Lilynd Madjid

Lilynd Madjid is me 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web
NIRWANA (MELUPAKAN KESEDIHAN - 1)

NIRWANA (MELUPAKAN KESEDIHAN - 1)

TIGA

Tiba juga masanya, saat Nirwana harus meninggalkan kampung halaman. Sebenarnya dia sedih karena harus meninggalkan adik-adiknya. Menitipkan mereka dalam penjagaan saudara-saudaranya sementara ia kembali ke perantauan. Tak ada pilihan. Begitulah keadaannya saat ini.

“Bang Awan pergi dulu ya, Dek.” Nirwana memeluk ketiga adiknya satu persatu. “Athala, Attaya, jaga Fatima. Kalian baik-baik di rumah Pak Ngah Zain.” Si kembar mengangguk, tetapi Fatima mulai menangis.

“Ifat mau ikut Bang Awan,” rengeknya.

“Tidak. Ifat di sini dengan Bang Athala dan Bang Attaya. Bang Awan harus pergi ke sekolah di sana. Jauh.”

“Tidak mau, tidak mau! Ifat mau dengan Abang Awan. Ifat ikut Bang Awan! Mamak tak ada, kenapa Abang hendak meninggalkan Ifat juga?” Gadis cilik berusia enam tahun itu menjerit-jerit. Awan kewalahan menenangkan adik bungsunya.

“Sudah, kemari. Ifat dengan Makngah, ya. Biar Abang pergi dulu. Abang ‘kan harus sekolah. Nanti kalau Ifat sudah SMP Ifat boleh susul Abang ke kota sana. Ya, Sayangnya Makngah, ya?” Mak Ngah Azizah, istri Pak Ngah Zain membopong Fatima dalam rengkuhannya. Ia memberi isyarat pada Nirwana untuk menjauh.

Nirwana beranjak dengan berat. Duduk di belakang Pak Ngah yang sudah siap di balik kemudi kendaraan roda duanya. Fatima masih tersedu. Athala dan Attaya menampakkan wajah sayu. Saudara-saudara Nirwana yang lain menguatkan.

Pemuda tanggung itu menoleh sekali lagi, saat kendaraan yang dinaiki mulai membawanya menjauh. Air matanya mengalir. Dipandanginya jalan kampung yang dilalui. Jalan yang seperti ikut berlari pergi.

Saat musim penghujan jalan itu akan menjelma kubangan lumpur yang licin. Batang-batang pinang dan pelepah sawit akan dipasang melintang, membantu roda-roda kendaraan agar tak tenggelam terjebak lumpur yang dalam.

Nirwana menyeka air matanya. Mengangkat kepala dan mulai memandangi kebun-kebun sawit di kanan dan kiri. Juga rumah-rumah panggung yang terselip di antara kebun-kebun sawit di sepanjang jalan itu. Terguncang-guncang, di atas kendaraan yang membawanya semakin dekat ke pelabuhan.

*** *** ***

Boat yang ditumpanginya terguncang keras membelah arus sungai yang membentang. Cipratannya kadang memercik di wajah Nirwana. Menyadarkannya dari lamunan-lamunan. Ya, Nirwana terlihat banyak melamun selama perjalanan. Padahal biasanya ia selalu menikmati perjalanan setiap kali pulang ke kampung halamannya.

Kali ini, kembali ke kota tak membuatnya bersemangat. Padahal sebelumnya, ia selalu gembira, bahkan dengan hanya membayangkan akan kembali bertemu dengan teman-temannya. Semua berbeda kini. Hati dan pikirannya tertinggal bersama adik-adiknya di rumah.

Boat memasuki pelabuhan dan merapat ke dermaga. Nirwana bergegas. Ia tahu, tak akan ada yang menjemput. Sebelum ia pulang saat Mamak meninggal tempohari, Om Joni memang sedang ada tugas ke luar kota selama beberapa minggu.

Nirwana berjalan sambil menimbang-nimbang. Menghitung sisa uang di sakunya. Cukupkah untuk naik becak ke rumah?

“Woi! Awan!” Satu teriakan dari seberang jalan mengejutkannya. Nirwana mencari-cari. Di depan gedung Bank BNI, dia melihat Jimmy melambai penuh semangat dari atas sepeda motornya. Dia memberi isyarat agar Awan mendekat.

Nirwana menyebrangi ruas Jalan Sudirman yang cukup sepi sore itu. Bergegas mendekat ke arah Jimmy yang tersenyum lebar.

“Baru tibakah?” katanya saat menyalami sahabatnya.

“Iya,” Nirwana menjawab singkat. Mengapa kau di sini?”

“Aku di suruh Mamak beli pupuk.” Jimmy menunjukkan bungkusan di cantelan motornya. “Mari kuantar kau pulang,” kata Jimmy memberi isyarat agar Nirwana naik. “Jam berapa dari sana?”

“Pagi tadi. Tak tahu jam berapa. Aku tak lihat jam.”

“Sudah makan kau tadi? Singgah dulu kita ke rumahku, mamakku masak gangan bakaruh dan ikan senangin. Sedap.” Cerocos Jimmy dengan logat daerah asalnya yang kental.

Nirwana tertawa. Perutnya memang sudah keroncongan sejak di atas boat tadi. Perjalanan panjang membuatnya melewatkan waktu makan siang.

“Heh! Mengapa diam? Tidak perlulah kau bepikir panjang-panjang. Kulihat tadi rumah om kau pun tampak sunyi. Pergikah dia?”

“Ya. Ke Jambi. Sepertinya belum pulang lagi.”

“Nah. Ayo kita ke rumah. Selepas makan baru aku antar kau pulang.”

Nirwana menurut. Motor Jimmy segera melaju lalu berbelok ke arah Jalan M. Boya. Masuk ke salah satu lorong di jalan itu dan berhenti di sebuah rumah kokoh terbuat dari bata. Rumah itu besar, bercat abu-abu dengan halaman luas yang teduh dinaungi rimbun pepohonan.

Mamak Jimmy ramah menyambut Nirwana saat dia turun dari motor. Kebetulan beliau sedang berada di halaman menyirami pot-pot bunga miliknya. Mamak Jimmy tahu, Nirwana baru saja kehilangan mamaknya. Ia menyampaikan belasungkawa pada Nirwana, memberinya penghiburan, walau kadang Nirwana harus mengernyitkan dahi karena kurang mengerti apa yang dikatakan ibu Jimmy dalam bahasa asalnya. Perhatian yang diberikan wanita paruh baya itu membuatnya teringat pada almarhumah Mamak. Itu membuat mata si anak muda kembali berkaca.

*** *** ***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post