Listia Rahayu

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Secangkir Kopi Sebelum Kematianku

Secangkir Kopi Sebelum Kematianku

Oleh : Listia R

Tentang kehidupan. Tentang takdir Tuhan. Kemana kata hati, langkah selalu menuruti. Namun maut tak mampu untuk dipungkiri. Tentang kebahagiaan dalam hidupku, tentang mereka yang aku cintai. Semua lukisan indah sepanjang hayatku yang aku goreskan diatas kamus rahasiaku. Mengoyak derai penyesalan. Memetik eloknya pengampunan dari sang Maha Kuasa. Menuju alam yang abadi.

*****

Sengaja siang ini aku akan mengganti suasana cafe menjadi sebuah suasana yang tidak kalah menenangkan fikiranku. Warung kopi. Ya, sebuah warung kopi, kecil, sederhana berdinding bambu, di bawah pohon beringin besar tak jauh dari kantor perusahaanku.

Sambil menunggu pesanan kopi, tak sengaja aku menatap tajam sebuah angka 3 di bulan maret pada sebuah kalender yang terpasang di dinding. Pada tanggal itu, mobil pesanan calon isrtiku akan diantar. Aku menghela nafas ringan. Biasa saja menurutku, toh tidak begitu mengurangi tabunganku di bank, karena memang perusahaanku telah dikalkulasi keuntungannya naik hampir 15 %. Luar biasa. Aku bisa merenovasi pagar rumahku atau lebih mempercantik taman dan kolam dibelakang rumah. Bisa juga nanti aku membeli mobil. Mobil yang ke-sebelas, akan kupilih warna silver dengan plat nomor yang akan aku pesan sesuai angka spesialku, atau mungkin angka spesial dari ke empat isrtiku.

Ah, aku terlalu sibuk, isrti-isrtiku kan juga sudah kerja sendiri-sendiri. Sudah punya mobil masing-masing dari pemberianku sebagai mahar waktu pernikahan. Tentang biaya rumah tangga, mungkin aku hanya membantu menyekolahkan kedua anak laki-laki dari istri pertamaku yang tahun depan akan masuk perguruan tinggi, dan juga mungkin hanya membantu membayar biaya baby suster yang mengurus bayiku dari isrti kedua.

“Kopi susu atau susu soda Bang?” Tanya pelayan warung sedikit mengejutkanku.

“Kopi susu saja” jawabku singkat. Maklum saja menurutku, namanya juga warung kecil, menunya sederhana.

Aku masih berangan-angan, selebihnya penghasiklan akan aku tabung, ku ambil beberapa persen saja nanti untuk biaya pernikahanku yang ke empat. Karena aku masih punya rencana, rumahku yang berlantai empat itu akan aku tambah satu lantai lagi. Lantai bawah tanah. Tentang designnya nanti akan aku serahkan kepada arsitek terkenal dari perusahaan temanku. Oh, aku lupa, aku juga harus tepat waktu mengaji karyawan-karyawan, bodyguard, dan sopir pribadiku, masalah pembantu, tukang kebun dan satpam nanti biar dibagi sama istri-istriku. Yah, seperti ini memang harus aku fikirkan agar kerja mereka maksimal.

“Kopinya Bang”, kata pelayan dengan menyodorkan secangkir kopi susu kepadaku.

“O, ya terima kasih” jawabku singkat saja.

Lega sekali rasanya dihadapkan sama secangkir kopi. Aku menghela nafas. Secangkir kopi susu ku sentuh. Masih panas. Mungkin harus kutunggu sebentar.

Jadwal di minggu ini padat sekali. Besok aku harus mendatangi undangan meeting tahunan. Lusa harus survey ke lokasi pembangunan perumahan baru di jalan poros kota. Belum nanti aku punya janji sama temanku untuk membeli jam tangan ke luar negri, ini harus segera aku lakukan karena akan ku pakai nanti saat jumpa pers bersama para pengusaha besar di kota ini. Disamping itu, aku tidak mungkin lama-lama meninggalkan kantor. Karena pasti aku tidak bisa mengontrol kinerja karyawan-karyawanku. Aku hampir lupa, banyak juga berkas-berkas yang belum aku sentuh sama sekali atau administrasi perusahaan juga sebagaian belum aku kirim ke pusat. Belum juga 2 minggu lagi aku akan menikah. Semua persiapan harus selesai maksimal empat hari sebelumnya.

