Rakyat Susah Mendapatkan Akses Belajar?
Ironis dan menyedihkan. Di tengah era digital dan arus globalisasi yang menuntut sumber daya manusia semakin cerdas dan terampil, fakta menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia masih hanya 9 tahun — setara lulus SMP. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan media nasional seperti Kompas dan Berita Satu menegaskan kenyataan pahit ini, masih banyak anak bangsa yang tidak mengenyam pendidikan menengah, apalagi tinggi.
Pertanyaannya, mengapa akses pendidikan masih menjadi persoalan besar di negeri yang katanya sedang menuju Indonesia Emas 2045 ini? Jawabannya tak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang mendominasi tata kelola pendidikan nasional. Kapitalisme memandang pendidikan bukan sebagai hak dasar rakyat, melainkan komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Akibatnya, kualitas dan kuantitas pendidikan sangat bergantung pada kondisi ekonomi individu dan daerah tempat tinggal mereka.
Meskipun negara telah meluncurkan berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), beasiswa, dan sekolah "gratis", realitas di lapangan jauh dari ideal. Banyak keluarga miskin tidak tahu cara mengakses bantuan tersebut, dan jika pun tahu, kuotanya terbatas serta tidak menjamin semua kebutuhan pendidikan. Sementara itu, daerah tertinggal, terluar, dan terpencil (3T) masih kekurangan guru, fasilitas belajar, bahkan bangunan sekolah. Artinya, ketimpangan akses pendidikan masih menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh.
Masalah diperparah dengan swastanisasi dan komersialisasi pendidikan. Sekolah-sekolah swasta menjamur, menawarkan fasilitas dan kualitas lebih baik, tetapi dengan biaya tinggi. Negara menyerahkan tanggung jawab besar ini kepada pasar dengan dalih efisiensi anggaran. Akibatnya, pendidikan lebih mirip "mesin pencetak tenaga kerja murah" yang mengikuti permintaan pasar, bukan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lalu, bagaimana seharusnya pendidikan dikelola? Islam menawarkan solusi yang fundamental dan tuntas. Dalam sistem Khilafah, pendidikan adalah hak seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin, dan merupakan tanggung jawab penuh negara. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan gratis, berkualitas, dan merata, tanpa diskriminasi wilayah atau status sosial.
Tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya mencetak manusia yang ahli secara akademik, tetapi juga berilmu, bertakwa, dan memiliki keterampilan tinggi yang dibutuhkan oleh umat. Khilafah akan membangun sistem pendidikan yang menyeluruh dan integral, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, serta menyediakan fasilitas dan tenaga pengajar terbaik.
Semua ini tidak sekadar wacana. Khilafah memiliki sumber pembiayaan yang kokoh dari Baitul Mal, khususnya dari pos fai’, kharaj, dan pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, laut, dan hutan yang tidak diserahkan kepada swasta atau asing. Dengan pengelolaan mandiri dan berkeadilan, negara akan memiliki anggaran cukup untuk menjamin setiap warga bisa belajar tanpa harus terbebani biaya.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa selama sistem kapitalisme yang bercokol saat ini terus dipertahankan, masalah pendidikan tidak akan pernah benar-benar selesai. Alih-alih mencerdaskan, sistem ini justru melanggengkan ketimpangan dan kebodohan struktural. Maka, solusi sejati terletak pada perubahan sistem menuju penerapan sistem Islam secara menyeluruh yang menjamin hak pendidikan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.
Wallahua’lam Bish Showab
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar