Yaaa, itu Bundaa, Mas Kaka nakutin Yayi terus,” adu Rayi.” Nanti Yayi laporkan Ayah, tahu!” tambahnya.

“Ngadu sana, Ayah lebih sayang pada ayam-ayamnya week,” goda Raka.

“ Kakaaa nggak boleh gitu...” kata Dini lembut, tapi matanya sedikit melotot pada Raka, anak sulungnya yang memang mulai kritis cara berpikirnya.

Dini meletakkan handponenya di meja, lalu merengkuh kedua anaknya. Rayi masih kelihatan protes karena merasa diabaikan.

Rayi dipangkunya sementara Raka diberi isyarat agar duduk di sampingnya.

“Ayah itu sangat menyayangi kita, coba ingat-ingat siapa yang jagain kalian kalau Bunda sedang pergi ke luar kota... siapa yang nyiapin sarapan, nemenin bobo, mandiin Yayi, nganterin dan jemput sekolah. Siapa hayoo...” bujuk Dini.

“ Kan, ada Yang Kung dan Yang Ti, Bun...” kata Raka membela diri.

“ Tapi Yang Kung dan Yang Ti itu kan bukan hanya kakek nenek kalian berdua, belum tentu bisa selalu menemani kalian. Kalau Bunda harus pergi beberapa hari, Ayah selalu berusaha menyenangkan kalian kan?” kata Dini sabar.

“Iyaa, Bun .. Ayah itu selalu mbeliin es krim yang gede, terus jalan-jalan ke taman, beli bakso.. daaan,“ Rayi memandang ke atas seolah-olah membayangkan sesuatu yang menyenangkan dan nikmat.

“Tapi Ayah gak pernah mau ndonggeng...Kalau malam nyuruh cepet bobo, nggak boleh main game lama-lama...” kata Raka sambil cemberut.

“Dahh.. sekarang jangan main terus, mandi sana! Sudah sore ... Kaka, ajak Yayi mandi terus sholat Ashar, Bunda mau masak. Jangan main-main di kamar mandi, nanti jatuh!” perintah Dini.

Dengan lesu Raka menggandeng Rayi. “ Yok Dek.. mandi!”

“Bun... baju Yayi nanti yang mana?” kata Rayi manja.

“ Nanti Bunda siapin yang bagus, yang ada gambarnya kupu-kupu itu lho, makanya mandinya yang bersih ya..” jawab Dini.

Raka dan Rayi pun bergegas ke kamar mandi. Walau masih kecil mereka berdua sudah tahu, bila sampai ayahnya pulang dari kandang peternakannya dan mereka berdua belum mandi, Ayahnya akan marah.

Dari kamar mandi sesekali terdengar teriakan Yayi yang protes karena matanya pedih terkena sabun, dan tawa Raka yang terus menggoda adiknya. Dini selalu hanya tersenyum dengan tingkah lucu kedua buah hatinya itu.

Dini Kaemita, seorang PNS yang menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah menengah pertama terkenal di kotanya. Dia juga seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang manis dan sehat-sehat. Suaminya, Candra Siagian, pria Batak yang diasingkan keluarganya karena menikahi gadis Jawa.

Candra sebenarnya berpendidikan tinggi, sarjana teknik, mereka berdua teman sejak masih kuliah, mereka pasangan yang serasi dan sama-sama pintar. Tapi Candra tidak mau menjadi pegawai kalau harus ada permainan kotor di belakangnya. Dia lebih memilih menjadi peternak ayam petelur. Usahanya cukup sukses, ia memiliki 10 pembantu di kandang dan 4 orang bagian distribusi.

Meskipun mereka berdua hidup berkecukupan, memiliki rumah yang cukup megah, dan sama-sama sibuk. Tapi mereka berdua tak mau menggunakan jasa pembantu/asisten rumah tangga. Mereka sepakat untuk mengurus rumah dan kedua anaknya tanpa bantuan orang lain. Tetapi kalau sudah sangat kerepotan, atau Dini harus pergi beberapa hari, ada Yang Kung dan Yang Ti yang siap dipanggil kapan pun untuk membantu mereka. Keduanya adalah orang tua dari Dini.

Dini dan Chandra membuat kesepakatan untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan kedua buah hatinya tanpa harus melibatkan orang lain. Dini sebagai seorang pegawai, tentu harus pintar membagi waktu dan tenaganya agar tugas sebagai kepala sekolah dan ibu rumah tangga dapat terlaksana sekaligus.

