Bimbang (Part 3 of 5)
Sudah hampir satu bulan berlalu dari malam yang sangat kelam itu. Dinda memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Dia akhirnya memberikan kesempatan pada Radit untuk memperbaiki segalanya. Tidak mudah memang. Tapi mengingat perjalanan mereka selama 13 tahun ini, Dinda merasa tidak ada salahnya mencoba. Apalagi Radit sangat menyayangi Ibu. Ibu pasti akan terpuruk jika Dinda dan Radit tidak lagi bersama. Demi menimbang kemungkinan terburuk itu dan juga Radit yang selalu memohon agar mereka tidak berpisah, Dinda berusaha keras melupakan pengkhianatan Radit. Meski kadang-kadang rasa nyeri itu sering muncul tanpa diundang.
”Ibu, kita sarapan dulu yuk” ajak Dinda kepada ibunya yang masih berbaring di tempat tidur.
”Tunggu sebentar nak, ibu masih pusing” jawab ibunya
Dinda segera melangkah mendekat ke ibunya dan mengambil posisi duduk di tepi tempat tidur.
”Baiklah. Dinda tunggu Ibu disini saja. Jadi kita bisa sama-sama ke meja makan”
”Kamu duluan saja. Kasihan Radit kalau harus makan sendirian”
Dinda menggeleng pelan. “Enggak kok Bu, tadi malah Uda yang suruh Dinda kesini. Mana mau Uda makan kalau ibu belum bergabung?”
Ibu tersenyum.
”Ibu baik-baik saja kan?” tanya Dinda kemudian
”Dari semalam kerongkongan ibu gatal. Badan ibu juga agak lemah rasanya.”
Dinda segera meraba kening ibunya. Dinda terkejut saat mengetahui badan Ibu panas.
” Uda... Uda..” teriak Dinda dari kamar
Tidak sampai beberapa detik Radit sudah ada di kamar ibu.
” Ada apa Dinda? Kenapa suara Dinda terdengar begitu cemas?”
” Kita bawa ibu ke klinik ya Uda? Suhu badan Ibu sangat tinggi. Dinda takut ibu kenapa-kenapa” kata Dinda kemudian. Sejak beberapa tahun ini, Dinda selalu panik jika suhu badan Ibu tinggi. Dia tidak ingin terlambat membawa Ibu berobat.
” Tidak usah. Ibu di rumah saja. Paling sebentar lagi juga sembuh. Tolong carikan saja Ibu obat demam di apotik.” Tolak ibu. Sejak adanya anjuran pemerintah untuk tetap di rumah, Ibu tidak pernah kemana-mana kecuali pergi kontrol kesehatan. Apalagi sejak ada kabar bahwa di komplek depan ada yang sudah terpapar COVID-19, ibu sangat takut berpergian.
”Tapi Bu, kami tidak berani memberi obat sembarangan buat Ibu. Kita berobat ke klinik dokter Lisa saja. Beliau lebih tahu obat yang cocok buat Ibu. Sekalian nanti beliau juga bisa memeriksa kondisi Ibu. Rasanya disana tidak menangani pasien Covid-19.” Radit mencoba meyakinkan ibu untuk berobat ke Dokter Onkologi yang biasa menangani Ibu. Dan seperti biasanya, ibu selalu mengangguk kalau yang menyuruh adalah Radit, menantu kesayangan ibu.
”Dinda bantu Ibu untuk bersiap-siap sementara Uda memanaskan mobil” kata Radit kemudian.
*****
Dinda dan ibunya baru saja keluar dari kamar ketika tiba-tiba ada beberapa orang berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) ditemani dua orang petugas kepolisian memasuki pagar rumah mereka. Salah satu petugas langsung berbicara dengan Radit yang seketika membuat wajah Radit menjadi sangat pucat. Radit mengode Dinda dan ibunya untuk kembali ke dalam rumah. Dinda segera menuntun Ibunya untuk menunggu di kamar. Setelah itu dia segera menemui para tamu yang Dinda yakini tidak pernah mereka undang.
”Dinda mereka adalah petugas dari rumah sakit untuk memeriksa kita secara rapid apakah kita konfirmasi positif atau tidak”
”Lho, mengapa kita harus diperiksa, Uda? Kita tidak pernah keluar kota dalam satu bulan ini dan rasanya kita juga tidak pernah dengan berinteraksi dengan pasien yang positif.” Ucap Dinda penuh keheranan.