Sesekali aku berdecak. Tapi tidak apa-apa menurutku, akan aku jalani semuanya dengan menejemen yang cantik agar dapat berjalan dengan mulus.

Gambaran dalam lamunanku tiba-tiba berubah. Aku terkejut sekali, tak tau mengapa. Aku langsung bergegas menuju mobil yang aku parkir di depan warung. Bisik batinku ingin pulang. Tanpa aku ingat secangkir kopi susu yang baru kupesan tadi.

*****

Sampai di depan rumah gerbang tidak ada yang membukakan, dimana satpam, tidak kulihat berdiri didepan pagar. Aku buka sendiri pagar rumahku. Ketika aku akan memasuki rumah, aku sempat curiga, dimana para pelayan pribadiku yang biasanya membukakan pintu. Entahlah. aku langsung duduk begitu saja di shofa ruang tamu utama di lantai satu. Tidak kutemukan sama sekali orang di rumahku. Istri-istriku mungkinkah belum pulang kerja.

Tak kupedulikan keadaan ini. Ku lihat juga didepanku sudah ada secangkir kopi susu, sama persis dengan secangkir kopi susu yang aku pesan di warung kecil tadi. Entahlah, aku tak mau berfikir konyol. Aku memejamkan mata. Penat rasanya tubuhku. Kepenatanku kemudian hilang seketika saat ku lihat secangkir kopi susu di depanku tumpah. Aku terhenyak. Terkejut.

Tak lama kemudian tiba-tiba lampu ruang tamu yang baru kubeli seharga enam juta rupiah, jatuh, pecah berkepinh-keping dilantai. Aku terkejut sekali. Aku bingung. Kutoleh kebelakang, tiba-tiba foto pernikahan dengan istri ketigaku yang ku pasang di dinding ikut terjatuh. Aku heran sekali, apa yang menyebabkan. Kemudian aku berjalan mendekati kepingan foto itu. Aku diam saja. Tak kusangka juga, vas bunga besar dipojok ruangan itu juga roboh, pecah berantakan di lantai.

Aku heran sekali. Aku semakin terkejut, saat mendengar suara jeritan istri dan anak-anakku dari lantai atas. Tak berfikir bodoh lagi aku langsung berlari ke lantai dua. Aku berhenti. Kulihat lukisan-lukisan mahal yang belum lama aku beli dari luar kota, semuanya hancur terjatuh. Gila. Benar-benar gila menurutku. Semua guci dan hiasan di ruangan itu hancur berantakan dilantai. “Oh….tidak” bisikku lirih. Mengapa semua seperti ini. Aku tidak percaya semua ini. Tidak kudengar lagi suara jeritan mereka, anak dan istriku. Ada apa dengan mereka. Tak berfikir karet, aku langsung naik ke lantai tiga, untung escalator masih berfungsi.

Gila benar keadaan ini. Semua perabot mahal di rumahku hancur semuanya.

“Prrraaannngg!!!!” ku dengar keras sekali. Aku langsung menuju dapur. Aku benar-benar tidak bisa menerima ini semua. Lemari besar berisi perabot dapur , lemari makanan, kulkas, vas, jam dinding semuanya terjatuh hancur semua. Panic-panci, peralatan dapur lainnya sudah rata dilantai tersulap menjadi kepingan-kepingan. Tak ada yang tersisa. Kini rumakku menjadi misteri. aku tak tahan mendengar suara gemuruh kehancuran ruangan dalam rumahku. Aku heran sekali. Apa yang terjadi. Aku hanya bisa menggeleng-geklengkan kepala. Badanku berdiri kaku. Semua ruangan rumahku hancur berantakan. Bukan lagi seperti gedung rumahku melainkan seperti gudang. Tumpul sudah otakku berfikir. Tak kusadari air mataku keluar, namun aku tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Aku heran dengan emua ini.

