Mbok Ndewor 2
Tinah hanya diam saja, ia tak ingin memperkeruh suasana. "Menjadi perawan tua, atau menerima pinangan Rugimin." Itulah bayangan masa lalu yang sedang terlintas di pikiran Tinah. Dari awal sebelum menikah ia sudah mengetahui watak dan keseharian Rugimin. Namun setelah menikah, Tinah berharap suaminya dapat memperbaiki diri dan menjadi yang terbaik.
Rugimin menunjukkan perubahan sikap hanya setelah dua bulan ia menjadi pengantin baru. Kemudian sikap buruknya kumat lagi dan menjengkelkan orang-orang yang ada disekitarnya.
Tinah hafal betul, suaminya selalu ngedumel ketika harus merumput. Rugimin merasa diperas tenaganya untuk menghidupi keluarga dari pihak istrinya saja.
“Ngarit lagi, ngarit lagi. Kenapa harus aku saja yang ngarit. Padahal kalau sapinya dijual seluruh isi rumah ini menikmati hasilnya.” Itulah dumelan yang sering diucapkan oleh Rugimin saat ia akan berangkat merumput.
Rugimin yang malang, mengayuh sepedah bututnya untuk pergi merumput. Gagang sabit sudah biasa ia selipkan ke pinggang, dan membiarkan mata sabitnya tak terbungkus apapun.
Kala itu sampailah ia di persimpangan jalan. Seorang pemuda, sedang mengendarai motor tak sengaja menyerempet Rugimin. Lengkungan sabitnya mendarat ke lengan bawah pemuda itu, hingga urat uratnya nyaris terputus.
Rugimin shock . Raut wajahnya ketakutan, keringat dingin keluar diiringi oleh getaran tubuh yang sangat hebat.
“Ma’, Ma’af saya tidak sengaja. Ma’afkan saya.” Hanya itulah kata yang mampu Rugimin ucapkan.
“Astaga, kok bisa toh.”
“Aduh. Kasihan.”
“Ayo, cepat bawa ke Graha.”
Suara-suara itu diucapkan saling bersahutan oleh dua orang yang sedang menolong pemuda korban sabit Rugimin. Mereka fokus menyelamatkannya. Sementara Rugimin dibiarkan begitu saja.
Tanpa membuang waktu lagi, Rugimin mengayuh sepedahnya dengan kencang sekali dan meninggalkan tempat kejadian . Jalanan kampung yang sepi itu membuat Rugimin lolos dari kejaran warga. Karena saat itu tak ada warga yang lalu lalang di jalanan tersebut.
Tak menunggu waktu lama, kabar tentang kecelakan itu menyebar pada warga sekitar. Mak Zainab dan Tinah pun mendengarnya, karena rumah mereka dengan tempat kejadian hanya berjarak lima ratus meter saja.
“Hemmm,” Mak Zainab menghela nafas. “Suamimu bikin ulah lagi.”Pekik Mak Zainab sambil mebolak balik udang udang kecil yang sedang di jemur diatas balai anyaman bambu. Teriknya matahari memang selalu dinanti oleh mereka berdua. Terutama Mak Zainab yang sudah pensiun menjadi tukang ngasak di sawah-sawah petani yang sedang panen. Ia sudah tak kuat lagi menyunggi hasil asakannya.
“Entahlah. Dia memang pengecut bukannya bertanggung jawab malah ngilang.” Kata Tinah.
“Hadeuh, mau tanggung jawab pakai apa? Jual sapi lagi? ”. Kata Mak Zainab. “Pantas saja kalau dia minggat.” Tambah Mak Zainab.
Apa yang diucapkan Mak Zainab memang benar, Tinah tak dapat berkata apa-apa lagi. Di-pandanginya cincin yang melingkar di jari manisnya. Baru sebulan ia membeli benda mahal itu dari sisa uang belanja yang ia kumpulkan selama dua tahun.
Melepaskan hasil tangkapan nelayan dari jalanya, dijadikan sumber penghasilan Tinah. Biasanya ia diberi upah dua puluh lima ribu sampai tujuh puluh lima ribu perhari. Dari situlah dapur rumah Tinah mengepul, dan uang sekolah Sofie dulu dibayarkan.
Belum puas Tinah memandangi cincinnya tiba tiba, suara motor RX King meraung- raung di depan rumahnya. Mereka adalah Pak Kampung yang diikuti oleh beberapa warga.
“Permisi. Kami ingin meminta pertanggungjawaban dari Rugimin. Gara-gara sabitnya seorang pemuda dari kampung sebelah menjadi celaka.” kata Pak Kampung.
“Kami tidak punya apa-apa Pak. Biaya pengobatannya pasti mahal.” Kata Tinah.
“Jual saja sapinya.” Teriak salah seorang warga yang menyertai Pak Kampung.
"Eh, eh." Jangan. Kata Mak Zainab. "Itu sapi milikku." Jangan dijual. Yang menabrakkan Rugimin, minta saja pertanggung jawabannya pada Rugimin.” Kata Mak Zainab.
“Mak, Rugimin itu kabur. Terus bagaimana dia bisa dimintai pertanggung jawaban”. Kata Pak Kampung, mencoba sabar menghadapi Mak Zainab.
“Pokoknya nggak bisa, di pekarangan ini sapi, tanah rumah dan seisinya itu milikku. Rugimin itu hanya mantu yang numpang disini. Enak saja tiba-tiba mau jual sapi.” Kata Mak Zainab. Napasnya naik turun, ia terlihat sekali sedang menahan amarah.
“Ah sudahlah Pung, kita lapor saja ke polisi. Emak Garang ini bukan tandingan kita. Percuma saja kita bicara. Lha, wong mantunya yang salah. Kok malah dia yang marah-marah.” Begitulah sahutan yang terdengar lagi dari salah seorang warga yang membersamai Pak Kampung.
Bersambung.....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mksh, tp kayaknya udah ga dibedah lg. Saya masih menemukan beberapa ketidaksesuaian dengan kaidah
Mantullll :))