Lilla Rama Dona

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Cinta Terbalut Luka (Part  3 of 6)

Ketika Cinta Terbalut Luka (Part 3 of 6)

Sedikitpun Reyhan tidak pernah menyangka bahwa minggu ini akan menjadi salah satu minggu terberatnya selama menjadi siswa berseragam putih abu-abu. Kesialan yang pertama dimulai hari Senin pagi saat dia dan beberapa siswa lainnya sedang nongkrong di kedai belakang sekolah sambil merokok. Entah muncul dari mana, tiba-tiba buk Dina sudah ada dihadapannya sambil meniupkan pluit birunya. Yang paling membuat kesal bukanlah irama tak jelas yang muncul dari alat kecil itu, tapi hukuman berupa jalan jongkok sekeliling lapangan yang disaksikan ratusan mata. Rasa malu, pasti. Siang harinya, dia juga ketahuan keluar kelas via jendela. Lagi-lagi dia harus membuat surat pernyataan kedua di hari yang sama. Dan kesialan itu berlanjut hari ini, Reyhan ikut terjaring sedang nongki-nongki cantik pada jam pelajaran dipojok aula lantai teratas gedung sekolah ini. Parahnya, guru piket kali ini adalah Buk Hanna, wali kelasnya.

“Kenapa belum selesai juga? Kamu mau duduk di sini sampai magrib, Rey?” tanya Buk Hanna kepada Reyhan saat cowok itu masih terpaku menatap kertas di hadapannya. Buk Hanna memberikan hukuman kepada mereka berempat berupa menulis karangan argumentatatif tentang alasan mengapa berada di dalam kelas seharusnya jauh lebih menyenangkan daripada berkeliaran di luar kelas sebanyak satu halaman. Bagi Reyhan, hukuman seperti itu jauh lebih merepotkan. Membuat tugas bahasa Indonesia yang hanya setengah halaman saja dia harus mengandalkan contekan dari teman, apalagi satu halaman. Saat Andra, Lukman dan Syaif sang pujangga tak jelas itu sanggup menyelesaikan tulisan mereka dalam 30 menit, tapi tidak dengan Reyhan.

“Rey tidak tahu harus tulis apa, Buk”

“Lho, kok bisa nggak tahu. Memangnya selama kamu berkeliaran di jam pelajaran, kamu tidak pernah memikirkan apapupun?” Tanya Buk Hanna, heran.

“Benar, Buk. Rey tidak memikirkan apa-apa. Makanya Rey tidak tahu harus menulis apa di sini” jawabnya santai, tanpa rasa bersalah. Tentu saja ekspresi itu memancing emosi Buk Hanna.

“Ya sudah, kalau gitu kamu bersihkan toilet cowok di lantai 1 sampai wangi. Minta peralatannya sama Mang Rudi. Nanti kita bicara lagi.” Tegas Bu Hanna.

“Tapi, Buk...” Reyhan mencoba membantah

Buk Hanna tidak berkata apa-apa. Hanya bola matanya semakin besar yang mengingatkan Reyhan pada tatapan Queen Ravenna, sang penyihir jahat. Meski mendongkol, Reyhan terpaksa menerima hukuman itu. Dia merasa sangat kesal. Ada empat orang siswa yang tertangkap di dekat aula, tetapi kenapa hanya dia saja yang diberi hukuman paling berat? Hidup terasa begitu tidak adil.

*****

“Kamu baru sekolah disini 7 bulan, tapi surat perjanjian yang kamu buat sudah satu lusin. Mau kamu apa, Rey?” Tanya Buk Hanna saat dia menandatangani surat perjanjiannya yang ke dua belas. Ya, tepat hari ini, sudah dua belas kali di tercatat melakukan pelanggaran di sekolah.

Reyhan tidak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk sambil memainkan jemarinya.

“Ibuk sangat bingung sama kamu dan juga orang tua kamu. Sudah satu bulan berlalu, rapor kamu masih ada di laci Ibuk. Orang tua kamu kemaren ibuk panggil dengan surat panggilan resmi, juga tidak datang. Ibuk benar-benar tidak habis pikir.” Lanjut Buk Hanna kemudian.

