Linggawati

Seorang Guru Ekonomi di SMA N 4 Prabumulih, Sumatera Selatan. Kelahiran Pangkalpinang, 24 Juli 1985. Riwayat pendidikan SD sampai SMA di PangkalPinang, melanjut...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENUNGGU AJAL TIBA
Sumber gbr. www.jateng.tribunews.com

MENUNGGU AJAL TIBA

Duduk di Serambi dapur menjadi kebiasaan ku setiap sore. Selalu kulakukan ditemani dengan secangkir kopi dan gorengan yang biasa ku beli di tempat Janah, tetangga sebelah rumah. Aku memandang jauh ke hamparan padi yang baru mulai menguning siap untuk dipanen. Dapur rumahku meghadap ke hamparan sawah luas yang pemiliknya adalah Adikku yang tinggal di Kota. Meski tidak ikut mengurus sawah milik adik ku itu, tetapi aku selalu mengawasi dari rumahku apa saja yang dikerjakan oleh Keluarga suruhan adikku itu. Penghasilan sawah ini tidak ada apa-apanya dengan kekayaan adikku yang punya banyak bisnis. Sawah di desa ini hanya jadi salah satu pilihan adikku untuk menyimpan kekayaannya.

Sementara aku hidup desa dengan sederhana. Bukan karena adikku tidak perduli padaku, tapi aku memang tidak mau merepotkan adikku. Selama uang pensiunku masih cukup untuk menghidupiku itu sudah sangat aku syukuri. Aku hanya pensiunan seorang guru SD di Desa ini. Aku hanya 2 bersaudara, aku dan adikku yang tinggal di Surabaya. Kami berdua dibesarkan oleh ibu kami yang hanya janda miskin dan bekerja mengambil upahan mengurus sawah milik orang lain. Tidak ada peninggalan harta apa-apa dari Almarhum bapakku kala itu, hanya sebuah gubug reot yang menjadi saksi penderitaan hidup kami. Bapak meninggal kala aku berumur 12 tahun dan adik berumur 7 tahun.

Kemiskinan membuatku bertekad untk tidak membiarkan keluarga ku merasakan apa yang aku derita. Aku bekerja keras untuk dapat bertahan hidup. Apa yang bisa dikerjakan di desa ini selama halal tak segan aku kerjakan. Aku tak tahan melihat bagaimana ibu yang masih pagi buta sudah bangun menyiapkan kebutuhan kami dan kemudian pergi ke sawah. Aku sebagai anak tertua yang membantu ibu menyiapkan adikku berangkat sekolah dan menemani nya belajar sepulang sekolah. Selain bekerja di sawah, sore hari ibu biasa membuat kue untuk dijual dan Aku lah yang menjadi penjajanya. Tak ada rasa malu untuk mengerjakan itu semua, yang ada dalam pikiranku hanyalah kami harus tetap hidup.

Aku tak pernah membiarkan adikku ikut mencari uang. Aku hanya ingin melihat adikku belajar dan menjadi orang sukses. Setamat SMP aku mengirim adikku ke pesantren. Meski saat itu aku telah menamatkan sekolahku di SPG, tetapi aku belum mau menjadi guru honor. Aku lebih memilih menjadi buruh di sawah dan berdagang apapun yang bisa aku jual. Semua demi ibu dan adikku. Aku bersyukur, adikku diberikan anugerah lahir menjadi anak yang cerdas. Ia selalu berprestasi dalam akademiknya sampai ia mendapat beasiswa. Bahkan ketika tamat pesantren, adikku mendapat beasiswa kuliah di Mesir. Aku masih ingat bagaimana bahagianya ibu saat itu. itulah puncak kebahagiaan ibu. Namun kebahagiaan atas prestasi adikku itu tak berlangsung lama karena beberapa bulan setelah adik berangkat ke Mesir kami kehilangan ibu. Ibu meninggal dalam tidurnya. Hal itu sangat menjadi pukulan bagiku, apalagi saat itu adik tidak bisa pulang untuk menghadiri pemakaman ibu.

Kesedihan itu masih membekas tanpa sekarang. Aku sedih mengapa ibu tak bisa menunggu sampai melihat bagimana keberhasilan adikku. Pulang dari Mesir ia diterima bekerja di BUMN dan beberapa tahun kemudian memilih berhenti dan menggunakan pesangonnya untuk modal memulai bisnis. Adikku memilih menetap di Surabaya, sampai berkeluarga dan bisnis nya sukses seperti sekarang. Sementara aku tetap tinggal di Desa dan mengabdi sebagai guru SD ketika ada penerimaan PNS. Kujalani rutinitasku sebagai guru hingga memasuki usia pensiun.

Kini, USiaku mulai senja. Aku sudah pensiun dan memilih tetap tinggal di desa ini. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali adikku memintaku untuk ikut adikku tinggal di Surabaya. Tapi Aku sangat menyayangi desa ini. Kenangan akan Bapak, Ibu dan adik melekat dan aku selalu merasa mereka ada di sini. Yang pasti aku mensyukuri nikmat Tuhan yang sangat menyayangi aku dan adikku. kami dicukupi kebutuhannya dan walau jauh rasanya kami selalu dekat. Hampir semua yang tinggal di desa adalah murid-muridku. Jadi aku tidak pernah merasa sendiri, karena bagiku mereka semua adalah anak-anakku, sampai kapanpun. Semoga Allah selalu melindungi aku dan adikku hingga kami memenuhi janji kami di muka bumi dan kembali ke pangkuan Nya.

#TantanganMenulisGurusiana Hari ke 11

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bu..kampung halaman tk bsa dilupakan

04 Jun
Balas

Benar bu, Kampung halaman selalu dirindukan.

04 Jun



search

New Post