Dini kadang merasa iri ketika teman-temannya atau guru-guru bawahannya bercerita tentang kelakuan pembantu-pembantu mereka. Juga tentang keseruan kegiatan belanja bareng dengan teman-teman yang hampir tak pernah dapat dilakukannya. Semua pekerjaannya dilakukannya sendiri, beruntungnya hampir semua pekerjaan rumah sudah menggunakan peralatan modern sehingga meringankan pekerjaan yang ada. Terkadang memang Chandra dengan suka rela membantu pekerjaan rumah tangga mereka. Bahkan pada saat tertentu, misalnya saat Dini harus pergi seharian, semua pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikannnya, dan ini yang sering membuat Dini tak enak hati. Demikian juga bila dilihatnya Dini kelelahan atau jenuh dengan pekerjaannya, Chandra tanpa sungkan akan memijitinya sambil berseloroh “ Sini Boos, saya pijitin pasti semua lelah dan stres akan segera pergi”. Dini menjadi merasa sangat diperhatikan dan dimanja. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, mendapat suami yang sangat menyayanginya.

“ Dinda...selamat pagi, hari libur gini punya rencana kemana?” bisik Chandra mesra di telinga Dini, sambil membelai rambut Dini yang kusut karena tidur. Dini hanya menggeliat malas, “Dinda lagi nggak sholat Bang...huaah,” sahut Dini dengan mata masih terpejam.

“ Heeeh, iya sayaang , Abang tidak menyuruh sholat, tapi nanya hari ini ada rencana kemana?“ kata Chandra lembut sambil memainkan hidung mancung Dini.

“ Abang, hiiih..masih ngantuk” Dini tak suka dengan kebiasaan Chandra selalu memencet-mencet hidung Dini yang mancung bila membangunkannya.” Gak kemana-mana,huaah...” Dini menguap lagi.

“ Dindaa, bangun laah, ataau...” Chandra menjatuhkan tubuhnya yang sudah wangi di dekat tubuh istrinya lalu memeluk erat. Demi mencium aroma segar tubuh suaminya yang sudah mandi, dan memeluk dirinya yang masih tidur dari belakang, Dini segera meronta.” Abaaang, hiih, Dinda masih bau ini, risih tau!” Dini mendorong tubuh suaminya, namun Chandra justru mengeratkan pelukannya.

“ Selagi Dinda tidak bangun, Abang ikutan tidur lagi aja,” Chandra malah memejamkan mata dan pura-pura mendengkur dengan tangan semakin erat memeluk tubuh istrinya.

Dalam beberapa kejap Dini menikmati pelukan hangat dari tubuh kekar suaminya, ada kedamaian penuh cinta. Dini segera sadar “ Abaang lepas dong, gimana Dini bangun kalo gak dilepas,” Dini mencoba melepas pelukan suaminya.” Males ah pengen tidur lagi aja, sini..!”Chandra menarik lagi tubuh istrinya yang sudah akan bangun, dan tubuh Dini justru menindih tubuh suaminya.

“ Hiih , Abang ini, Dinda mau ke kamar mandi ini, nanti keburu siang, gak mau ngopi dulu apa..?”

“Tak perlu mandi.., tak perlu ngopi..Abang cuma pengeeen....” Chandra pun menciumi wajah istrinya dengan semangat.

“Abaang , sudah , hiih malu tau, Dinda kan masih bau” protes Dini, wajahnya memerah.

Chandra hanya tersenyum lalu melepaskan pelukannya. “ Iyaa deh, sayaang, mandi gi, eeh nanti Abang gak usah dibuatin kopi, tadi Abang sehabis sholat Subuh sudah buat sendiri. Habis Dinda nggak bangun -bangun.” kata Chandra dengan ekspresi masih menggoda istrinya. Dini segera meninggalkan suaminya, malu kalau suaminya bisa membaca pikirannya. Kalau sebenarnya dia masih ingin berduaan di kamar, namun karena sedang tidak suci, Dini tak ingin terbuai lebih lama.

Di kamar mandi Dinda tersenyum-senyum sendiri, membayangkan kehidupan mereka berdua. Walau sudah 15 tahun berumah tangga, Chandra masih saja memperlakukannya seperti di awal-awal pernikahan mereka. “Semoga selamanya seperti ini, ya.. Allah” doa Dini slalu.