“Ayah…Ayah..tolong kami” Gibran, anak laki-lakiku berteriak sangat keras sekali. Aku terkejut. Ketiga istriku dan anak-anakku serta seisi rumah, mereka semua berlari berdesak-desakan ingin segera keluar dari rumah, karena mungkin mereka ketakutan. Mereka semua tak menghiraukan aku sama sekali. Mereka benar-benar seperti dikejar letusan gunung. Tapi Noval, anak laki-lakiku yang kedua, dia terlihat sangat tergopoh-gopoh, kemudian menghampiriku. “ Ayah, Ayah harus segera selamatkan diri, sebentar lagi gempa besar akan datang, dan…..” . belum lagi dia melanjutkan kalimatnya, gempa dahsyat datang. Noval berlari sekencang-kencangnya.

Aku sungguh tak mampu memaknai ini semua. Aku ingin melarikan diri juga. Namun, sepertinya aku tak kuasa lagi. Aku sudah terjebak diantara atap atap yang roboh, kaca-kaca yang pecah. Aku pasrah. Gila. Aku tak percaya semua ini. Hancur sudah ruangan ini. Termasuk aku nanti jika aku tak segera mencari jalan keluar. Aku tidak mau tau aku harus keluar dari sini. Aku berlari turun. Sebuah lemari besar berisi guci-guci antik roboh mengenai kakiku. Aku melihat darah keluar begitu deras dari kakiku. aku tidak peduli dengan semua ini. Aku harus tetap keluar dari bencana ini. Tapi aku merasakan aneh pada kakiku. Sakit sekali. Tak dapat ku gerakkan. Patah mungkin kakiku. Aku tak kehilangan tekad. Aku tetap bergerak dengan merangkak sebisaku. Aku mendekati sebuah jendela kaca dilantai dua. Ku ambil patahan balok kayu. Kemudian ku pecah kaca itu, aku akan melompat. Aku lebih baik mati di luar sana agar jasadku nanti ada yang mengurus daripada mati disini.

Aku akan benar-benar mati. Kematianku berujung seperti ini. Entahlah. “selamat tinggal dunia” aku berbisik pasrah. Aku pejamkan mata rapat-rapat. Aku akan melompat keluar. Tiba-tiba, lengan tanganku ditarik oleh seseorang. Benar-benar tidak faham aku, siapa dia. Aku tak mampu menghindar. Dia membawaku berlari. Aku nurut saja, tak sempat memikirkan yang aneh-aneh.

Aku sudah lupa tentang kematianku. Aku seperti tak sadarkan diri. Dalam waktu sekejap aku sampai pada sebuah tempat, dimana mobil-mobilku bejejer. Bukan mobil lagi menurutku. Semuanya sudah hancur. Seperti sampah besi yang berserakan. Benar-benar keadaan yang menyiksa. Aku semakin takut dengan semua ini. Takut dan tambah takut. Aku diseret dibawa lari dengan orang itu, akupun ikut berlari begitu saja sekuat tenagaku. aku sangat lelah. Nafasku tersendat-sendat.

Aku sampai dipinggir jalan. “tidaaaaak!!!!!!!!!!!” kusaksuikan jalan raya menjadi lautan api. Kendaraan-kendaraan dahsyat mengeluarkan ledakan. Aku semakin tidak mengerti. Ku pandang langit. Berubah seketika menjadi gelap. Gelap dan semakin gelap. Aku takut sekali. Semua insan menjerit ketakutan. Porak-poranda berlari tak karuan menyelamatkan diri. Ku tengok kebelakang. Rumahku. Rumahku roboh. Rata oleh tanah disertai gemuruh yang sangat dahsyat. Hilang sudah harta kekayaanku. Tuhan, ada apa ini. Aku seperti tak hidup lagi.

Roboh semua apartemen-apartemen yang tinggi menjulang. Meledak sangat keras sekali diatas ubun-ubun. aku sangat takut. aku ingin mati. Ya, mati. Aku ingin segera mati. Agar aku tak merasakan ketakutan seperti ini. Agar aku tidak melihat lagi keadaan yang menghanyutkan.benar-benar pilu hatiku. Darahku sudah tak mengalir lagi mungkin.

Jeritan, tangisan, gemuruh dan ledakan tak tau aturan lagi. Aku pasrah. Diman harta kekayaanku yang selama ini aku timang-timang, dimana istri-istriku yang sangat aku cintai, dimana anak-anakku yang selama ini aku bangga-banggakan. Mereka semua begitu tega meninggalkanku dalam keadaan yang sangat menganiyaya ini.

