Oleh: Lili Suriade, S.Pd

Aku terlahir dengan wajah yang kurang menarik. Namun, aku selalu mengabaikan semua itu dari pikiranku. Aku tidak pernah mempedulikan penampilan, apalagi masalah make up, aku tak mau mengorbankan uang jajanku hanya untuk membeli sebuah lipstick atau bedak. Apa lagi uang dari orangtua, boro-boro beli make up, pakaian sekolahku saja semuanya warisan dari kakakku. Namun, aku punya seribu tekad untuk membahagiakan keluargaku. Aku belajar dengan tekun dan bekerja keras untuk mewujudkan segala mimpiku. Aku punya tekad yang sangat kuat untuk mengangkat derajat keluargaku yang selama ini terpuruk dalam lilitan hutang yang panjang.

Sejak masa kanak-kanak, aku sudah menjadi anak liar. Kegiatan-kegiatan di luar rumah yang menguras nyali dan tenaga sudah biasa aku lakukan, apalagi yang menyangkut masalah berburu rupiah, aku adalah jagoannya. Aku selalu bangun pagi, lalu berebut buah ambacang, buah pinang dan buah durian dengan temanku Selvi dan Eka. Walau semua buah-buahan itu milik tetangga atau orang lain di kampungku, namun kami tak peduli, seolah-olah semua itu sudah menjadi kebiasaan yang telah dihalalkan oleh masyarakat di kampung ku.

Selain itu, aku juga sering terjun ke sawah dan ke ladang. Padahal aku sendiri tidak punya ladang, namun aku selalu menemani amak mencari kayu bakar ke ladang orang lain. Sekali lagi, kegiatan ini seperti juga dihalalkan oleh semua orang di kampungku.Buktinya, begitu banyak orang yang mencari kayu bakar ke ladang orang lain yang bukan familynya sekalipun. Kini baru aku tahu, demikianlah perbedaan orang dulu dengan orang sekarang. Sekarang semua orang bersifat individuallis, kebersamaam semakin samar. Namun itulah hidup, kita harus siap dengan segala perubahan, sekali pun sebenarnya perubahan itu makin membuat kita terasa jauh dengan orang lain.

Sumpur Kudus, 27 Desember 2021