”Maaf Bu, Rabu kemarin kami sudah menjemput bu Viona yang positif terpapar dan saat ini beliau menjadi Pasien Dalam Perawatan di Rumah Sakit. Jadi kami harus memeriksa riwayat orang-orang yang sudah melakukan kontak dengan beliau. Salah satunya adalah Pak Radit yang berkunjung ke rumah bu Viona seminggu yang lalu”
Mata Dinda terbelalak seketika. Ingin rasanya dia berteriak, memaki lalu mencakar pria yang sangat diidolakan oleh ibunya itu. Bukankah sebulan yang lalu mereka sudah sepakat bahwa tidak ada lagi cerita tentang Viona. Lalu untuk apa Radit masih ke rumah Viona minggu lalu. Tangannya mengepal menahan geram.
”Apakah informasi itu benar Uda?”
Radit menggangguk. Dia terlihat merasa bersalah.
Dinda menyeringai. Belum pernah rasanya dia semarah ini. Dia segera melihat ke arah pintu kamar Ibu. Dinda merasakan cemas yang luar biasa. Dia takut kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi jika ibu terkonfirmasi positif. Setelah mendapat persetujuan, salah seorang petugas itu langsung melakukan rapid test kepada mereka bertiga. Dinda memilih melakukan rapid test di kamar Ibu.
Petugas mengambil sampel darah di ujung jari Dinda dan meneteskannya ke alat rapid test. Kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Ibu Dinda. Dinda berusaha menahan tangis saat jarum menusuk jari Ibu. Meskipun tubuh Ibu sudah sering bersentuhan dengan jarum, tapi jarum yang kali ini membuat Dinda seolah tak mampu bernafas. Berbagai artikel tentang betapa kejamnya Corona pada Cancer Survival melintas dipikirannya. Apalagi umur Ibu sekarang sudah 61 tahun.
Jarum jam seolah bergerak begitu lambat. Menunggu membuat degup jantung Dinda tidak teratur. Dinda memegang tangan Ibu dengan erat. Sekitar lima belas menit kemudian, petugas menyampaikan hasil rapid test.
“Hasil pemeriksaan Pak Radit dan Bu Dinda negatif. Meskipun demikian, tetap harus melakukan isolasi mandiri. Hal ini guna menghindari kemungkinan menularkan virus ke orang lain. Minggu depan kami akan melaksanakan pemeriksaan lagi.” Kata petugas itu lima belas menit kemudian saat hasil test nya sudah keluar.
Dinda menggenggam tangan Ibu lebih erat karena petugas yang memakai baju ala astronot itu hanya menyebut nama dia dan Radit.
“Tapi sayangnya, alat test pada Bu Siti menujukkan hasil reaktif. Mengingat Bu Siti juga mengalami beberapa gelaja, kami harus membawa bu Siti ke rumah sakit sebagai Pasien Dalam Perawatan. Untuk lebih pastinya, nanti akan dilakukan lagi pengambilan swab untuk tes PCR guna memastikan apakah benar terdapat infeksi Covid-19”
Dinda merasa seolah ada benda keras yang menghantam kepalanya. Dia merasa pusing. Dia tidak terlalu paham apa yang dibilang oleh petugas itu, entah itu swap, PCR atau istilah apa lagi. Satu-satunya kalimat yang tertangkap diotaknya adalah Ibu harus dibawa ke rumah sakit sebagai pasien Covid-19. Dia segera memeluk Ibunya sangat kuat seakan tidak rela jika petugas membawa Ibunya. Tadi dia memang ingin membawa Ibu ke klinik, tapi bukan seperti ini. Radit berusaha memisahkan Dinda dari Ibunya.
“Maaf Bu. Kami harus membawa Bu Siti ke rumah sakit. Prosedurnya memang harus seperti ini. Ini demi kebaikan Bu Siti dan juga orang-orang di sekeliling beliau.” petugas itu berusaha meyakinkan Dinda.
Dinda terduduk lunglai. Dia sangat berharap agar saat ini dia dan Ibu bisa menghilang dari ruangan ini. “Ya, Rabb. Ujian ini terlalu berat” keluhnya sebelum penglihatannya benar-benar kelam.
Bersambung
TantanganGurusiana Hari ke - 65
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga dinda kuat, dan ibu cepat sehat
Harapan yang sama jangan ibu dan Dinda yang sakit, Radit aja kan dia yang nackalSedikit mengingatkan setiap dialog yang diberi tanda petik yang lupa diakhiri tanda baca sebelum petik akhir. Tergantung jenis kalimatnya. (He he)
Kereenn...
Terimakasih Bu ^_^
Keren...ditunggu kelanjutan ceritanya
Terimakasih Bu ^_^
Ya ALLAH..... Miris banget nasib Dinda yang sudah dengan tegarnya memberikan kesempatan kedua tapi lagi lagi dikhianatiDinda yang kuat yaThor ibu Dinda jangan kenapa napa donk pliz.... Biar Radit aja yang menerima akibat perbuatanya Pliz yaaaa
Siap kakak...Makasih sudah baca cerpen dedek ya ^_^