Bimbang (Part 5 of 5 - END)
Ini adalah hari ketiga Ibu di rumah sakit. Sudah 3 hari pula Dinda tidak melihat senyum Ibu secara langsung. Seketika diraihnya gawai dan mulai membuka galery. Ada beberapa rekaman tentang kondisi Ibu yang dikirim oleh Arsil. Rasa sakit tak terperi ketika melihat Ibu, tampak lemah dan tak berdaya dengan selang infus terpasang di tubuhnya. ”Ya Rabb. Tak ada yang mustahil bagi-Mu. Sungguh, hamba tidak ingin melawan takdir. Tidak pula berkeluh kesah dengan apapun yang telah Engkau berikan. Namun, hamba mohon berikan kesembuhan untuk Ibu hamba. Ya Allah, mohon jangan biarkan kami hidup dalam penyesalan seumur hidup kami.” Dia membathin. Untaian kalimat yang tak pernah henti diucapkannya sejak ibu menjadi Pasien Dalam Perawatan. Ketika suara adzan berkumandang, Dinda segera menghapus air matanya dan segera bergegas berwudhu.
“Ting Tong”
Terdengar suara bell dari pintu depan saat Dinda baru membaca dua halaman Al-Qur’an. Dinda segera menutup Al-Qu’ran dan meraih maskernya sebelum berjalan ke pintu depan.
”Assalamualaikum, Bu Dinda. Apakah Bu Dinda sedang sibuk?”
Ternyata yang datang Tek Ros bersama tiga orang anaknya.
”Waalaikumsalam. Tentu saja tidak, Tek.” jawab Dinda.
”Maaf, kami hanya bisa mengantarkan kolak ini untuk berbuka nanti. Semoga Bu Dinda dan Pak Radit suka dengan masakan saya”
“Wah kok repot-repot? Hujan-hujanan pula. Terima kasih banyak, Tek. Tapi seharusnya kami yang megantar makanan ke sana. InsyaAllah kalau nanti sudah tidak diisolasi lagi, Dinda akan berbagi takjil buat anak-anak“ kata Dinda sambil menerima tentengan yang dibawa oleh Tek Ros.
”Kami yang harusnya berterima kasih ibu. Ini belum seberapa jika dibandingkan bantuan yang diberikan oleh Pak Radit buat saya dan anak-anak. Tadi pagi ada orang yang datang ke rumah membawa beras, minyak, telur, sarden, gula, tepung, dan juga mie instan. Jumlahnya sangat banyak Bu Dinda. Sepertinya untuk bulan Ramadan ini kami tidak perlu pusing memikirkan apa yang akan kami makan. Terlebih lagi Pak Radit juga memberikan Hp ini untuk Rina. Kami saja tidak tahu kapan kami sanggup membeli barang mahal ini” Kata Tek Ros sambil menunjuk Hp yang ada di tangan Rina. Meskipun tertutup masker, tapi dari sorot matanya, tampak bahwa Tek Ros sangat senang.
“Iya Bu. Terimakasih. Rina dan adik-adik bisa membuat tugas dari rumah saja sekarang. Tidak perlu pergi keluar lagi” Kata anak Tek Ros yang tertua.
Dinda awalnya sempat speechless karena dia sama sekali tidak tahu bahwa Radit memberi bantuan pada Tek Ros yang berjuang membesarkan anaknya sendirian. Matanya berkaca-kaca. Ternyata Radit juga sedang berupaya keras mengetuk pintu langit.
”Sama-sama Bu. Semoga berkah” katanya kemudian.
”Kolaknya tidak perlu disalin. Ini adalah kotak kue yang dulu Ibu bawa buat anak-anak. Oh, ya Bu. Semoga Bu Siti segera sembuh ya, Bu. Kami juga ingin segera melihat Bu Siti” ucapnya tulus yang diiringi anggukan ketiga anak-anaknya.
”Aamiin. Terima kasih banyak doanya, Tek”
Ada yang panas di mata Dinda. Hari ini, hari pertama bulan Ramadan, Jumat sesudah shalat ashar, saat hujan juga turun membasahi bumi. Ada doa yang dikirimkan buat Ibu, dan itu bukan hanya dari dia dan Radit. “Ya Allah, Yang Maha Pengabul doa, mohon ijabah doa kami” Dinda membantin dengan penuh harap.
*****
Setelah selesai meletakkan kolak itu di dapur, dinda segera ke kamar tamu. Beberapa hari ini Radit memang tidur di sana demi memenuhi permintaan Dinda yang belum bisa menahan emosinya saat melihat Radit. Diapun juga baru akan keluar kamar saat diarasanya Radit sedang berada di kamar tamu. Ibarat dua tokoh pemeran utama yang sedang bertengkar disebuah sinetron; meski tinggal seatap, mereka sangat jarang berpapasan.
Saat sampai di depan kamar tamu, Dinda hanya berani mematung. Bibirnya terlalu kelu untuk membaca salam ataupun mengetuk. Dari dalam kamar terdengar sayup-sayup suara Radit melantunkan ayat suci Al Qur’an.
Dinda baru saja akan membalikkan badannya saat Radit muncul dari dalam.
“Dinda mencari Uda?” Tanya Radit.
Dinda mengangguk. Kemudia dia berkata,
“Barusan Tek Ros dan anak-anaknya mengantarkan takjil kolak buat kita. Mereka bilang terimakasih atas bantuan Uda”
Radit mengangguk. Dia memang meminta Arsil untuk mengantarkan sembako ke sana. Dia juga meminta adiknya itu mencarikan sebuah android yang sederhana karena dia ingat Dinda pernah bercerita bahwa Tek Ros harus menumpang pada tetangganya untuk mengirimkan tugas sekolah anak-anaknya.
