Saat Asa Hampir Sirna
Oleh: Lili Suriade, S.Pd
Aku memandang seluruh ruangan di rumah ini dengan pikiran kosong. Seolah tak tahu lagi harus berbuat apa, aku makin terpuruk dalam keputusasaan. Ketika mataku mengarah pada jam dinding kayu yang ku dapat sebagai hadiah dari salah seorang siswaku beberapa tahun yang lalu, aku makin lesu.
"Ya Allah..sudah jam 2 tengah malam, namun mataku belum ngantuk sedikitpun."
Kenapa aku begini? Padahal seharusnya masalah seperti ini tidak asing lagi bagiku.
Tiga tahun yang lalu, adikku yang bungsu merengek di suatu senja.
"Uni..aku mau masuk akademi pelayaran. Apa boleh?"
lama aku terdiam, bisu. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku sangat menyayangi dia. Sebagai seorang kakak yang sejak dia bayi, selalu ku timang-timang, tentunya aku sangat ingin melihat dia sukses dan bahagia. Namun di sisi lain, aku tak lagi punya tabungan untuk membiayai kuliahnya. Aku sudah punya keluarga dengan 4 putri yang tentu saja membutuhkan biaya besar setiap hari.
Berhari-hari lamanya aku berpikir keras sendirian. Tentu saja sendirian. Karna kalau bercerita kepada orang lain, aku yakin hanya akan membuat mentalku jadi pesimis. Akhirnya aku menemukan solusi. Aku memberanikan diri mengajukan pinjaman di koperasi sekolah dengan jumlah yang cukup besar. Uang itulah yang kugunakan untuk membiayai pendidikan adik ku di pulau Jawa selama 1 tahun lebih.
ALhamdulillah akhirnya dia bekerja pada sebuah kapal pesiar di Amerika. Tentu saja, aku punya harapan besar kepadanya. Aku berharap, dia akan mengirimkan rupiah untuk membantuku membayar hutang koperasi yang memang seluruhnya kugunakan untuknya. Namun hanya berjalan 1 tahun Corona melanda dunia. Akhirnya adikku dipulangkan, dan aku tentu saja harus bersiap menanggung semua hutang itu dalam kurun waktu yang masih panjang.
Besok adalah waktu terakhir pembayaran hutang koperasi bulan Desember.
Hingga malam ini, aku belum mendapatkan uang sedikitpun. Ketika seekor cicak melintas di didinding temapatku bersandar, aku baru sadar bahwa cicak yang kurang ajar itu sengaja menertawakan nasibku malam ini. Sebab, dia tahu selama ini aku sangat jijik padanya. Hingga malam ini dia seolah membalas sakit hatinya padaku. Dasar cicak edan! Aku memukulnya dengan sandal jepit yang memang dari tadi tersusun rapi di rak sepatu di samping aku bersandar ini. Namun, dia berhasil lolos dari kejaranku.
"Ya Allah..Engkau tengah mengujiku. Kuatkanlah aku, berilah aku petunjuk dan resky agar aku bisa membayar tagihan bulan ini." doaku lirih seusai sholat Isya tadi.
Seharusnya aku sudah terlelap bersama anak-anakku saat ini. Namun, aku makin gelisah di sepertiga malam ini. Aku makin kalut dan mataku seolah bekerja sama dengan pikiranku yang mulai pasrah.
Terbesit keinginan untuk menelpon orang-orang terdekat yang pernah kudatangi selama ini. Namun, aku malu. Aku tak mau dicap sebagai orang yang selalu berhutang. Biarlah ku coba mencari jalan sendiri tanpa berkeluh kesah kepada siapa pun.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Allah..aku masih punya Allah. Aku harus curhat padaNYA!" aku langsung meloncat ke kamar mandi untuk berwudhuk. (bersambung)
Sumpur Kudus, 23 Desember 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar