Ibu yang manis, rumah yang sederhana. Kami bertamu di siang yang panas merana. Ada sapi di depan teras, tenang mengunyah sambil memandangi kami bicara. Ia tak berkesah karena cadangan makannya masih melimpah. Di sisi rumah ada bambu panjang yang ditopang tiang-tiang, lebih tinggi dari kepalaku. Kain-kain putih bersih berjajar di sana. Baju sekolah dan lainnya.

“Sedang sedihkah pemiliknya atau ceria?” bisikku dalam hati. Ah, kami masih juga berbincang, mengais harapan yang tersisa.

“Muridku yang cerdas, mengapa membolos begitu lama? Sebentar lagi ujian...”, keluhku dalam hati.

***

Kabut masih bergumul di atas jalan. Sawah mengering di kiri kanan. Bocah berseragam putih-biru itu melangkah gontai penuh keraguan.

“Sudah seminggu. Masihkah mereka menungguku? “ pikirnya. Penat benar dirasakannya kalau harus kembali menekuni angka dan huruf-huruf itu. Menghitung sudut-sudut misterius dari sebuah segitiga, apalah gunanya. Menjawab pertanyaan "Apa?", "Siapa?", "Bagaimana?", dari sebuah berita lama benar-benar menjengkelkan. Tapi terus-menerus harus menjawab pertanyaan " Mengapa?" dari ibu bapak di rumah juga tak kalah membosankan. Harus terus-terusan diingatkan sholat, ngaji, sholat, ngaji. Bosan. Jalanan di bawah kabut masih berdebu. Ditendangnya sebutir kerikil. Ia melompat lalu memandang anak itu. Sepertinya ia cemburu. Mungkin karena ia tak berbaju, tak bersepatu dan tak punya teman-teman lucu.

“Aaah, ya.... teman-teman yang lucu, “ Ujang pun tersenyum sedikit. “Baiklah kucoba dulu sehari ini, siapa tahu ada pengalaman seru. Sebetulnya sholat bareng dan mengaji bersama itu ada asyiknya juga”

***

Sesampai di sekolah, Ujang mengetuk pintu kelas perlahan. Agaknya teman-teman sedang asyik belajar sehingga ketukan itu baru terdengar setelah diulangnya.

“Masuk! ” kata orang di dalam.

Ujang membuka pintu, lalu tampaklah olehnya wajah-wajah terkejut gembira.

Bogor, 17 November 2017