“Tidak cuman Ibuk, Rey juga bingung sama hidup ini. Ada, tapi tidak pernah dianggap. Semua orang sibuk tak jelas. Terasa lebih memprihatinkan dibandingkan kucing piaraan yang masih sempat di urus, di peluk bahkan di ajak bermain. Sementara Rey cuman dikasih tempat tinggal, pakaian dan makanan. ” Cowok itu mulai berkeluh kesah.

Buk Hanna tercekat. Dia tidak menyangka kalau kalimat seperti itu akan keluar dari mulut seorang Reyhan, si trouble maker di kelas.

“Seringkali Rey iri sama Andra, Lukman dan Syaif, meskipun mereka bilang kalau uang jajan mereka pas-pasan, malah kadang gak cukup. Setiap kali Rey datang ke rumah mereka, hidup mereka terlihat lebih menyenangkan. Kami baru datang saja sudah ditanya apakah kami lapar atau tidak oleh orang tua mereka, walaupun ujung-ujungnya di suruh masak mi rebus sendiri. Tapi setidaknya, orang tua mereka peduli. Sementara Rey?”

Kalimatnya terhenti. Dia memandang sekeliling. Tampak beberapa siswa lalu lalang dengan menenteng beberapa alat praktek.

“Kalau uang, jangan di tanya. Belanja satu hari Rey saja, cukup buat mentraktir mereka bertiga. Malah lebih. Kata Mama, sengaja dilebihin agar Rey bisa pilih makanan yang Rey suka di luar. Benar-benar sebuah alasan klise. Bilang saja nggak sempat masak” Nada suaranya mulai mengejek.

Buk Hanna sengaja tidak berbiacara apa-apa.

“Rey sangat lelah dengan semua ini, Buk. Mama belakangan ini lebih sibuk karena baru dapat promosi. Kata Mama kami harus lebih mandiri. Sementara Papa juga gak pernah lepas dari kerjaannya. Kalaupun ada waktu, dia akan sibuk dengan pertandingan sepak bolanya, laptop atau baca buku di ruang tengah. Sehingga kami anak-anaknya hanya berputar-putar tidak jelas seperti reklame di papan iklan. Tak dianggap sama sekali. Semua sibuk dengan alasan, demi masa depan kami. Sangat aneh” Reyhan masih meracau.

“Jadi karena itu kamu sibuk mencari perhatian di sekolah?” Tebak Buk Hanna.

Rey menatap Buk Hanna sekilas sebelum dia tersenyum sinis.

“Meskipun dimarahi, tapi itu masih kategori dapat perhatian kan, Buk?” Tanya Reyhan, Retorik. Benar-benar jawaban di luar logika.

“Tapi tindakan kamu mengandung resiko yang cukup berat, Rey. Kamu bisa saja tinggal kelas atau malah drop out dari sekolah ini. Lalu berpisah dengan ketiga sahabat akrab kamu. Apakah kamu rela?” Pancing Buk Hanna.

Reyhan menggeleng

“Hidup kamu memang berat, Rey. Tapi kamu jangan kegeeran merasa hidup paling susah di dunia ini. Di luar sana, banyak anak yang hidupnya lebih menyedihkan daripada kamu. Ada yang benar-benar di buang orang tuanya. Ada yang hidup bersama tapi kebutuhannya tak dipenuhi bahkan ada yang di eksploitasi, terpaksa kerja padahal orang tuanya cuma ongkang-ongkang kaki. Kalau kamu tidak percaya, silahkan searching di google. Betapa kehidupan mereka lebih keras daripada kamu. Atau kalau kamu tidak bisa melihat contoh yang jauh, ada teman sekelas kamu yang hanya makan dua kali sehari, cuman di kasih ongkos ke sekolah karena orang tua mereka tidak mampu untuk memberikan lebih. Mereka juga sering tidak bertemu dengan orang tua mereka karena tuntutan ekonomi. Hanya saja mereka lebih pintar dengan tidak menambah masalah baru di sekolah. Coba kamu tebak, selama beberapa bulan ini, siapakah siswa yang paling sering bikin masalah di kelas kita?”

Reyhan tidak mau menjawab walaupun dia tahu jawabannya.

“Ibuk mohon, cobalah menghargai diri kamu sendiri. Jika kamu ingin perhatian, banyak cara yang lebih positif, nak. Apalagi kamu sudah punya modal dasar untuk itu. Penampilan kamu sangat oke. Keuangan juga bukan masalah buat kamu. Kecerdasan juga lumayan. Hanya motivasi hidup dan sikap saja yang dalam kondisi kritis. Kenapa kamu tidak maksimalkan semua potensi untuk hal yang lebih bermanfaat?”