“Ndaa, jangan lama-lama di kamar mandinya! Nanti Abang susul lho..”Seru Chandra yang masih berbaring santai.

Setelah membasuh tubuh sekadarnya, Dini bergegas keluar kamar mandi, berganti pakaian, merapikan rambutnya, mengolesi bibirnya dengan lipstik tipis dan menaburkan sedikit powder ke telapak tangannya lalu mengeluskannya di wajahnya yang putih.

Tanpa menghiraukan suaminya yang masih tersenyum-senyum memandanginya, Dini segera menuju ke kamar Raka dan Rayi. Segeralah terdengar rengekan Rayi dan keluhan Raka yang masih ingin tidur, dan seperti biasa, Dini akan membujuknya dengan sabar.

Dini dan Chandra memang selalu membiasakan anak-anaknya bangun pagi dan bila memungkinkan sholat Subuh berjamaah.

Assalamualiakum... selamat pagi semua,” sapa Dini kepada guru-guru di ruang guru itu.

Wa’alaikum salam warohmatullahhiwabarokatuh,” guru di ruang itu menjawab serempak.

“Apa kabar Pak Sodik, gimana liburannya? Kemana saja, pulang kampung nggak?” Dini menyalami Sodikin, guru paling senior di sekolah itu dengan hangat.

Alhamdullilah Bu, walau libur ini 20 hari tapi rasanya masih kurang saja, apalagi rasanya belum hilang kangen saya bermain dengan cucu,” jawab Sodikin dengan gurauannya.

“Oh liburan ke rumah anak di Lampung ya? Wah pasti sedang lucu-lucunya anak si Ilham itu.”

“Begitulah Bu, saya heran, belum pernah bertemu, tapi cucu saya itu seperti sudah kenal saja dengan kakeknya. Langsung lengket dan tidak mau lepas dari saya.” Kata Sodikin bangga.

“ Kalau libur Ramadhan nanti, suruh saja Ilham itu puasa di sini. “

“ Ya Bu, Insya Allah.”

“Bu Tini, gimana liburannya... kemana saja si Nila jalan-jalan,” sapa Dini kepada Martini ramah.

“Wah Bu, biasa... bercapek ria dan program gali lubang,” seloroh Martini.

“Nggak apa-apa sumbernya kan dua, untuk apa ditumpuk, untuk bantal?” Goda Dini

“Ahh, Ibu bisa saja, coba kalau libur itu tak usah lama-lama tapi sering gitu lho, jadi liburan cukup ke rumah nenek kakeknya saja,”canda Martini.

“Huu maunya, seminggu masuk, seminggu libur gitu,” seloroh Winda yang dari tadi hanya diam.

“Halaaah Bu Winda pasti juga senang kan kalau memang ada liburan model itu,” balas Martini.

Guru-guru yang belum disapa Dini pun maju untuk menyalaminya bergantian.

“Sehat Pak Dodo?”

Alhamdulillah.. Bu.”

“Apa kabar keluarga Bu?”

“Baik- baik Bu.”

“ Menyenangkan liburan Pak?”

“ Biasa saja Bu.”

Dini memang selalu ramah pada semua bawahannya, dan hampir semua bawahannya juga menaruh hormat padanya. Karena Dini memang bisa menciptakan suasana kerja yang harmonis penuh kekeluargaan. Memang ada beberapa kerikil kecil yang menjadi batu sandungannya, namun karena kesabaran dan kelembutan sikapnya, kerikil itu tak mampu menjadi besar.

Dengan ekor matanya, dilihatnya sekilas guru baru yang baru lulus tes CPNS dan baru mulai masuk hari pertama di sekolah itu. Dia kelihatan bingung duduk di kursi tamu ruang guru itu, tampak sekali sikap kaku dan kecanggungannya. Lelaki muda itu mengatasi kecanggungannya dengan meremas-remas telapak tangannya, semua tak lepas dari pengamatan diam-diam Dini. Sebelum liburan, guru baru ini sudah melapor tentang SK penempatan di sekolah ini. Ternyata masih sangat muda, tubuhnya tinggi tegap, potongan rambutnya rapi, pakaian PDH yang melekat di tubuhnya tampak ketat, seperti pakaian taruna di akademi militer. Mungkin memang lebih cocok dia jadi polisi, pikir Dini dalam hati.

