Inilah..
Apalah hamba ini? Hanya seorang manusia biasa, keturunan ke-sekian miliar dari adam dan hawa. Tak pantaslah jika tidak bersyukur atas anugerah Allah SWT untuk semua karunia yang diberikanNya.
Sepasang mata yang indah dengan garis lengkung yang khas untuk mengamati keadaan dunia yang semakin hari semakin rumit. Tidak berkacamata kuda seperti kuda kebanyakan dan tidak pula bermata empat, seperti istilah bagi orang yang berkacamata. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Sepasang telinga hamba masih bisa mendengar dengan jelas, celotehan kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah. Terkadang mendengar keluhan, pujian. Sebenarnya, jika sepasang telinga ini dapat berbicara tentu saja ia akan menyampaikan kepada sang empunya agar selalu mendengar kebenaran. Ia akan berbicara agar selalu mendengar nasihat dan firman-Nya, bukan mendengar keluhan setan agar berbuat dosa dan aniaya. Jika kedua telinga ini ditutup, hilang sudah suara-suara merdu yang dapat menjerumuskan atau menggetarkan rasa. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Syukur, hamba masih memiliki hidung dengan dua lubangnya. Walaupun sedikit pesek, namun berguna untuk bernapas. Hidung untuk menghirup aroma kesegaran, terkadang menghirup aroma kesumpegan. Namun, jika hidung ini tersumbat, segala nikmat tak dapat dihirup. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Allah SWT mengaruniakan kedua bibir, bibir atas yang agak tipis dan bagian bawah yang agak tebal. Untuk memperindah, terkadang hamba mewarnainya. Tak perlulah warna yang mencolok karena si setan akan mudah menjerumuskan. Bukan menjerumuskan hamba, namun menjerumuskan siapa yang memandang, tidak usah ke-ge-er-an, karena satu poin dosa sudah kita masukkan dalam celeng amalan. Tidak lupa pula dengan sebuah mulut untuk berbicara, barisan gigi yang masih untuh melengkapi karunia-Mu. Biarpun gigi-gigi ini tidak seperti gigi dalam iklan pasta gigi, tetapi masih dapat memenjarakan si lidah agar tidak berbicara menyakiti perasaan orang lain. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Hamba seorang perempuan. Terlihat keras namun lembut di dalam. Itu bukan karena apa-apa. Tapi, masalah hati. Hati yang sebetulnya adalah jantung. Jantung yang masih bisa berdegub kencang ketika mendengar kepedihan. Yang terlalu sensi ketika mendengar bait ‘poligami’. Hati yang selalu berbicara sendiri. Hati yang berdoa untuk mengharap ridha Ilahi. Namun terkadang, hati yang tersasar karena melihat kelebihan orang, tak mensyukuri keadaan hamba pribadi. Melenceng sedikit ke arah kiri karena sedikit rasa iri. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Sepasang tangan yang masih sehat ini, masih dapat mengangkat beban belanjaan yang berpuluh kilo. Dilengkapi dengan jari-jari yang sepuluh jumlahnya.. Lentiknya jari-jari hamba memang tidak selentik jari-jari gadis ting-ting. Kata orang, jari-jari ini mirip baris-baris kue bakpao yang siap dilahap Namun, dengan jari-jari ini justru hamba dapat membuat sebuah karya. Karya yang dapat membuat orang tersayang merasa puas dan kenyang. Jari-jari yang dapat menggenggam agar orang tersayang dapat kuat menghadapi dunia. Jari-jari yang dapat memukul rata siapapun yang mengganggu orang tersayang, termasuk menghantam si nyamuk yang nakal. Yang terpenting, dengan jari-jari ini dapat kuhaturkan doa khusyuk kepada Sang Pencipta agar terwujud cita-cita. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Raga hamba memang tidak selangsing artis korea. Namun, kedua kaki hamba masih bisa menopang raga yang rapuh ini. Kedua kaki yang tidak sekurus gadis-gadis girlband korea. Kedua kaki, yang masih mampu berlari puluhan kilometer untuk memilah belajaan di pasar ataupun di mall. Kedua kaki yang masih kuat menginjak-injak kain cucian kotor yang tak sanggup hamba bilas dengan tangan. Kedua kaki yang masih sanggup berjalan menyusuri lorong-lorong untuk menjemput yang terkasih. Kedua kaki yang masih kuat menginjak tanah untuk bertanam. Namun, lebih dari itu. Kedua kaki ini masih berjalan ke depan bukan ke belakang. Kedua kaki untuk menyusuri masa depan, bukan untuk kembali hidup di masa lalu. Kedua kaki yang optimis menjerang rejeki hari-hari. Kedua kaki yang dapat mengantarkan raga menuju mesjid-Mu. Maka, nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Sebanyak apa karunia-Mu untuk hamba? Tidak akan mampu hamba membayarnya. Ini hanya goresan muhasabah diri dari hamba yang tak mampu mengungkapkan betapa besar anugerah Allah SWT kepada hamba yang seharusnya hamba syukuri.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar