Linggawati

Seorang Guru Ekonomi di SMA N 4 Prabumulih, Sumatera Selatan. Kelahiran Pangkalpinang, 24 Juli 1985. Riwayat pendidikan SD sampai SMA di PangkalPinang, melanjut...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ketika Hati Mendua

Part 1

Pagi ini suasana di rumah masih sepi. Manda putri ku masih belum bangun. seperti biasa, setiap akhir pekan ia biasa ditemani oleh Zahra teman satu sekolahannya yang sekaligus anak dari teman sekantorku. Semalam mereka bermain lego sampai larut malam, jadi seperti biasa di setiap hari liburnya, setelah bangun sholat subuh ia akan melanjutkan tidurnya kembali.

Ku lihat jam di kamarku sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan aku masih ingat hari ini ada undangan pernikahan dari keluarga tanteku. Aku memilih lebih dahulu bersiap-siap. Segera aku ambil handuk, dan langsung menuju kamar mandi. Di antara suara guyuran air, aku sudah mendengar suara Manda dan Zahra tertawa bercanda. “Syukurlah, mereka sudah bangun,” batinku.

Selesai mandi aku menyuruh mereka berdua bersiap-siap mandi dan sarapan. Sementara aku mengeringkan rambutku, aku juga memilih baju mana yang akan di pakai untuk ke pesta undangan itu. Maklum, kebiasaanku sedari dulu masih belum bisa kuhilangkan. Aku terbiasa menyetrika bajuku ketika akan aku gunakan. Rasanya lebih percaya diri karena terlihat lebih rapi.

Aku teringat pagi ini aku sama sekali belum menghubungi suami ku. Segera ku ambil handphone di pojok tempat tidur dan melakukan panggilan video. Aku dan suamiku memang terpaksa terpisah jarak karena kondisi pekerjaan kami. Suamiku biasanya akan pulang dua minggu sekali. Jarak antara tempatku tinggal dan tempat suami bekerja mencapai jarak 7 jam perjalanan. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk suami pulang pergi dari tempat kami tinggal ke tempatnya bekerja. Sudah lebih 13 tahun kondisi ini kami jalani, dan Alhamdulillah hingga saat ini semuanya berjalan dengan baik, tidak ada permasalahan berarti yang terjadi dalam rumah tangga kami. Aku selalu merasa menjadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini karena mendapatkan suami seperti Bryan. Menurutku Bryan sosok yang sangat baik, suami bertanggung jawab, taat dalam beribadah, dan dalam usia pernikahan yang tidak bisa dibilang sebentar, aku belum pernah sekalipun melihat ia marah. Apalagi marah kepada ku dan Manda.

Telepon di seberang diangkat, tampak lah wajah Bryan suamiku. Masih berada di dalam kamar sepertinya.

“Baru bangun ya, Yang”, tanyaku

“Iya bun, mumpung libur, capek sekali. Semalam ayah sampai di kosan sudah larut malam. ada rapat dengan pimpinan di Lampung” suamiku menjawab dengan masih rebahan di atas tempat tidur.

Tiba-tiba aku merasa lemas. mengapa seperti bukan di kamar kos nya. Memang dari video handphoneku hanya terlihat suamiku yang sedang rebahan di dalam kamar bercat putih. Tapi aku yakin sekali walaupun catnya sama, itu bukanlah kamar kos suamiku.

“Ayah tidur di mana?” tanya ku penuh curiga. aku sangat percaya dengan suamiku. seumur-umur rasanya ia belum pernah membohongiku

“Di kosan sayang.. emang nya kenapa?” jawab suamiku lagi.

“Bohong, biasanya cahaya lampunya tidak seperti ini. ayah di mana? tidur di mana?” aku bertanya mendesak kejujurannya.

“Benar kok bun, ayah nggak bohong” suamiku masih terus berusaha meyakinkanku.

“Kalau memang tidak bohong coba arahkan handphone ayah ke sekeliling kamarnya” aku kembali meminta kejujuran suamiku.

Tiba-tiba sambungan teleponnya terputus. Pikiranku semakin jauh, kenapa harus ditutup teleponnya. Apakah suami ku memang berbohong. Badanku lemas. Aku nyaris pingsan. Suamiku tidak pernah berbohong. Kalaupun ia berbohong untuk apa ia menutupi di mana keberadaannya saat ini.

Aku menangis, Manda dan Zahra menyeruak masuk. Mereka bingung melihat ku yang masih menggunakan handuk dan dalam kondisi terkulai lemas.

“Bun, bunda kenapa..bun, bunda sakit ya”, Manda berusaha mengangkat tubuhku yang terkulai di samping tempat tidur. Aku benar-benar kehilangan tenaga, bahkan hanya untuk mengangkat tubuhku naik ke atas tempat tidurpun aku tak memiliki tenaga lagi. Aku terus menangis dan tak sanggup berkata-kata. Ku dengar handphoneku berbunyi, dan Manda langsung mengangkatnya. Dengan suara menahan tangis aku masih mendengar Manda berbicara dengan orang yang menelepon. Sepertinya suamiku yang menelepon.

“Ayah cepat ke sini.. Manda takut. bunda nggak bisa gerak, yah. Cuma bisa nangis. Seperti nya Bunda sakit”, suara Manda mengadu ke ayahnya.

“Bunda nya kenapa sayang? coba kasih handphonenya ke bunda,” suara di seberang terdengar khawatir.

“Bunda nggak bisa gerak yah, kayak orang kena stroke, Manda takut yah, Manda harus gimana” jawab Manda lagi.

“Manda dengar ya, ayah sebentar lagi ke sana. sekarang coba Manda telepon Tante Ida. suruh ke rumah dulu lihat kondisi bunda ya. Manda jangan panik.” suamiku mengarahkan putrinya untuk menelepon Ida teman kerjaku yang rumahnya hanya berbeda blok dengan rumahku.

Bersambung..

#Tantangan_Gurusiana Hari ke-2

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Seru

31 May
Balas

Seru

31 May
Balas



search

New Post