“Ehh mengapa aku jadi perhatian sampai sejauh ini, toh bukan urusanku juga, justru aku tak perlu mengarahkan cara berpakaian yang sesuai pada guru baru ini. Hal yang harus sering dilakukan pada rata-rata guru baru, karena selalu tampil sesukanya, alergi pada pakaian dinas yang ditetapkan,” batin Dini.

“Slamat datang Pak Nugi, jangan hanya menyendiri di situ, Bapak-Ibu .. ini Pak Nugiantara, guru baru kita, yang Insya Allah akan mengampu pelajaran IPA , dia ini sebenarnya sudah lapor di bulan Mei kemarin, namun karena beliau harus mencari tempat tinggal, mengurus kepindahan dan segala sesuatunya, apalagi waktu itu akhir tahun pelajaran, saya memberi kelonggaran pada pak Nugi untuk belum mulai bertugas. Jadi baru kali ini beliau bersama kita, saya harap Bapak Ibu guru semua membantu dan membimbingnya untuk lebih mengenal sekolah kita, serta yang lebih penting kerjasamanya agar kinerja kita lebih solid” kata Dini panjang lebar.

“Kalau boleh tahu, sudah ada pendamping atau masih sendiri,” celetuk Subandi, guru yang selalu heboh dengan leluconnya.

“Itu nanti tanyakan sendiri, siapa tahu ada yang bisa menaruh harapan,” gurau Dini

“Kalau masih jomblo, anak ku juga udah besar kok, asal mau menunggu 5 tahun lagi,” seloroh Linda yang anaknya baru mulai kuliah.

“Heeh, mengapa lama-lama menunggu, di sini kan ada yang sendiri juga,” celetuk Martini sambil melirik pada Destika, Guru honorer yang memang masih sendiri.

“Ahh..Diam-diam Bu Destika itu sudah ada yang punya, tinggal tunggu cetak undangan saja.”

“Siapa bilang? Ada-ada saja Ibu ini.” Destika sewot namanya di sebut-sebut.

“Kalau menurutku, Pak Nugi ini pasti sudah ada yang punya meskipun belum dijanur kuning, ganteng sih, persis saya waktu masih muda. Paling tidak panjang antriannya yang menunggu dipetik. Betul tidak Pak Nugi?” seloroh Subandi.

“Kalau masih sendiri, pasti sudah banyak gadis yang patah hati atau bertepuk sebelah tangan’’ timpal Budi, sang Pembina OSIS.

Nugiantara, si guru baru hanya senyum-senyum saja, mendengar celotehan rekan-rekan barunya, dan tetap tak beranjak dari tempat duduknya.

“ Bapak Ibu, sudah! Kasihan tuh Pak Nuginya di hari pertama harus kena bully! ” kata Dini sambil mengangkat kedua tangannya.” Oya, Pak Deni, tolong beritahu semua guru nanti jam 11 kita adakan rapat koordinasi guru dan staf, anak -anak bisa dipulangkan lebih awal saja, beri pengertian pada mereka, agar orang tua mereka tidak salah faham. Dan... Pak Budi kegiatan MOS dimulai besok pagi kan? Pastikan tak ada kegiatan yang aneh-aneh” kata Dini berwibawa.

“Baik Bu,” Deni Mardika si waka kurikulum dan Budi Atmojo si pembina OSIS serempak.

“Pak Nugi, silahkan berkenalan dengan semua guru, kalau sudah, nanti temui saya di ruangan saya!” perintah Dini berwibawa.

“ Baik Bu...” jawab Nugi hormat. Dalam hatinya terpikir ada apa harus menghadap, di hari pertama pula.” Bu Dini ini masih muda tapi kelihatan sangat berwibawa dan tegas tapi juga hangat ke semua orang” pikirnya. Nugiantara mulai menyalami semua guru, mengenalkan diri.

Assalamualaikum Bu?” Sapa Nugi sambil mengangguk hormat. Nugiantara menyapa Dini, sang Kepala Sekolah yang sedang berbicara dengan seseorang di handphone. Dini memberi isyarat mempersilahkan masuk dan duduk pada Nugiantara. Dini kembali memberikan isyarat untuk menunggu sambil tersenyum. Untuk sekejap Nugi terpana dengan pemandangan di depannya. Seorang wanita anggun duduk di belakang meja kerja. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, mirip Gong Li, bintang flim Korea, ada tahi lalat di sudut alis kanannya, hidungnya mancung dan alisnya tebal tanpa dilukis. NIP di papan nama menunjukkan usianya, sungguh tak sesuai. Tampak jauh lebih muda.