“Nanti Uda mau dibikinkan minuman apa untuk berbuka? Kita makannya bersama saja” ucap Dinda kemudian.
Radit mengerinyitkan keningnya. Sejak kejadian petugas berpakaian APD datang menjemput Ibu, ini adalah kali pertamanya Dinda menawarkan dia makan bersama. Bahkan ketika sahur tadi pagipun Radit hanya melihat Dinda sekilas meletakkan makanan di atas meja, menutup makanan dengan tudung saji lalu segera masuk ke kamar tanpa berkata sepatahpun.
“Uda tidak salah dengar, khan? Apakah Uda sudah boleh makan satu meja dengan Dinda?” tanya Radit seolah tak percaya.
“Iya, jadi Uda mau minum apa?”
“Terserah Dinda saja. Minuman apapun asalkan boleh satu meja dengan Dinda.” Ucapnya sambil memperhatikan raut wajah Dinda. Berharap wanita itu akan tersenyum tapi lagi-lagi masih dingin.
Dinda mengangguk lalu membalikkan badannya. Dia melangkah ke arah dapur.
“Dinda, apakah Dinda sudah memaafkan Uda?” tanya Radit kemudian.
Sejenak Dinda menghentikan langkahnya.
“Dinda berusaha untuk tidak membenci tapi tidak yakin apakah sudah memaafkan. Kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti. Semoga saja, ada keajaiban yang mampu meperbaiki semua ini” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Radit.
Radit hanya mampu menelan ludah.
*****
Dinda tampak sibuk mencuci peralatan dapur ketika Radit menghampirinya.
”Dinda, barusan Arsil memberi kabar kalau hasil Swab ibu negatif”
Dinda menatap Radit dengan tidak percaya.
”Benarkah Uda? Alhamdulillah” ucap Dinda senang. Dia segera mencuci tangannya dan duduk di meja makan.
Radit mengangguk sambil tersenyum
”Berarti Ibu sudah boleh pulang dong?”
”Belum. Kita harus menunggu hasil untuk 1 kali tes lagi. Untuk bisa dianggap sembuh, hasil tesnya harus dua kali negatif”
Ada kecewa dari wajah Dinda saat dia tahu bahwa dia belum bisa bertemu dengan Ibu. Tapi setidaknya berita ini sudah agak melegakan.
”Kita sama-sama berdoa saja agar hasil tes yang kedua juga negatif”
Dinda mengangguk. Lalu hening. Dinda tampak sedang memikirkan sesuatu.
”Dinda mau bicara dengan ibu? ”
”Apakah boleh Uda? Kata Arsil kemarin, Dinda belum bisa menelpon Ibu”
“Kemaren itu kondisi Ibu masih belum memungkinkan untuk diajak ngobrol. Ibu masih harus banyak istirahat. Makanya dia hanya bisa kirim video. Nanti akan Uda bilang sama Arsil supaya Dinda bisa Video Call dengan Ibu”
Dinda mengangguk berulang kali. Penuh harap. Tidak sabar dia ingin melihat ibu, meskipun hanya melalui perantara.
*****
Dinda berulang kali menatap layar gawainya. Radit memperhatikan tingkah istrinya, antara ingin tersenyum dan juga rasa bersalah tingkat dewa. Seringkali dia berpikir bahwa yang terjadi sekarang adalah hukuman baginya karena telah mengkhianati orang-orang yang sudah tulus mencintai dia.
”Sabar, Dinda. Sebentar lagi Arsil akan menghubungi kita”
Dinda melihat ke arah Radit sekilas, lalu matanya kembali menatap layar gawai itu.
Ada bahagia yang tak terhingga di hati Radit bisa membantu Dinda untuk tersenyum. Sudah terlalu lama dia melihat Dinda dalam luka, dan lebih luka lagi sejak Ibu dibawa ke rumah sakit. Meskipun sampai saat ini Dinda masih belum membuka diri.
”Uda, ini ada video call dari Arsil, Dinda langsung angkat ya?”
Radit segera mengangguk.
Dinda segera menyapa Ibunya yang sudah mulai membaik, jauh lebih baik jika dibandingkan beberapa hari yang lalu. Dinda mulai sibuk mengoceh dengan ibu sambil sesekali mengarahkan layar gawai ke Radit, tentu saja tanpa mengizinkan Radit menyabotase percakapan mereka. Radit juga tidak berkeinginan mengganggu kebahagiaan Dinda meskipun dengan jelas terdengar bahwa Ibu juga menanyakan Radit.
Dan tepat di hari ke-16 Ramadhan, permohonan mereka kepada Ar Rahman dan Ar Rahiim untuk kesembuhan Ibu terjawab sudah. Berita baik itu datang juga. Mereka tidak perlu melakukan video call lagi untuk berkomunikasi dengan Ibu. Meski tak mudah, keajaiban itu akhirnya menghampiri kisah Dinda dan Radit. Retak, terluka lalu bimbang memang termaafkan meskipun butuh waktu yang teramat lama untuk melupakan.
TAMAT
TantanganGurusiana Hari ke - 67
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpennya luar biasaa..kerennnn
Terimakasih Bu ^_^
Salam kenal
Salam Kenal Bu.Terimakasih sudah berkunjung ^_^
Alhamdulillah.... good ending.
Iya Bu. Kita bikin ending bahagia. Terimakasih kunjungannya ya Bu.
Ya ALLAH..... Sampai netes air mata bacanya... Alhamdulillah semua baik baik saja pada akhirnyaSeSemoga radit benar benar sadar
Makasih kakak... ^_^Tapi sebenarnya tokoh Radit yang disini fiktif kok kakak.... Hanya dibikin2 aja. Tapi seandainya Ada radit2 lainnya di muka Bumi, semoga mereka sadar sebelum Dindanya benar2 pergi