BENCANA. Ya, kata itu tiba-tiba muncul di benakku. Aku takut. sungguh takut. aku masih ingin hidup lagi. mungkinkah kehidupanku berakhir. Hari dimana semua orang lupa akan sanak saudaranya, lupa akan harta bendanya, lupa akan jabatannya. “Tuhan” aku menangis ketekutan. Menjerit sekuat-kuatnya. Tak ada seoprangpun yang memperdulikanku. Anak-anakku, istri dan temanp-temanku, “Semoga engkau menyelamatkan aku, semoga engkau tidak melaknatku ataupun mengutukku”, kataku dalam batinku.

“Tsunami……Tsunami….!!!!!” Kudengar jeritan dan teriakan manusia-manusia yang terkoyak kehancuran ini.

“Segera naik ke atas bukit” teriakan salah seorang. “Jangan kesana, gunung sebentar lagi meletus” teriak yang lain lagi. Aku tambah takut dengan semua ini.

“Tuhan, aku ingin mati sekarang. Mati ditanganMu. Aku tidak ingin mati ditelan peristiwa ini”. aku berbisik.

Aku pasrah. Tidak mungkin aku berlari lagi. aku sudah tidak kuat. Nyawaku sudah tak lama lagi rupanya. Dunia sebentar lagi hancur. Aku melutut di tengah kegundahan lautan manusia-manusia yang berlarian. Ditengah gemuruh kegelapan alam ini. Ditengah ledakan dan petir yang sangat dahsyat.

Kusaksikan gulungan ombak besar di depan mata. Tsunami itu benar-benar datang. Dan akhirnya…………..

“TUHAAAAAAN!!!”

“Ada apa Bang? Bang bangun…!!! bangun Bang”. Salah satu pelanggan warung kopi membangunkanku. Aku terbangun dari tidurku.

Tubuhku basah bukan karena tsunami itu melainkan karena atap warung bocor. Hujan siang ini deras sekali. Yah, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku sangat lelah, ketakutan. Keringat dingin bercucuran. Aku masih terheran-heran dengan apa yang baru aku alami.

“Mimpi kena jambret ya Bang?” Tanya orang itu.

Aku diam saja. Aku benar-benar masih kebingungan. Aku baru saja melakukan perjalanan yang sangat mengerikan, perjalanan yang menyesakkan fikiran, perjalanan yang menghancurkan. Sekujur tubuhku rasanya kaku.

“Bang, ditanya kok diam saja” orang itu angkat bicara lagi. “ E…e…a…a..anu Bang, mimpi monster…ya monster” aku menjawab sekenanya

Seperti itulah nanti kehidupanku akan berakhir. Tak kusadari air mataku berlinang sangat deras. Aku benar-benar sangat takut. Aku sangat bersyukur lukisan peristiwa itu menghampiriku, memberikan ribuan pelajaran tentang hidupku. Menyuntikkan ion-ion kesadaran, mengaktifkan kembali nefron-nefron yang selama ini terputus.

Seberapa besar kekayaanku tak akan ada yang mampu membuatku terhindar dari takdir Tuhan. Seberapa tinggi jabatan yang aku duduki tak ada yang mampu membantuku mengelak dari keputusanNya.

****

Kopi susu yang aku pesan masih penuh secangkir. Sudah dingin rupanya. Aku meminumnya. Lewat sruputan kopi susu ini, ku eja alfabet kehidupan. Kehidupanku kedepan yang akan aku kemas menjadi sebuah hidup yang mampu memberikanku kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan yang akan aku sematkan dalam sebuah kedamaian yang abadi.

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren bunda. mimpi disiang bolong . salam literasi.

17 Feb
Balas

Big thanks sir.

17 Feb
Balas

Big thanks sir.

17 Feb
Balas

Keren kak.. Salam santun literasi

17 Feb
Balas

Salam anget-anget

18 Feb
Balas

Di tunggu up nya lagi author..

18 Feb

Semoga manfaat

18 Feb

Membacanya serasa kebawa situasi yg terjadi saat itu, salam santun literasi mbk

17 Feb
Balas

Hatur nuhun njeehh

17 Feb



search

New Post