Ruangan kepala sekolah ini tidak terlalu luar, ber-AC, dan menghadap langsung ke taman depan. Di atas meja itu ada beberapa buku tersusun rapi, vas bunga mungil dengan bunga kaktus di atasnya. Di sisi kanan meja, ada tas Capriasi warna krem, senada dengan warna PDH yang dikenakannya. Kain gorden berwarna gold bercorak bunga-bunga warna pink, ditambah gorden transparan warna putih menambah nyaman ruang ini. Di belakang tempat duduk ada almari kaca yang di dalamnya berjejer piala-piala lomba dan beberapa hiasan pajangan karya terbaik anak-anak.

“Baik Pak, tapi sebaiknya kita bahas saja nanti di pertemuan musyawarah kerja kepala sekolah, kalau perlu orang dinas kabupaten diundang, bagaimana Pak? Tak ada gunanya kalau hanya bicara di belakang, tapi nanti di forum hanya diam.” Dini masih berbicara dengan serius. Nugi mencoba mencuri pandang, memperhatikan Dini. Di balik wajahnya yang cantik dan keibuan ternyata tegas dan keras. Terlihat dari nadanya menerima telepon, pasti bukan dari orang sembarangan, paling tidak sesama kepala sekolah. Nugi terkesima saat pandangannya berbenturan dengan pandangan Dini.

Dini kelihatan ingin segera mengakhiri pembicaraannya, namun orang di seberang sana kelihatannya masih juga berbicara. Nugi duduk menunggu dengan sabar.

“Ya..ya Pak nanti kita bahas di MKKS saja, siapkan saja semua agenda yang akan Bapak usulkan, pastikan dasar-dasar peraturannya, kalau Bapak tidak berani, biar saya yang menyampaikan nanti. Maaf saya ada tamu dan sudah menunggu ini, Assalamualaikaum, ” nada Dini agak ketus, lalu menutup handphone Samsung lipatnya.

“ Maaf ya .. Pak Nugi, jadi menunggu..orang ini kalau sudah menelepon, kalau dilayani nggak habis-habis. Ada saja yang disampaikan. Padahal kalau sedang rapat MKKS diam saja, setuju..setuju..Ehh bila di belakang menggerutu. Dasar..Bikin kesel saja “ kata Dini seolah mengadu. Nada suara yang penuh wibawa tadi berubah drastis, walau masih tampak kesal tetapi menjadi lebih bersahabat. Apalagi Dini sekarang duduk di depannya, sama-sama di sofa bludru batik, tempat biasa Dini menerima tamu di ruang kepala sekolah itu.

“ Gimana? Sudah kenalan dengan semua guru, sebaiknya juga dengan seluruh staf TU, sudah disediakan kursi untuk Bapak tadi, sudah mulai keliling sekolah ini belum? Mudah-mudahan Bapak segera dapat menyesuaikan diri, apalagi Bapak kan dari kota. Jadi sekarang tinggal di mana?” tanya Dini seperti petasan renteng. Ramai...

Mendengar rentetan pertanyaan yang tak terduga itu, Nugi hanya bengong.

Dini yang gantian terpana, melihat Nugi hanya diam. Guru baru ini kelihatannya bersahaja, dan sorot matanya juga tegas. Potongan rambut dan postur tubuhnya, mengingatkannya pada Samuel Rizal, bintang Eifell In Love. Seharusnya orang ini jadi anggota militer atau artis saja, pikirnya. Tapi mungkin sudah pilihan hidupnya, membatin Dini.

“Em... Eh anu Bu, sudah.. saya tadi sudah disediakan meja dan kursi oleh Pak Totok.” jawab Nugi gugup,” sementara saya tinggal di rumah saudara di kota, soalnya saya masih sangat baru di sini, Bu”

“Yang penting Bapak nyaman, bisa selalu datang tepat waktu ,“ pinta Dini.

Insya Allah, saya usahakan secepatnya mencari kontrakan yang dekat, Bu.”

“Oya , Pak Nugi...dari arsip yang saya baca, kamu baru lulus kuliah, dengan predikat cum laude, ikut seleksi CPNS langsung lulus, beruntung sekali ya, jarang lho kesempatan yang seperti itu, hebaat..” Dini mengacungkan dua ibu jarinya. Ada perasaan aneh ketika disapa dengan kata kamu, seolah sudah kenal lama dan hilanglah semua keformalan di sana. Cara berbicara serta sikap Dini sangat berbeda dengan di ruang guru atau ketika menerima telpon tadi. Dini begitu hangat dan bersahabat.