Reyhan tak bersuara. Dia hanya menggoyang-goyangkan kakinya.

“Jika kamu berharap simpati orang tua kamu dengan melakukan berbagai kenakalan kamu, sepertinya kamu harus putar haluan. Jangankan mengurus sikap kamu, mengambil rapor saja mereka masih mengulur-ulur waktu. Apakah mereka mau menunggu sampai kamu tinggal kelas dulu, baru mereka mau ke sekolah?” Giliran Buk Hanna menggerutu.

Reyhan tersentak. Dia menatap cemas ke arah Buk Hanna.

“Pikirkan kata-kata Ibuk barusan, Rey. Sekarang kamu boleh pulang. Sepertinya besok kamu harus datang dengan orang tua kamu. Usahakan datangnya sesudah jam 09.30 ya Rey. Karena ibuk Pagi ngajar. Ibuk akan menelpon mereka dulu, takutnya kalau dengan surat panggilan, nanti tidak di gubris lagi.” Ujar Buk Hanna sambil meraih handphonenya.

Reyhan menggangguk.

“Assalammualaikum, Pak. Saya wali kelasnya Reyhan.” Sapa Bu Hanna saat telponnya dijawab.

“Walaikum salam. Iya, Buk. Ada apa?” jawab suara di seberang

“Apakah besok Bapak bisa ke sekolah untuk menjemput Rapor anak Bapak? Ini sudah lewat satu bulan, Pak”

“Wah, saya tidak bisa. Lagi banyak kerjaan di kantor. Tolong tanyakan saja kepada Mamanya” dan seketika telpon diputus di seberang, Tentu saja Buk Hanna tidak bisa menyembunyikan wajah gondoknya. Untuk pertama kalinya dia diperlakukan seperti ini oleh orang tua siswa. Harusnya baca salam dulu, baru telponnya di putus. Lagipula mengapa tidak dia saja yang langsung menelpon istrinya untuk menanyakan perihal ini. Alangkah tidak sopannya tindakan dari seberang barusan. Meskipun kesal, dia berusaha menghubungi nomor Mama Reyhan yang tertulis dalam buku biodata siswa.

“Assalammualaikum, Mama Reyhan. Saya wali kelasnya Reyhan. Apakah Ibu sibuk?” “Walaikum salam. Ada apa Buk?” jawab suara diseberang.

“Apakah Ibu bisa ke sekolah besok untuk menjemput rapor Reyhan? Sekalian juga kita membicarakan tentang perkembangan Reyhan?” Jawab Buk Hanna.

“Wah, Saya nggak bisa Buk. Kerjaan lagi banyak. Coba tanya sama Papanya?”

Jawaban dari mama Reyhan sukses memancing emosi Buk Hanna.

“Maaf, Bu. Saya nggak punya waktu untuk menelpon suami Ibu. Silahkan ibu langsung diskusi sama suami Ibu. Kalapun tidak bisa besok, silakan di cari jadwal yang cocok. Tapi yang pasti, dia baru bisa masuk kelas lagi jika ibu atau Bapak sudah ke sekolah. Bagaimana mungkin kita akan memulai semester genap jika laporan hasil belajar semeseter ganjil saja belum di ambil?” Demi menghindari argumentasi gak jelas, Buk Hannapun segera menyudahi pembicaraan. Setelah menghela nafas cukup panjang, matanyapu mengarah pada siswa dengan seragam putih abu-abu yang dari tadi berdiri di depannya.

“Pasti Ibuk kesal, khan? Orang tua Rey memang kayak gitu Buk. Guru-guru SMP Rey saja malas berdiskusi dengan mereka. Makanya Rey sempat sekolah di empat buah SMP, Buk.” Tutur Reyhan lirih, seolah tahu situasi yang sedang terjadi. Ada getir yang tak bisa dilukiskan dari suara seraknya.

(Bersambung)

Tantangan Gurusiana Hari ke - 55

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dampak orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Anak jadi kurang perhatian

30 Apr
Balas

Iya Bu. Terimakasih telah berkunjung.

30 Apr

hahahaa... itu yg nelpon bu Hanna atau Bi Dona? kereen bunda...

30 Apr
Balas

He he he... Kl di cerpen ini Bu Hanna, Mami.

01 May



search

New Post