Penyaji Sepotong Roti

Oleh LIlis Sumarni

Wajah kecewa dibalik meja, kemudian bertanya, kemana sepotong roti yang selalu tersaji. Walau ada pengganti semangkok gandum ataupun sepiring nasi, tetap hatiku sudah jatuh hati kepada sepotong roti. Haruskah kumaki penyanji sepotong roti? Atau kucari untuk kujadikan pelampiasan hati.

Harapan tinggal harapan, tapi impian belum menjadi kenyataan. Walau sang waktu kuburu tanpa ragau. Kuterpaut pada penyaji sepotong roti. Dan aku hanya penyamtap sambil melipatkan tangan. Disini kita pernah beradu pandang. Dan disini pula ada tatapan yang hilang disertai dengan hati bimbang menerawang sebuah penghalang.

Diantara sela-sela meja tampak tetesan butiran air mata bagaikan air bah menyapu semua hidangan. Mejapun menangis tak henti. Ingin rasanya mengulang kembali meyakssikan jari-jari lentik sang penyaji. Dan kita pernah berebut sepotong roti untuk kujadikan santapan jasmani. Namun jauh dilubuk hatiku bahwa penyaji sepotong roti menjadi motivasi rohani dalam sebuah dedikasi. Kuseka butiran bening pada penyerahan diri kapada Sang Ilahi. Menanti penyaji sepotong roti sepertinya harapan yang tidak pasti. Kubaca buku harian penyaji sepotong roti “ Jika kau ingat padaku, berdo’alah agar aku tenang dialam syurga!”

Tamat