Aaaah ...perasaan apa ini, keluhnya. Tak boleh terjadi. Sadar... sadar Nugi... siapa dirimu... Hanya guru baru...

Alhamdullilah... Bu, saya memang beruntung, Allah mendengar doa-doa saya Bu.. “ jawab Nugi pelan

“Bolehkah saya mendengar sedikit tentang riwayatmu, memang bisa saja aku membacanya di daftar riwayat hidup, tapi tentu akan lebih jelas kalau aku mendengar dari kamu. Gimana? “

Darah Nugi berdesir, “kamu”...”aku” mendengar permintaan yang tak terduga itu, timbul bermacam pertanyaan dalam hati, sehingga bukannya segera menjawab, Nugi justru terpana membisu.

“ Lho kok malah diam, kalau keberatan ya... tak apa-apa,” kata Dini sambil tersenyum, “ini bukan perintah kok, santai saja lah, jangan tegang begitu, kok seperti diintrogasi saja,” olok Dini.

Mendapat olok-olok yang tak terduga itu Nugi menjadi salah tingkah, lalu memcoba tersenyum sewajar mungkin. Mudah-mudahan bos ku ini tidak bisa membaca pikiranku, batinnya.

“ Emmh , boleh Bu, tapi saya harus mulainya dari mana?” Nugi mencoba tenang agar tak terlihat gugup.

“ Ya.. terserah kamu, bisa dari keluarga, masa sekolah atauuu, pacar mungkin,” goda Dini.

Upps.. ini kepala sekolah aneh, memanggil menghadap di hari pertama disuruh cerita pacar...betul-betul aneh...Batinnya.

“ Saya sulung dari dua bersaudara, orang tua saya PNS di Dinas Pendidikan. Guru sebenarnya bukan pilihan hati, tapi sejak SMA orang tua menganjurkan saya untuk mengikuti jejak ibu saya. Katanya dengan menjadi guru, tugasnya lebih mulia dan banyak yang dapat kita lakukan untuk hidup yang lebih bermanfaat. “ Nugi menghela nafas dan menghembuskannya pelan-pelan. “Sebenarnya saya baru putus, karena pacar saya memilih bekerja di luar kota, sedangkan nasib saya di sini“ Jawab Nugi mencoba jujur. Nugi tertegun sendiri, mengapa bisa sejujur ini untuk hal yang sebenarnya privasi, pada seorang atasan pula.

“ Tapi tak menyesal kan? Buktinya tanpa harus melalui perjuangan panjang , kamu sudah jelas masa depannya. Soal jodoh untuk kamu yang tampan gini, pasti antri... atau perlu aku bantu..hahaha” goda Dini. Wajah Nugi memerah seperti kepiting rebus, hatinya jengah. Salah tingkah.

“ Ah! Ibu..Maaf, ada keperluan apa tadi memanggil saya?” tanya Nugi mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin bos barunya ini menggodanya terus.

“ Ohh ... maaf, maaf, tidak ada apa-apa kok, sekedar ingin lebih mengenal Pak Nugi saja kok,” jawab Dini senyum-senyum.

“ Kalau begitu saya mau ke ruang TU dulu Bu, menyerahkan data-data yang masih belum lengkap.” pamit Nugi dengan sopan.

“ Iya.... silahkan! “kata Dini lembut. Dini merasa ada yang tergores dengan sikap Nugi yang seolah tak ingin berbicara lebih lama. Di matanya, Nugi seolah berusaha menghindar. Walau memang sebenarnya tidak ada hal penting yang akan disampaikannya. Ahh! Ada apa dengan aku ini, mengapa aku jadi memikirkan guru baru ini. Mengapa aku merasa diabaikan. Rasa apa ini? Apakah aku...? Hah...sadar Dini, kamu kepala sekolah dengan dua orang anak dan suami yang sangat menyayangimu.

Dini menyandarkan punggungnya di kursi putarnya, matanya dipejamkan, mencoba untuk menghalau perasaannya. Berusaha menyadari kebodohannya dan mencari penyebabnya. Tapi mengapa wajah Nugi justru menari-nari di pelupuk matanya, padahal orangnya sudah pergi setengah jam yang lalu. Perasaan apa ini namanya.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post